MISTIK: Perjalanan Dari Diri Menuju Diri*

source: Vittore_Crivelli_-_Saint_Bonaventure

Bonaventura antara lain dikenal karena karya mistik INTINERARIUM MENTIS IN DEUM. Jauh sebelum dia Gregorius Nyssa sudah menyiratkan mistik yang sama. Tidak usah heran! Kedua tokoh itu berasal dari tradisi mistik Neoplatonis. Dalam tulisan ini mau diperlihatkan sekelumit mistik Gregorius Nyssa.Ajaran rohani Gregorius Nyssa berpusat pada dua gagasan pokok: citra Allah dalam diri manusia (Kej 1:26) dan kemurnian hati (Mat 5:18). Bagaimana martabat KESECITRAAN kita dengan Allah menentukan kemampuan kita untuk melihat Allah lewat kemurnian hati? Itu pertanyaan pokok. Dalam teks Kidung Agung 6:3 (Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku), Gregorius melihat ungkapan jiwa kristiani yang rindu akan Kristus. Jiwa itu sangat terpesona oleh keindahan ilahi. Keindahan ilahi menjadi milik jiwa justru karena jiwa itu adalah milik Dia yang ilahi. Inilah pemulihan keindahan jiwa dalam keserupaan dengan “keindahan sejati”. Pemulihan inilah yang merupakan kemurnian hati, dalam mana cahaya menyingkap cahaya: dan di sana Allah tampak; di sana pewahyuan diri-Nya diberikan, sebagai karunia bagi orang yang mencari Dia dengan ‘mata tunggal’ jiwa. Karena kemurnian hati merupakan prasyarat mutlak untuk ‘melihat’ Allah. Itu tidak hanya disebabkan karena mata hati orang perlu dibebaskan dari semua kegelapan agar dapat melihat. Tetapi juga terutama karena ‘kemurnian’ adalah keindahan yang menyingkapkan Dia.

Di sini perlu dicatat dua hal. Pertama, bahwa Allah yang tampak itu tidak dilihat sebagai “objek” penglihatan. Sebaliknya Dia-lah landasan pengelihatan kita. Allah ‘mendahului’ penglihatan kita. Kedua, Allah tidak kelihatan sama sekali. Dia melampaui pengetahuan dan pengelihatan. Dia adalah nama yang tidak terlukiskan, yang melampaui segala nama. Dia hanya dapat diketahui dalam komunikasi diri-Nya, dalam perkenalan diri-Nya, dalam citra-Nya, Kristus. Di sana kitapun tercakup karena keserupaan kita dengan Kristus. Langkah pertama dalam pengetahuan Allah adalah menyingkapkan citra ini: di sana kita dapat melihat Dia yang kita damba.

Menurut Gregorius penglihatan akan keindahan Allah sulit diungkapkan dengan kata-kata karena serba melampaui pemahaman budi. Penegasan itu mempunyai dua segi: Pertama, konsekwen dengan Transendensi Allah. Kedua, sesuatu dari Transendensi ini merembesi pengalaman kita akan Dia. Dia mengisinya dengan daya dorongan yang menyebabkan dia bergerak maju terus melampaui dirinya sendiri, terdorong oleh cinta Yang Abadi. Transendensi Allah yang kekal dan tidak berubah-ubah itu terpantul dalam mahluk ciptaan temporal (yang kodrat adalah menjadi dan bukan berada, dan itu berarti berubah). Dia terpantul di sana sebagai suatu gerakan abadi ke arah transendensi yaitu, suatu gerak maju yang tiada henti ke dalam ranah nan Ilahi.

*****

Relasi kita dengan Allah pada dasarnya bercorak dinamik. Ciri khas teologi Gregorius adalah pemahaman akan corak dinamik relasi itu dan kemampuan kodrati kita mencercap ranah keabadian. Gregorius menekankan hal itu dengan mengacu pada Fil 3:14 (aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku). Ide bahwa kita mempunyai kecenderungan kodrati ke arah yang Abadi tampak dalam pemahaman Gregorius akan rahmat.

Apa implikasi dari kemampuan yang tak terbatas ini, yang akhirnya ditentukan oleh ketidakterbatasan Allah sendiri, pada tataran pengalaman, dan pada tataran kesadaran. Oleh karena citra Allah dalam diri kita merupakan suatu realitas yang terletak dalam tataran terdalam keberadaan kita, maka visiun akan Allah pasti merupakan suatu pengalaman batiniah akan suatu kedalaman yang tiada ternyana, yang hanya diketahui oleh orang yang diberi rahmat untuk mengetahuinya; dan pengalamanitu tidak mungkin dikomunikasikan (dilukiskan). Upaya untuk menyampaikan kepada orang lain yang tidak mengalaminya, sama dengan melukiskan cahaya matahari kepada orang buta. Mereka tidak akan mampu membayangkan hanya dengan mendengarnya. Setiap jenis pengetahuan menuntut sarana yang tepat untuk memahaminya (mata untuk cahaya, telinga untuk bunyi, dll). Begitu pula dengan pengetahuan yang diperoleh melalui indra maupun pengetahuan yang melampaui pencerapan indra. Menurut Gregorius, untuk memahami realitas spiritual, indra-indra ‘batiniah’ harus ditingkatkan kemampuan dan kepekaannya.

Kepekaan spiritual itu diperoleh secara bertahap, lewat tapa-brata dan disiplin pembinaan diri. Pengekangan diri ini adalah asketisme yang mutlak perlu agar orang mampu menerima karunia kontemplasi. Asketisme ini terdiri atas tindakan menarik budi dari indra, dan menarik perhatian ke dalam. Di sana ia akan memasuki suatu ranah kekelaman, ranah mega alpa, the field of cloud of unknowing. Di sana dia akan menikmati tetirah, seraya ‘memandang’ Allah dalam kehampaan yang hening-bening, sampai telinga dan mata batiniah menjadi terjaga, dan pencerahan pun lalu merekah.

*****

Tetapi tidak mungkin budi manusia melakukan perjalanan ke dalam dirinya sendiri, selama hasratnya mendambakan sesuatu di luar dirinya. Karena itu pemurnian/pembebasan hasrat merupakan prasyarat mutlak bagi budi untuk bebas mencari tempat tetirah nan sejati, tempat berdoa. Pembebabasan bukanlah pada tataran indra melainkan pada tataran hasrat. Yang merintangi kita untuk melihat Allah bukan ciptaan. Penghalangnya adalah keterlekatan hasrat pada kebaikan yang rendah tingkatannya. Atau keterlekatan pada sesuatu yang bukan Allah, yang oleh Gregorius disebut “Kebaikan sejati”, istilah yang kaya nuansa Platonis. Dalam hal ini, jalan Kristen bukan proses menjadi semakin tidak manusiawi, melainkan pembebasan progresif diri sejati dalam Kristus. Dalam hal ini, pembebasan eros adalah suatu yang mendasar, karena dia merupakan kekuatan fundamental roh manusia. Karena itu pembebasan hasrat sama dengan pembebasan hati dan budi. Hasrat yang sudah bebas adalah hasrat untuk memandang wajah sang kekasih. Menurut Gregorius, dengan kekuatan hasrat inilah, jiwa disatukan dengan Allah. Ini adalah ajaran universal dari semua orang yang telah mengalami penyatuan ini.

Pembebasan ini dilakukan lewat proses transformasi, dengan mana indra berubah tetapi tanpa kehilangan ciri esensialnya. Dan transformasi ini ialah kebangkitan; tetapi gema kebangkitan itu dimulai dalam kehidupan ini, dalam air baptis yang menghidupkan dan melalui penyatuan kita dengan tubuh Kristus yang bangkit dalam Ekaristi. Melalui simbol-simbol ini, indra dimasukkan ke dalam dimensi realitas yang melampaui daya paham dan pencerapan. Karena itu, justru dengan semakin menyelam ke dalam kekelaman suci, kita diterangi, dengan masuk ke dalam diri kita sendiri dan di sana berdiam dalam kehening-beningan, dan bebas dari hasrat, kita justru masuk ke dalam kehadiran sang Tunggal yang menyebabkan kita meninggalkan diri kita sendiri dan secara abadi menghadap pada-Nya sebagai pemenuhan hasrat.

Gregorius melukiskan hal ini dengan memakai perlambang kecantikan sang mempelai yang semakin cantik: pancaran sinar wajahnya semakin benderang ketika mempelai itu semakin dekat dengan ALlahnya dan akhirnya memantulkan kemuliaan-Nya. Dalam hal ini Gregorius melihat suatu contoh mengenai apa yang dikatakan Paulus dalam 2 Kor 3:18, suatu teks yang inspiratif: “kita melihat citra Allah dengan wajah yang tidak terselubung.” Citra yang kita tatap ini, adalah keberadaan kita dalam persatuan dengan Kristus, Dia adalah citra sempurna dan abadi dalam siapa kita diberi kesempatan “melihat” Allah, “yang tak pernah bisa dilihat oleh mata manapun juga,” dan dalam siapa kita diubah menjadi serupa dengan Dia.

*****

Jadi mistik adalah perjalanan jiwa dari dirinya sendiri menuju diri-Nya sendiri yang lain. Terbayangkan? Sulit memang. Namun demikian itu adalah kebenaran sejati. Sejarah panjang mistik atau sufi membuktikannya. Dalam hal ini saya teringat akan suatu pernyataan: Mistik bukan bagaimana melainkan bahwa. Bagi saya ini adalah kebenaran mutlak. Ilustrasinya adalah sebagai berikut. Konon ada cerita tentang Yohanes a Cruce, seorang mistikus. Suatu saat orang bertanya padanya tentang misteri Allah Tritunggal. Dan sebagai teolog, dia mulai memikirkan kata-kata dan konsep yang paling tepat untuk menjelaskan misteri Trinitas itu dengan baik. Tetapi baru saja dia memikirkan misteri itu untuk diungkapkan dalam kata-kata, dia pun terhanyut dalam ekstase mistik; dan segera tampak bahwa misteri itu melampaui kata dan rupanya tidak mau dikurung dalam penjara kata juga dalam penjara konsep. Betapa cemerlang sekalipun. Bahkan misteri itu begitu kuat, sampai-sampai membuat si manusia yang ingin memper-kata-kannya, melayang-layang sekalian dengan kursi duduk tempat dia mau mulai bermain dengan kata-kata. Orang pun bingung.

Ada dua hal yang bisa ditarik sebagai kesimpulan: Pertama, bahwa Tritunggal itu adalah realitas, real. Jika tidak real, sulit menjadi obyek pengalaman. Justru karena real, maka bisa dialami, bisa menjadi objek pengalaman. Kedua, bahwa Tritunggal dapat “dipahami” dalam dan melalui pengalaman mistik. Saya garisbawahi kedua bahwa. Sebab mistik, bukanlah bagaimana melainkan bahwa. Segi bagaimana, adalah segi aktifitas rasional, reflektif, aktif. Segi bahwa, adalah segi aktifitas hati, hening-bening, seakan tenggelam dalam lubuk bengawan jati diri. (*/Fransiskus Borgias M)

*Tulisan ini dipetik dari majalah refleksi iman “Sinyal Transendensi” Th 11 No 1 Januari 1997 yang diterbitkan oleh Ordo Salib Suci Propinsi Sang Kristus.

 3,946 total views,  6 views today