LAPAR DAN HAUS AKAN YESUS

LAPAR DAN HAUS AKAN YESUS

Oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

Kalau sedang tercenung-cenung sendirian saya kadang merasa seperti tak habis pikir: sebenarnya, umat manusia itu makhluk yang jenius atau dungu setengah mati, sih? Beberapa kompleks persoalan kiranya dapat menerangi mengapa saya sampai berpikir demikian.

Masyarakat modern ditandai oleh taraf perkembangan ilmu-ilmu alamiah yang sedemikian maju dan canggih. Manusia bisa membuat roket yang bisa menembus langit ketujuh. Manusia juga bisa menciptakan teropong-teropong yang dapat membantu manusia mengintai galaksi-galaksi lain yang hampir tak terkira jauh jaraknya dari tempat dimana planet bumi berada. Manusia bisa mengadakan sistem pengeboran yang bisa menerabas jauh ke inti bumi. Manusia juga bisa menjelajah jauh ke kedalaman samudera-samudera terdalam dan memetakan segala makhluk yang ada di sana. Manusia juga sanggup merekayasa kloning dan mempermainkan DNA makhluk hidup manapun. Akhirnya, manusia juga sanggup menciptakan sistem-sistem pengukuran yang dapat meramalkan gejala-gejala alamiah yang paling rumit sekalipun.

Tapi, bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humanioranya? Terbilang relatif masih terlalu minim!!! Ukurannya gampang saja: hingga millenium ketiga ini berjalan umat manusia belum juga sanggup menghadirkan sistem ekonomi dan sistem sosial yang dapat mengayomi seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini sebagai satu keseluruhan yang utuh dan harmonis. Kapitalisme yang diagung-agungkan sebagai pemenang sejarah itu, nyatanya, tak lebih dari suatu sistem yang jahat dan mencekik kehidupan. Dan bagaimana dengan sistem sosial yang ada hingga sekarang? Sejauh perjalanan sejarah yang telah ditempuhnya manusia hanya mengenal 5 sistem sosial kemasyarakatan (sistem komunal purba, sistem perbudakan, sistem feodalisme, sistem kapitalisme dan sistem sosialisme), yang masing-masingnya penuh skandal yang memalukan dan memilukan manusia. Manusia masa kini dihadapkan pada berbagai krisis yang pertama-tama dan terutama bermula dari kelangkaan pengetahuan mengenai jati diri manusia itu sendiri sebagai makhluk individual dan sosial.

Ketimpangan perkembangan antara pengetahuan alamiah dan pengetahuan sosial itu bukan hanya terjadi saat ini. Hal tersebut sudah berjalan selama ribuan tahun. Dan itu menunjukkan betapa bebalnya manusia. Mengapa? Karena, sesungguhnya, sudah jauh-jauh hari kelemahan itu dikecam. Sudah sejak 2000 tahun lampau kurangnya pengertian mengenai diri manusia sebagai satu sosok individual dan sosial dikecam dengan keras oleh Yesus. Namun, agaknya, peringatan Yesus itu tak begitu dihiraukan dan berlalu tak lebih seperti angin tak berguna yang lewat begitu saja.

Sudah sejak 2000 tahun yang silam Yesus mengecam kurangnya pengenalan diri manusia akan dirinya sendiri sebagai makhluk individual dan sosial. Dalam Injil Lukas 12:54-56 kita dapat menemukan perkataan Yesus mengenai soal ini: “Yesus berkata pula kepada orang banyak: ‘Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini.’”

Sementara dari Injil Matius 16:1-4 kita mendengar: “Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka. Tetapi jawab Yesus: ‘Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.’ Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.”

Yesus membedakan antara “rupa bumi dan langit” dan “tanda-tanda zaman”. Yang pertama disebut dapat dipahami mengacu pada jenis pengetahuan alamiah sementara yang kedua dapat dipahami mengacu pada dunia atau pengetahuan sosial. Ini merupakan pengungkapan yang boleh dibilang sangat modern dan merupakan sesuatu yang sangat maju melampaui kapasitas penerimaan zamannya. Mungkin hal itu yang membuat Yesus kemudian menjadi satu sosok yang seringkali tak mudah untuk dipahami. Manusia seringkali gagal atau lambat dalam memahami apa yang sebenarnya dikehendaki-Nya.

Pembedaan antara pengetahuan alamiah dan pengetahuan sosial merupakan gagasan yang bersifat radikal dan modern. Butuh waktu hampir dua milenia, sejak kehadiran Yesus, bagi manusia untuk dapat sekedar meraba dan mengangkat persoalannya. Umat manusia begitu terlambat dalam menanggapi persoalan ini.

Dunia butuh waktu sekitar 1900 tahun menantikan kehadiran Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) untuk mulai dapat bicara dengan lebih jernih tentang pembedaan antara pengetahuan alamiah dan pengetahuan sosial. Menarik untuk mendengarkan komentar Fransisco Budi Hardiman mengenai capaian Dilthey: “Dilthey berhasil mendasarkan ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan pada sebuah metode khas yang berbeda dari metode ilmu-ilmu alam, yakni Verstehen, sehingga lewat Dilthey hermeneutik juga berkembang menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan. Ilmu-ilmu ini mendekati obyeknya, yaitu manusia dan kebudayaannya, dengan melibatkan diri untuk memahami makna, berbeda dari ilmu-ilmu alam yang mendekati obyeknya, yaitu alam, dengan mengambil jarak untuk menjelaskannya secara kausal.”

Kealpaan umat manusia dalam menanggapi seruan Yesus merupakan bukti bahwa umat manusia telah menelantarkan banyak hal yang baik yang diwartakan Yesus. Padahal, kalau saja manusia lebih peka dan responsif terhadap Yesus mungkin saja wajah dunia akan sangat berbeda, jauh lebih baik, dari yang dapat kita nikmati sekarang. Tetapi kealpaan untuk memperkuat pengetahuan sosial itu bukanlah satu-satunya bukti betapa kita telah banyak kali menihilkan Yesus. Bukti-bukti lain dapat segera disebutkan.

Dalam Injil Yoh 20:30-31 dikatakan: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Sementara sebagai Kata Penutup Injil Yohanes, yakni Yoh 21:25, dikatakan: “Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.”

Sejak awal-awal masa tarikh Masehi, Yesus telah membuat, mengajarkan dan melaksanakan tanda-tanda. Tetapi, adalah mengenaskan bahwa dunia telah tidak memberi perhatian maksimal terhadap persoalan “tanda” sampai muncul dua Bapak Semiotika Modern: Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Bukti lain pengabaian kita terhadap Yesus adalah pada soal metafor.

Banyak ahli Kitab Suci menjelaskan bahwa dalam menyampaikan ajaran-Nya Yesus banyak menggunakan parabel-parabel atau perumpamaan-perumpamaan. Entah bagaimana persisnya parabel-parabel atau perumpamaan-perumpamaan itu diklasifikasikan dan didefinisikan, yang jelas, dalam parabel-parabel atau perumpamaan-perumpamaan tersebut Yesus seringkali mendayagunakan metafor-metafor. Kita bisa segera mencatatkan beberapa metafor Yesus: Bapak yang murah hati (dalam kisah “Anak yang Hilang”), Orang Samaria yang baik hati, biji sesawi, domba yang hilang, pohon ara yang tidak berbuah, dsb, dsb.

Keberlimpahan metafor dalam ajaran-ajaran Yesus ternyata tidak berbanding lurus dengan studi dan penjelasan yang serius serta bersifat komprehensif mengenai “metafor” selama berabad-abad sampai kehadiran Paul Ricoeur, yang lahir pada tahun 1913 dan hidup sampai tahun 2005, yang telah melakukan penelaahan secara menyeluruh terhadap berbagai segi dan aspek dari apa yang disebut sebagai “metafor”. Jadi ada jarak waktu hingga mendekati hampir 2000 tahun antara penciptaan dan kemungkinan proses penjelasannya yang utuh atas metafor-metafor Yesus.

Sekali lagi, ketersingkapan berbagai problem di atas (lemahnya pengetahuan sosial kita, kelambatan dalam memahami apa itu yang disebut sebagai “tanda”, sepinya perhatian terhadap berbagai segi dan aspek dari apa yang disebut “metafor”) membuka fakta betapa banyak hal yang belum kita lakukan sebagai tanggapan atas berbagai hal baik yang telah diwartakan Yesus. Baik itu sehubungan dengan apa-apa yang tercantum dalam injil Suci, maupun, atau mungkin lebih tepat, apalagi, mengenai berbagai hal yang tidak sempat dicatatkan dalam Injil suci.

Terbukanya kesadaran dan jalan untuk memperdalam pengetahuan sosial kita serta tersingkapnya pelbagai ikhwal mengenai “tanda” dan “metafor” bukanlah kata akhir melainkan awal baru untuk semakin memahami sosok Yesus. Kita berada di ambang permulaan untuk menuangkan lebih banyak lagi pengetahuan sebagaimana yang mungkin lebih dikehendaki oleh Yesus.

Menatap segala keburukan wajah dunia kontemporer, terbersit rasa sesal dan berontak dalam hati: betapa dunia mungkin akan sangat berbeda dan jauh lebih baik bila saja sejak awal kita lebih peka dan responsif terhadap apa-apa yang dibuat oleh Yesus. Dari penyesalan itu tumbuh kesadaran betapa kita nyatanya belum sungguh mengenal “siapa itu Yesus” dan “apa saja yang bisa diadakan-Nya”.

Mengungkap lebih banyak hal tentang Yesus, terutama sehubungan dengan pelbagai kemungkinan yang memang tidak sempat dicatatkan dalam Kitab Suci, dengan demikian, menjadi mata agenda yang meminta penuntasannya. Dunia nyatanya masih lapar dan haus akan Yesus. Dan kita dipanggil untuk menjadi pembawa obor yang dapat menerangi gulita keberadaan eksistensial umat manusia.

Mengungkap lebih banyak lagi hal tentang Yesus lalu bukan merupakan perkara menang-menangan antara golongan agama yang satu dibanding dengan agama tertentu yang lain. Mengungkap lebih banyak lagi hal tentang Yesus menjadi persoalan hidup-mati dalam rangkaian sejarah evolusi kita sebagai makhluk yang berkesadaran. (***)

Semplak, 13 April 2023

 

SUMBER RUJUKAN

1. Bambang Sugiharto, I. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 1996
2. Budi Hardiman, F. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermarcher Sampai Derrida. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015
3. Herry-Priyono, B. Ilmu Sosial Dasar: Asal-usul, Metode, Teori, plus Dialog dengan Filsafat & Teologi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2022
4. Panuti Sudjiman & Aart van Zoest. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1992

 693 total views,  3 views today