LOGIKA PERUMPAMAAN YESUS

oleh: Michael Dhadack Pambrastho
PENGANTAR
“KERAJAAN ALLAH” merupakan pesan inti ajaran Yesus bagi dunia modern. Demikian diwartakan kembali oleh John Fuellenbach, SVD dalam bukunya yang terbit tahun 2006. Tetapi, ada sedikit problem di sini. Problem apakah itu?
Yesus tidak pernah membeberkan ungkapan “Kerajaan Allah” dalam terminologi yang konkret. Ia mengemukakan makna “Kerajaan Allah” dalam bentuk tindakan-tindakan simbolis, misalnya, makan semeja dengan orang berdosa, menyembuhkan orang sakit, dan mengusir setan. Tetapi yang paling utama ialah Ia mengungkapkan makna Kerajaan Allah dalam perumpamaan, kiasan, gambaran, dan metafor. Yesus sendiri bukanlah penemu perumpamaan. Perumpamaan sudah jauh sebelumnya dipergunakan di Yunani dan Roma, juga dalam cerita-cerita dan karya tulis orang Israel. Para nabi juga berbicara dalam bahasa perumpamaan dan menggunakannya untuk menjelaskan dan mempertahankan tafsiran mereka atas Taurat.
Hagada sangat menghargai perumpamaan sebagai berikut: “Jangan menganggap remeh perumpamaan. Dengan pelita seharga satu sen seseorang sering dapat menemukan emas yang hilang atau mutiara yang mahal. Dengan menggunakan perumpamaan yang dianggap sepele seseorang kadang-kadang masuk ke dalam gagasan yang paling dalam”.
Perumpamaan adalah bentuk yang paling khas dari cara Yesus berbicara. Perumpamaan adalah metode Yesus sendiri dan merupakan sarana yang paling tepat untuk memahami Kerajaan Allah. Perumpamaan harus dianggap sebagai ucapan autentik Yesus, yang membuat kita “kena” dengan gagasan-Nya secara dramatis, terutama sekali dengan imajinasi-Nya. Pentingnya perumpamaan seperti yang dipakai Yesus dijelaskan dengan baik oleh Bredin. Menurut dia:
Kita berhadapan dengan seorang guru yang luar biasa persuasif dan juga proaktif yang mengajarkan mengabadikan pesan-apa yang Ia sebut “Kerajaan Allah” aktif di dalam hidup manusia. Ia adalah guru yang dengan kejelasan dan ketajaman yang mengagumkan berhasil mengabadikan pesan-Nya berupa puisi yang senantiasa berdengung dan tak terlupakan yang kita sebut perumpamaan. Puisi ini dengan cara yang amat berdaya guna memadukan kontras dan paradoks, ironi, dan humor, yang serupa dan yang tidak serupa, gagasan yang mendalam dan penggunaan konkret. Dalam pengajaran Yesus, perumpamaan lebih sering ditemukan dibanding dengan bentuk retorik lainnya dan dengan perumpamaan kita berada pada batu alas tradisi tentang Yesus dari Nazaret.
Perbedaan di antara Injil dengan literatur “klasik” Yunani dan Roma sangatlah jelas. Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai seorang yang menyampaikan wartanya di antara kaum tani di desa Galilea. Dunia mereka, problem sosial dan individu merekalah yang tampak di dalam cerita dan perumpamaan-Nya.
Perumpamaan menyajikan kepada kita persepsi Yesus tentang Kerajaan dan melukiskan dalam bentuk simbol dampak yang dibawa oleh Kerajaan Allah ke dalam dunia, baik sebagai pengalaman masa kini maupun sebagai janji masa yang akan datang. Perumpamaan mempertanyakan struktur realita masa kini dan terbuka terhadap kemungkinan membayangkan realita dalam cara yang sama sekali lain. Hal yang paling mengejutkan mengenai perumpamaan Yesus ialah kenyataan bahwa mereka tidak semata-mata menghadirkan visi Kerajaan. Lebih dari itu, mereka memberikan visi Kerajaan yang menuntut tindakan segera yang ditujukan untuk mengubah dunia di dalam keadaannya sekarang ini.
Hanya dengan masuk ke dalam perumpamaan-perumpamaan, para pendengar dapat sampai pada cakrawala makna yang sama di dalamnya Yesus mengalami “reformasi” yang terdalam yang dikembangkan oleh Kerajaan Allah.
Tetapi, apa itu perumpamaan?
Para ahli mengajukan bermacam-macam penjelasan mengenai bentuk perumpamaan.
Perumpamaan adalah satu dari sekian banyak cerita di dalam Kitab Suci yang pada mulanya kedengarannya seperti cerita yang menyenangkan, tetapi tetap merahasiakan sesuatu, tiba-tiba muncul dan membuat Anda jatuh tertiarap. Perumpamaan adalah suatu perbandingan yang ditarik dari alam dan dari hidup sehari-hari, disusun untuk mengajarkan suatu kebenaran rohani, dengan pengandaian bahwa apa saja yang absah di satu bidang – alam ataupun hidup harian – juga absah di dalam dunia rohani.
“Cerita duniawi dengan makna surgawi”. Perumpamaan menggunakan cerita duniawi untuk mengungkapkan suatu realita yang mendobrak pengalaman manusia. Cerita ini disampaikan bukan untuk memisahkan manusia dari kehidupan, tetapi sejauh kita berpartisipasi di dalam perumpamaan, mengungkapkan kepada kita hakikat pemerintahan Allah, yang selama kita mendengarnya, juga kena pada zaman kita. Perumpamaan berkaitan dengan pemerintahan oleh Allah, dengan menunjukkan bagaimana hidup manusia dipengaruhi apabila Allah membawa masuk Pemerintahan Ilahi.
Di dalam perumpamaan dibuat perbandingan. Sesuatu yang kurang begitu dikenal – atau sekurang-kurangnya sudah mulai dikenal – dibandingkan dengan sesuatu yang sudah dikenal. Kata parabela – perumpamaan – berarti “memindahkan ke samping” atau “membandingkan”. Dalam kiasan, sesuatu dikatakan SEPERTI yang lain, misalnya: “Kekasihku sama seperti mawar merah”. Dalam metafor, sesuatu ADALAH yang lain, misalnya: “Engkau adalah matahariku satu-satunya”. Di dalam kiasan ataupun metafor, dua ungkapan yang tidak sama yang dipasang berdampingan menyebabkan budi dan imajinasi bergumul dengan realita yang tertutup. Hal ini menghasilkan wawasan dan pengertian yang tidak dapat diterapkan ke dalam cara bicara kita yang konvensional analitis. Kalau ketidaksamaan dipasang berdampingan, maka bahasa konvensional untuk sementara disisihkan dengan maksud untuk menggetarkan imajinasi menuju ke pemahaman yang lebih penuh tentang realita.
Setiap perumpamaan adalah cerita dan setiap cerita mengandung pelajaran: sehingga setiap perumpamaan bermakna ganda – cerita dan pengajaran –. Tujuan dari perumpamaan adalah mengadakan perubahan di dalam diri para pendengar, mengantar kepada keputusan dan tindakan; sedangkan pelajaran bersifat religius dan moral.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, muncullah empat butir prinsip perumpamaan; (1) ia mengatakan sebuah cerita (bersifat naratif); (2) bermakna ganda (topikal atau figuratif); (3) maksudnya untuk mengajak, meyakinkan dan menobatkan (retoris); (4) pelajarannya selalu mengenai apa yang harus dibuat dalam hubungan antara yang Ilahi dengan yang manusiawi (religius, etis).
Jelas bahwa untuk memahami perumpamaan penting sekali menemukan situasi dalam mana satu perumpamaan pertama kali dikatakan, maksud Yesus serta pengalaman yang memunculkan dikatakannya perumpamaan itu. Dengan ini akan menjadi lebih jelas bahwa perumpamaan adalah penuturan yang terjadi sekali-sekali atau kadang-kadang, disampaikan kepada kelompok orang tertentu pada kesempatan tertentu. Mereka menunjukkan suatu keakraban yang mencakup pengalaman sosial, budaya, dan sejarah. Banyak perumpamaan ditujukan kepada orang-orang yang tidak ambil bagian dalam pandangan Yesus mengenai realita. Perumpamaan Yesus selalu saja mengagumkan dan sering kali mengejutkan para pendengarnya.
Perumpamaan mulai dengan hidup sehari-hari manusia; pelaku dan tempat kejadiannya biasa-biasa saja; siapa saja bisa berada dalam situasi yang sama. Keseharian dari cerita-cerita itu berarti bahwa para pendengar mengenal baik orang-orang itu. Perumpamaan terasa menyenangkan. Perumpamaan meyakinkan semua orang, tanpa memperhatikan latar belakang, profesi, agama, dan aliran politik. Hasil guna perumpamaan terletak pada perbandingannya yang tetap terhadap pengalaman, entah pengalaman Yesus maupun para pendengarnya. Dari 22 perumpamaan ada yang dimulai dengan pertanyaan: “Bagaimana pendapatmu”? (Mat. 18:12;21;28). “Siapakah di antara kamu” (Luk. 15:4; 17; 7). “Dengan apakah” (Mrk. 4:30). Seluruh perumpamaan pada dasarnya adalah pertanyaan yang meminta jawaban dari para pendengar. Ia meminta pendapat dari para pendengarnya. Dinamika di antara pertanyaan dan jawaban, di antara perumpamaan dan pendengar dapat dilukiskan sebagai berikut:
Perumpamaan meminta pendengar menjadi bagian dari cerita: “Ia adalah semacam situasi di mana Anda dapat menemukan diri Anda sendiri di dalamnya. Inilah macam manusia yang Anda kenal. Inilah hidup anda. Pria atau wanita ini adalah Anda sendiri”. Dalam perumpamaan terjadi perubahan metafor, karena sesuatu yang baru dan yang tidak dinanti-nantikan – sesuatu yang mengejutkan, serangan yang harus dijawab ya atau tidak – selalu dimasukkan ke dalam cerita, sedangkan yang sudah terasa akrab, pasti, yang disenangi dan yang dinantikan justru dipertaruhkan. Tanah tempat kita berpijak mulai terbuka di bawah kaki kita; suatu celah mulai muncul di dalam kesepakatan lama: susunan yang sudah ada dikoyak-koyak. Apa yang selama ini dianggap sudah pasti – rasa aman paham lama, kebiasaan yang rapi, praanggapan yang sudah turun-temurun; syarat-syarat yang tidak perlu dipertanyakan – semuanya kini dilepaskan dan kita bebas berdiri di depan kebenaran yang baru yang dibuka kepada kita. Tetapi visi kebenaran yang baru itu benar-benar tidak diharapkan sebelumnya dan mengejutkan, mengacaukan arah, membuat sakit dan tentu saja menggoncangkan dan menggerogoti stabilitas, bersifat subversif.
Perumpamaan seringkali mengelupas praduga terselubung dan asumsi yang salah. Reaksi yang pertama dan yang paling instinktif terhadap cerita adalah rasa penasaran, malah rasa jengkel dan marah. Sejumlah contoh akan menunjukkan dinamika ini. Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang upahan terakhir yang mendapat upah yang sama dengan mereka yang bekerja sepanjang hari di bawah panas terik matahari (Mat. 20: 1-16). Tindakan semacam ini jelas tidak benar, menyakitkan hati, tak peduli bagaimanapun kita memutar cerita itu. Cerita ini memutarbalikkan asumsi kita dan membuat kita penasaran. Yesus malah tambah mencemoohkan dengan berkata: “Atau iri hatikah engkau, karena Aku murah hati?” Tentu saja! Bagaimana mungkin, ada orang yang mendapat sesuatu dengan mudah, sementara kita sendiri harus bekerja berat punggung sakit? Allah seharusnya bekerja dengan sistem komisi langsung. Di sinilah letak tantangannya. Cerita perumpamaan tidak hanya bermaksud untuk menuntut, tetapi untuk mengajak, suatu ajakan untuk mencari dasar dari sakit hati kita. Kita harus melihat sesuatu lebih mendalam.
Kita telah menciptakan suatu rasa harga diri atau rasa diri penting, dengan membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita memiliki kepentingan tertentu dalam merendahkan orang lain secara halus. Kemurahan Yesus ini adalah hal terakhir yang kita inginkan karena Ia menyamakan semuanya. Ia menyingkirkan hak istimewa kita, balas jasa dan dasar untuk lebih. Ia menyentuh rasa bersaing dan kecemburuan kita yang mendasar.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai cerita “Anak yang Pemboros” (Luk. 15: 11-32). Mengapa putra sulung begitu tidak senang, sehingga ia tidak dapat menyebut si bungsu “saudara”-nya tetapi menyebutnya “anak bapa” (anakmu) (ayat 30). Ia butuh menjadi lebih dari anak kedua dan begitu kebutuhannya tidak sampai, maka adiknya itu ia tidak lagi sebut “saudaraku”.
Hanya kalau saudara yang lebih tua itu mengasihi adiknya dengan segenap hatinya, yaitu apabila ia mau menerima sikap ayahnya terhadap adiknya, maka ia dapat ikut dalam pesta itu. Daripada menghitung-hitung kesalahan yang telah dibuat oleh adiknya, ia diminta bersukacita di dalam fakta yang sesungguhnya, yaitu bahwa ia yang telah hilang kini pulang, ia yang dikasihi telah kembali. Di balik perumpamaan itu tampak tuntutan Kerajaan bahwa seorang murid Yesus “hendaklah (kamu) murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati” (Luk. 6:36).
Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (luk. 20:29-37) menyajikan kepada kita satu tantangan baru yang menarik yang Yesus kemukakan kepada kita pendengar-Nya. Berikut kita bisa melihat interpretasi Eammon Bredin atas perumpamaan klasik ini:
Latar belakang historis adalah pandangan Yahudi. Ada dua petugas kenisah mewakili tatanan sosial dan agama. Orang Yahudi menganggap rendah tetangga mereka (Samaria), jelek, orang luar yang telah menjual agama dan kebudayaan mereka. Orang Yahudi ortodoks tak akan berhubungan dengan orang Samaria (Yoh. 4:9). Mereka lebih suka berulangkali menyeberangi sungai Yordan daripada masuk ke dalam wilayah provinsi itu. Beberapa nabi yakin bahwa menerima bantuan dari mereka akan menunda penyelamatan Israel. Dengan gagasan-gagasan inilah kita harus mencoba mendengar cerita ini sekali lagi.
Saya diminta untuk mengidentifikasi diri dengan orang yang turun ke Yeriko. Orang itu adalah saya. Saya diserang, dirampok habis-habisan. Saya ditinggalkan tergeletak pingsan di dalam parit dan saya mengharapkan bantuan dari imam yang datang mendekat. Tetapi ia lewat saja. Mengapa? Karena ia sibuk dan lagi takut kalau-kalau saya sudah mati. Maka ia tidak lagi tahir secara ritual. Hal yang sama terjadi dengan orang Lewi. Para pendengar Yesus yang menunggu datangnya orang yang ketiga dan yang terakhir (selalu ada tiga) mulai mengantisipasi. Mereka tahu siapa yang akan muncul. Mata mereka mulai menyala. Yesus adalah seorang awam. Ah, sekarang saya melihat: Ia antiklerikal. Maka yang akan muncul di tikungan itu tentu seorang awam Yahudi dan semua kita akan gembira dan bertepuk tangan. Eh, ternyata Yesus memasukkan perubahan istimewa atau celah ke dalam cerita ini. Permukaan yang mulus pecah lalu memperlihatkan duri yang tak terhindarkan di bawahnya. Begitu kata yang diucapkan saja tidak boleh (!) itu disebutkan, maka kebencian di kalangan pendengar Yesus menjadi kentara. Sambil tidak menghiraukan reaksi yang ditimbulkannya, cerita kita jalan terus, dengan detail yang bernada kasih sayang, tentang si Samaria itu dan tindakannya. Lalu, pada akhir cerita kita menemukan pertanyaan Yesus yang bersifat provokatif: “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36).
Kalau saya mengidentifikasi diri saya dengan orang yang malang itu, maka saya sebagai orang Yahudi harus mengatakan apa yang tidak boleh dikatakan, saya harus mengatakan apa yang menurut hukum tidak boleh dikatakan – orang Samaria itu adalah sesamaku. Maka saya pun dipaksa untuk mengatakan apa yang tidak boleh dikatakan. Saya harus mengucapkan apa yang tersangkut di tenggorokan, menyuarakan apa yang terpendam, menyambung dua kata yang sebelumnya tak pernah disatukan dalam sejarah pemisahan Yudea dan Samaria, yaitu kata: Samaria dan sesama. Kesimpulan ini adalah satu revolusi dan menyakitkan. Ia menuntut agar pandangan saya, cakrawala kekeluargaan saya, pemahaman saya, seluruh sistem nilai yang saya anut dipertanyakan. Semua kebiasaanku, hal-hal yang saya pelajari dari orang tua, kakek nenek dan pemimpin agama, malah imanku yang terdalam secara radikal dipertanyakan dan dibalikkan di dalam dan oleh cerita ini. Ceritanya belum berakhir. Cerita ini memandu saya lebih jauh kepada sesuatu yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Kalau Yesus benar-benar mau mengemukakan satu cerita yang revolusioner, cukup saya menceritakan bahwa yang di dalam parit itu orang Samaria yang mendapat pertolongan dari saya orang Yahudi. Nah sekarang, seorang bukan Yahudi memilih kasih semacam itu…..betul tidak masuk akal. Tetapi cerita ini mengatakan, pemuka agamaku yang terhormat yang seharusnya menolong saya, ternyata tidak mau berbuat demikian dan orang Samaria yang seharusnya ditolak, justru ia yang datang menolong saya.
Yesus sama sekali tidak menyebut Allah di sepanjang cerita itu. Mungkinkah itu berarti bahwa hanya apabila dunia sekitarku yang tertutup keprihatinannya, dengan penilaiannya yang tertentu, dengan posisi dan konklusi yang pasti, hancur remuk dan terbalik dulu, baru ada ruang bagi Allah?
Perumpamaan-perumpamaan mempunyai jalinan dengan pendengarnya. Maksud yang terakhir ialah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari suatu cara pandang baru terhadap realita. Dalam hal perumpamaan orang Samaria yang murah hati, semua diskriminasi, semua rasisme, semua kecurigaan dikutuk. Di hadapan Allah semua adalah saudara-saudari dan setiap orang yang membutuhkan bantuan menjadi saudaraku, siapa pun dia. Dalam menganalisis perumpamaan semacam inilah kita akan jelas melihat sikap Yesus melawan semua diskriminasi.
Yesus tidak menggunakan perumpamaan untuk menyampaikan kebenaran agama yang umum atau untuk masuk ke dalam perdebatan dengan para pendengarnya. Lebih dari itu. Ia mau supaya para pendengar “takluk” terhadap pandangan-Nya. Ia ingin agar orang-orang melihat betapa kelirunya cara pandang mereka, dengan mengundang mereka untuk mengubah sikap mereka menurut cara yang dituntut oleh kedatangan Kerajaan Allah.
Oleh karena itulah perumpamaan-perumpamaan sendiri tak akan pernah boleh diabaikan atau dianggap tidak ada. Interpretasi perumpamaan secara penggalan harus selalu merupakan soal kedua. Interpretasi sebenarnya tidak perlu untuk memahami perumpamaan. Perumpamaan sendiri adalah suatu pewartaan dan tidak boleh dipandang seakan-akan sebagai alat bantu untuk tujuan pelajaran tertentu, yang berarti terlepas dari pelajarannya. Ini berarti, partisipasi mendahului informasi. Bukan. Yesus berusaha mengomunikasikan suatu pengalaman kepada orang lain dengan membantu mereka menemukan pergumulan mereka sendiri dengan Kerajaan Allah dan dari pengalaman itu menarik cara hidup mereka sendiri.
Dengan menjelajahi konsep waktu dari segi yang lebih eksistensial, Crossan mengemukakan titik pandang yang lebih jauh mengenai perumpamaan-perumpamaan. Sebenarnya kita tidak dapat mengatakan Allah bertindak DI DALAM sejarah dan campur tangan DI DALAM waktu. Lebih tepat dikatakan, Allahlah (yang memanggil kita untuk menjawabnya) yang menciptakan sejarah kita manusia dan yang memberikan kita waktu. Waktu adalah kehadiran Allah. Waktu manusia dan sejarah manusia muncul dari jawaban terhadap Ada abadi yang selalu menyatakan diri-Nya sebagai yang dinantikan dan yang tidak terduga. Ia membatalkan rencana masa depan kita dengan datangnya misteri Allah yang selalu baru dan tidak dapat diramalkan sebelumnya. Kedatangan Allah mengungkap masa lalu yang berbeda, dari apa yang kita duga secara objektif tidak diberi sebelum kedatangan-Nya. KEDATANGAN ALLAH bisa saja menuntut penilaian kembali yang radikal atau malah suatu pembalikan terhadap masa lalu kita. Tetapi justru kedatangan dan pembalikan inilah yang menciptakan kekuatan untuk masa kini yang sekarang ini sungguh-sungguh sedang bekerja. Kita tidak lagi berhadapan dengan pergantian objektif dan di permukaan mengenai tiga momen: masa lalu, masa kini, masa yang akan datang; kita kini terbuka terhadap kekinian yang lebih mendalam dan eskatologis dari tiga cara: KEDATANGAN – PEMBALIKAN – AKSI.
Dengan perspektif tentang waktu seperti yang dikatakan di atas, perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga (Mat. 13: 44-46) memberikan kunci yang dapat membuka perumpamaan-perumpamaan yang lain. Perumpamaan ini mengandung pola rangkap tiga yang merangkum pengalaman tentang Kerajaan: (1) KEDATANGAN Kerajaan sebagai pemberian Allah, (2) PEMBALIKAN dari pihak dunia para penerima; (3) pemberian wewenang kepada yang menerima untuk BERTINDAK. Sebagai contoh, perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga menghancurkan pengalaman pribadi mengenai realita, dengan KEDATANGAN harta yang mendadak dan tak diduga. Penemuan harta itu mendatangkan suatu PEMBALIKAN dalam gaya hidup orang itu. Keputusan untuk “menjual seluruh harta miliknya” menghantarnya ke suatu bentuk AKSI yang baru. Semua perumpamaan dapat dilihat dalam skema lapis tiga itu: (1) Yesus mewartakan KEDATANGAN Kerajaan di dalam sejarah sebagai sesuatu yang sama sekali baru dan tidak pernah dialami sebelumnya dalam bentuk ini; (2) Realisasi Kerajaan Allah sebagai suatu realita masa kini mengakibatkan PEMBALIKAN nilai-nilai hidup pribadi dan perubahan dalam pandangan, dan (3) ia menuntun kepada TINDAKAN.
Maka, araah dari semua perumpamaan adalah langsung kepada perubahan, membentuk aksi yang ditujukan kepada perubahan langsung kepada perubahan, membentuk aksi yang ditujukan kepada perubahan situasi kini, dan sebagai akibatnya perubahan situasi dunia. Adapun yang mendorong individu untuk bertindak adalah “kegembiraan” atas harta yang tak terduga, anugerah keselamatan yang besar, pengalaman akan rahmat Allah yang mengubah hidup. Yesus menceritakan kepada para pendengar-Nya supaya mereka menyadari kedatangan Allah yang berahmat ke dalam masa kini, memampukan mereka untuk mengubah hidup mereka dan supaya mereka menjadi pelaksana dari tindakan yang baru. Perumpamaan Yesus mau menarik kita kepada hadirnya Kerajaan; kemudian menantang kita untuk bertindak dan hidup sesuai dengan pengalaman rahmat itu.
Meskipun terbanyak perumpamaan berhubungan dengan warta Yesus mengenai Kerajaan, kumpulan perumpamaan Yesus yang biasa disebut “perumpamaan tentang pertumbuhan” dalam Mat. 13 dan Mrk. 4, amat penting untuk secara memadai memahami warta tentang Kerajaan. Perumpamaan dimaksud antara lain adalah: seorang penabur, benih yang tumbuh, biji sesawi dan ragi, lalang di antara gandum, pukat penuh ikan.
Untuk memahami pesan yang sebenarnya dari perumpamaan-perumpamaan ini, semua alegori harus disingkirkan. Kalau dalam alegori unsur-unsur cerita dan pelakunya diuraikan dan tujuan akhir cerita dijelaskan dengan terang, di dalam perumpamaan maksud atau makna cerita tidak dijelaskan atau diuraikan. Benar bahwa para penginjil sering mengubah perumpamaan Yesus menjadi alegori. Contoh yang paling baik adalah tendensi Markus mengalegorikan perumpamaan penabur (Mrk. 4: 14-20). Semua penginjil berbuat yang sama pada beberapa perumpamaan, khususnya dengan membuat rangkuman atau penjelasan pada akhir perumpamaan. Dalam membaca perumpamaan, seseorang harus menerima perumpamaan benar-benar sebagai perumpamaan, dan kesampingkan unsur-unsur tambahan alegori; “titik perbandingan” antara gambaran dan isi, hanya itulah yang menjadi titik masalah.
Misalnya, titik perbandingan dalam perumpamaan tentang biji sesawi (Mrk. 4: 30-34 par.) mengemukakan kontras di antara kecilnya awal Kerajaan Allah sekarang dan besarnyas kemudian pada kepenuhannya. Meskipun kecil dan tidak mencolok pada awalnya, namun akhir yang besar adalah pasti. Penutur tidak merefleksikan proses pertumbuhan alamiah. Ia menilai dan mengukur dari apa yang ia saksikan dengan matanya sendiri. Yesus mengatakan bahwa kendati awalnya tidak berarti, gambaran benih yang terkecil, kuasa Allah akan menghasilkan panenan yang besar. Perumpamaan yang ditafsirkan seperti ini dan dilepaskan dari semua alegori, kembali diletakkan pada tempatnya yang sebenarnya. Begitulah pelayanan Yesus sebagai tindakan eskatologis yang besar dari Allah yang datang untuk menyelamatkan umat-Nya. Itu adalah intervensi akhir dan yang menentukan dari Allah yang hidup di dalam sejarah manusia, demi penyelamatan umat manusia.
Lalu, apa yang bisa disimpulkan dari semua uraian di atas?
Meski penggunaan ungkapan “Kerajaan Allah” oleh Yesus sebagai pusat pewartaan dan misi-Nya adalah sesuatu yang unik, ungkapan ini didasarkan pada pengalaman religius umat Israel. Allah Perjanjian Lama adalah Allah yang memelihara, mengasihi, dan mengampuni. Ia Allah yang penuh belaskasih. Setiap perumpamaan yang Yesus berikan merupakan kesaksian yang gamblang tentang Allah semacam ini. Pendengar-Nya sekurang-kurangnya dan dengan salah satu cara dapat mengambil bagian di dalam “pengalaman baru” yang Yesus berikan itu, karena perumpamaan yang Ia buat secara tetap mengacu pada pengalaman orang Israel akan Yahwe di masa yang silam. Untuk kita penting diingat bahwa pengalaman akan Allah Perjanjian Lama yang diungkapkan dalam simbol Kerajaan Allah, tetap hadir di dalam Perjanjian Baru. Membangkitkan kembali dan berperan serta di dalam “pengalaman lama” ini mempunyai nilai bagi peran serta kita sendiri di dalam kerajaan seperti yang Yesus sendiri alami.
Yesus mewartakan dekatnya Allah Abraham, Musa, dan para Nabi, Allah yang menentukan bahwa telah datang waktunya untuk membawa kepada umat-Nya keselamatan yang sudah lama mereka nantikan, untuk memberi hidup dan membawa keadilan dan damai dengan memihak pada orang miskin dan terbuang. Tujuan Kerajaan adalah membentuk satu keluarga besar, suatu umat di mana semua orang menemukan tempat tinggalnya di dalam keluarga Allah. Di sini semua diskriminasi pribadi maupun kelompok akan berhenti. Inilah gambaran yang Yesus mau bawa. Inilah warta Kerajaan Allah.
Demikian pengertian mengenai perumpamaan Yesus menurut John Fuellenbach, SVD sebagaimana disampaikannya dalam bukunya yang bertajuk “Kerajaan Allah: Pesan Inti Ajaran Yesus bagi Dunia Modern”.
Selanjutnya, pada bagian berikut, tulisan ini merupakan pengungkapan kembali bab awal dari buku YM Seto Marsunu yang berjudul “Pesan Tuhan dalam Perumpamaan”. Dengan kombinasi penjelasan mengenai “perumpamaan Yesus” dari dua narasumber ini diharapkan semoga sidang pembaca yang terhormat dapat maju satu langkah lagi dalam upaya memahami Yesus dari Nazareth, Tuhan kita.
PENDAHULUAN
Ketika mengajar orang banyak, sering kali Yesus menggunakan perumpamaan. Dari seluruh pengajaran Yesus yang tercatat dalam Injil, sepertiga di antaranya berupa perumpamaan. Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus biasanya cukup sederhana, mudah diingat, dan sering kali mempergunakan gambaran yang biasa ditemukan dalam hidup sehari-hari. Ia membawa para pendengar pada dunia yang akrab, yang begitu sederhana dan jelas, sehingga baik orang tua maupun anak-anak, orang terpelajar maupun tidak terpelajar, dapat mengerti.
PENGERTIAN
Kata Yunani “perumpamaan” adalah parabole, dari kata kerja paraballo, yang berarti “meletakkan berdampingan” atau “menempatkan sejajar.” Dalam perumpamaan ada dua hal yang diletakkan berdampingan: yang pertama diambil dari kehidupan nyata atau dari cerita yang dibuat dengan sengaja, dan yang kedua dari ajaran iman yang merupakan pokok ajaran yang hendak disampaikan. Biasanya hanya perumpamaan itu sendiri yang disampaikan kepada para pendengar, sedangkan ajaran yang hendak disampaikan itu dibiarkan tetap tersembunyi. Para pendengar diajak untuk mencari sendiri pesan atau kebenaran yang hendak disampaikan dalam perumpamaan itu.
Perumpamaan-perumpamaan Yesus seringkali mengejutkan dan paradoksal. Perumpamaan berangkat dari sesuatu yang sederhana, akrab, dan dapat dimengerti lalu bergerak menuju aspek perbandingan yang sering kali menyentak para pendengar dan menantangnya untuk merenungkannya. Misalnya, dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, yang tampil sebagai sesama bagi orang yang dirampok itu justru orang Samaria dan bukan imam atau orang Lewi yang lewat di tempat kejadian. Mengapa gembala itu berani mengambil resiko untuk mencari satu ekor domba yang terpisah dari kawanannya, padahal ia masih memiliki 99 ekor domba lain? Perhatian gembala itu dan kerelaannya untuk mempertaruhkan hidupnya, mengajarkan perhatian dan kasih Allah pada anak-anak-Nya.
JENIS-JENIS PERUMPAMAAN
Perumpamaan daslam Injil terdiri atas tiga kelompok, yaitu simlitude/simile, perumpamaan, dan ilustrasi (kisah teladan). Perlu diperhatikan bahwa kata “perumpamaan” digunakan dalam dua arti yang berbeda. Dalam arti luas kata ini mencakup perumpamaan pada umumnya, sedangkan dalam arti sempit kata ini menunjuk pada salah satu dari tiga jenis perumpamaan.
Similitude/Simile
Similitude adalah jenis perumpamaan yang paling ringkas. Gambaran yang dipergunakan dalam similitude diambil dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, hal yang biasa dan diketahui oleh semua orang. Misalnya, cara para perempuan mempergunakan ragi untuk membuat roti (Mat. 13:33), apa yang tejadi ketika orang menabur biji sesawi (Mat. 31-32), cara majikan memperlakukan hambanya (Luk. 17:7-10), bagaimana seorang ayah memberikan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya (Luk. 11:11-13), dan kegembiraan orang yang menemukan domba atau dirhamnya yang hilang (Luk. 15:4-10). Karena gambaran yang dipergunakan diambil dari kehidupan nyata yang biasa dialami oleh semua orang, similitude diawali dengan frasa berikut:
- “Jika seorang di antara kamu mempunyai” (Luk. 11:5)
- “Jika seorang di antara kamu mempunyai” (Luk. 11:11)
- Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah Menara (Luk. 14:28)
- Siapakah di antara kamu yang mempunyai 100 ekor domba” (Luk. 15:4)
Kekuatan similitude terletak dalam kenyataan yang diterima secara luas sebagai kebenaran. Tidak ada yang menyangkal kebenaran yang terungkap dalam similitude karena diambil dari kenyataan yang diketahui oleh semua orang. Tidak akan ada yang menyangkal bila orang yang kehilangan seekor domba, akan mencarinya. Tidak akan ada juga yang menyangkal bila orang hanya menggunakan sedikit ragi ketika membuat adonan.
Perumpamaan
Berbeda dari similitude, perumpamaan dalam arti sempit mengambil gambaran dari imajinasi atau peristiwa yang sungguh terjadi namun tidak biasa dan terdengar aneh. Biasanya perumpamaan diawali dengan kata-kata seperti ini:
- “Ada seorang kaya yang mempunyai seorang bendahara” (Luk. 16:1)
- “Seorang mempunayi dua anak laki-laki” (Mat. 21:28)
- Ada seseorang mengadakan perjamuan besar dan ia mengundang banyak orang” (Luk. 14:16)
- “Dalam sebuah kota ada seorang hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak menghormati seorang pun” (Luk. 18:2)
Kejadian itu diceritakan dengan cara yang hidup dan menarik sehingga orang yang mendengarnya tidak mempertanyakan apakah cerita yang sedang didengarnya itu benar-benar terjadi atau tidak. Cerita yang dibuat dalam perumpamaan sering kali bertentangan dengan kenyataan yang biasa terjadi sehingga menarik orang untuk mendengarkannya. Apa yang diceritakan hanya terjadi atau dilakukan oleh tokoh dalam cerita tersebut; pada umumnya orang tidak akan mengalami atau melakukan hal seperti itu. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, sang ayah mengadakan pesta untuk menyambut anaknya yang telah menghabiskan warisan yang menjadi bagiannya.
Ilustrasi (Kisah Teladan)
Similitude dan perumpamaan menyajikan analogi antara dua hal yang sama sekali berbeda. Misalnya, Kerajaan Allah dibandingkan dengan benih, pendosa dibandingkan dengan dirham atau domba yang hilang. Ilustrasi tidak menyajikan analogi, tetapi memberikan contoh atau kasus yang mengilustrasikan sebuah prinsip umum. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, orang Samaria itu mengilustrasikan kasih kepada sesama (Luk. 10:29-37). Dalam perumpamaan tentang orang kaya dan Lazarus, orang kaya itu mengilustrasikan sikap yang keliru di dunia ini yang membuat orang mengalami hal yang buruk di dunia yang akan datang (Luk. 16:19-31). Dalam perumpamaan tentang pemungut cukai dan orang Farisi, kedua orang itu mengilustrasikan sikap yang benar dan yang keliru ketika berdoa (Luk. 18:9-14). Karena tidak menyajikan analogi, dalam ilustrasi atau kisah teladan ini, kita tidak perlu mencari tahu tokoh-tokoh di dalamnya melambangkan apa. Yang perlu kit acari adalah teladan yang disampaikan oleh para tokoh dalam cerita tersebut.
TUJUAN PENGGUNAAN
Yesus menggunakan perumpamaan terutama untuk menyampaikan pengajaran. Selain itu, Ia menggunakannya ketika berbicara dengan orang-orang yang menentang-Nya. Dalam beberapa perumpamaan, Yesus tidak membrikan artinya dan membiarkan orang-orang yang mendengarkan-Nya mencari sendiri makna yang hendak disampaikan melalui perumpamaan itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan: “Apakah Yesus sengaja menggunakan perumpamaan untuk membuat para pendengar-Nya bingung?”
Mengajar
Yesus mempergunakan perumpamaan untuk menyampaikan pesan pokok dari ajaran yang hendak disampaikan-Nya. Dengan cara demikian, Ia tidak hanya berbicara kepada pikiran para pendengar-Nya, tetapi juga kepada hati mereka. Dengan memakai perumpamaan, Yesus mengundang para pendengar untuk berpikir, berpendapat, mengambil sikap, bahkan mengubah sikapnya untuk diselaraskan dengan ajaran-Nya.
Meskipun Yesus terkesan memakai perumpamaan sebagai pengajaran terselubung, tujuan utamanya adalah memberi pencerahan. Pada kenyataannya, berbagai perumpamaan Yesus berfungsi secara efektif untuk membantu memahami ajaran-Nya. Kita dapat mengambil contoh dari cara Yesus mengajarkan arti Kerajaan Allah. Dalam Mrk. 4:30 Yesus berkata, “Dengan apa kita hendak membandingkan Kerajaan Allah itu, atau dengan perumpamaan manakah kita hendak menggambarkannya?” Kelihatan di sini bahwa Yesus mencari cara agar misteri Kerajaan Allah dipahami lewat perumpamaan. Dia tidak bermaksud menyelubungi ajaran-Nya, tetapi justru mencari cara agar pengajaran-Nya tentang Kerajaan Allah dapat dipahami sesuai dengan daya tangkap pendengar-Nya.
Pertentangan
Beberapa perumpamaan dikisahkan oleh Yesus ketika harus menghadapi orang-orang yang tidak setuju dengan sikap-Nya, ingin mencobai-Nya, dan mencari-cari kesalahan-Nya. Terhadap serangan mereka, Yesus memberi tanggapan dengan hati-hati dan cerdik karena Ia mengetahui bahwa jawaban yang tidak taktis akan membawa risiko. Perumpamaan yang dikisahkan oleh Yesus untuk menanggapi para lawan-Nya ini antara lain perumpamaan tentang anak/domba/dirham yang hilang (Luk. 15), perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37), para penggarap kebun anggur (Mrk. 12:1-12). Lewat ketiga perumpamaan tersebut Yesus bermaksud menunjukkan sikap Allah terhadap pendosa, meluruskan cara pandang tentang sesama, dan mengkritik para lawan-Nya sebagai musuh bagi para utusan Allah. Hal ini juga tampak dalam Mrk. 3: 22-23:
Ahli-ahli Taurat yang datang dari Yerusalem berkata: “Ia kerasukan Beelzebul,” dan “Dengan penghulu setan Ia mengusir setan.” Yesus memanggil mereka, lalu berkata kepada mereka dalam perumpamaan: “Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis?….”
Tanggapan para pendengar terhadap perumpamaan Yesus tidak selalu positif. Ada perumpamaan Yesus yang ditanggapi secara negatif. Para lawan-Nya menjadi marah karena tahu bahwa perumpamaan yang dikisahkan Yesus itu mengkritik mereka. Karena itu, “……mereka berusaha untuk menangkap Yesus, karena mereka tahu, bahwa merekalah yang dimaksudkan-Nya dengan perumpamaan itu. Tetapi mereka takut kepada orang banyak. Jadi mereka pergi dan membiarkan Dia” (Mrk. 12:12; bdk. Luk. 20:19). Rupanya Yesus tidak hanya memakai perumpamaan untuk membela diri terhadap lawan, tetapi juga untuk mengkritik sikap mereka. Kritik ini disampaikan oleh Yesus untuk menyadarkan, bukan untuk menghina mereka. Dengan demikian, tidak semestinya mereka menjadi marah terhadap Yesus.
Membuat orang bingung?
Ketika ditanya oleh para murid, Yesus memberi alasan mengapa Dia mengajar dengan perumpamaan:
“…..Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap (Mat. 13: 10-14).”
Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa tidak semua orang dapat memahami perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan-Nya. “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang lain hal itu diberikan dalam perumpamaan, supaya sekalipun memandang, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti” (Luk. 8:10). Apakah Yesus bermaksud untuk mengatakan bahwa Ia memang ingin membuat para pendengar bingung? Tentu saja tidak. Yesus berbicara dari pengalaman-Nya memperhatikan para pendengar. Ia sadar bahwa beberapa orang yang mendengarkan perumpamaan-Nya menolak untuk memahaminya, bukan karena mereka secara intelektual tidak mampu, tetapi karena mereka menutup hati dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yesus. Mereka telah menutup pikiran mereka dan tidak mau percaya. Mereka tidak mengerti karena memang tidak mau mengerti. Yang dimaksud oleh Yesus adalah orang-orang Yahudi yang tidak mau menerima-Nya. Mereka dibedakan dari para murid yang diharapkan dapat mengerti karena telah menerima Yesus.
Allah hanya dapat menyatakan rahasia Kerajaan-Nya kepada orang yang rendah hati dan menaruh kepercayaan pada-Nya dan kebenaran yang disampaikan-Nya. Perumpamaan Yesus akan menerangi orang hanya bila ia memiliki hati dan pikiran yang terbuka dan membiarkan perumpamaan itu berbicara kepadanya. Bila orang mendengarkan perumpamaan dengan keyakinan bahwa ia telah mengetahui semuanya, orang itu akan melihat tetapi tidak tahu apa yang terjadi; ia mendengar perumpamaan itu tetapi tidak memahaminya.
CARA MENGGUNAKAN
Yesus mempergunakan perumpamaan untuk menjangkau hati para pendengar melalui imajinasi mereka. Perumpamaan menantang pikiran untuk memahami seperti apakah Allah itu dan menggerakkan hati untuk menanggapi kasih-Nya. Secara terampil Yesus merangkai kata-kata sederhana untuk memberikan cerita yang menggugah. Ia mempergunakan hal-hal yang dialami dan dijumpai dalam kehidupan sehari-hari untuk mengajarkan sesuatu yang tersembunyi, sehingga tampak bagi mereka yang memiliki mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Ia memberikan cerita-cerita yang hidup yang dapat menguasai imajinasi para pendengar. Untuk itu, dalam pengajaran-Nya Yesus mengadakan interaksi dengan para pendengar, mengambil kenyataan dari kehidupan sehari-hari, dan menggunakan cara-cara yang membantu para pendengar untuk berpikir.
Interaksi dengan Pendengar
Hal yang tampak menonjol dalam cara Yesus mengajar adalah interaksi-Nya dengan para pendengar. Ia tidak melulu berbicara tanpa peduli apakah orang-orang yang ada di hadapan-Nya mendengarkan atau tidak. Ia menjalin interaksi dengan para pendengar-Nya dan membuat mereka terlibat di dalam ajaran yang disampaikan-Nya. Karena itu, ketika mengisahkan perumpamaan, kerap kali Yesus mengajukan pertanyaan retoris (pertanyaan yang tidak menuntut jawaban karena jawabannya sudah jelas bagi para pendengar). Pertanyaan retoris yang diajukan oleh Yesus dimaksudkan untuk mengajak para pendengar untuk aktif berpikir dan berpendapat. Pertanyaan ini mengandaikan bahwa para pendengar dapat memberi jawaban seperti yang diharapkan Yesus.
Dalam perumpamaan tentang domba yang hilang (Luk. 15:4) Yesus mengajukan pertanyaan kepada para pendengar, “Siapakah di antara kamu yang mempunyai 100 ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang 99 di padang dan mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?” Contoh lain dari penggunaan pertanyaan retoris dapat ditemukan dalam perumpamaan tentang para penggarap kebun anggur (Mat. 21:40), perumpamaan tentang dirham yang hilang (Luk. 15:8), dan sebagainya.
Perumpamaan tidak memaksa orang menerima kebenaran yang disampaikan tetapi mengantar pendengar pada pilihan yang harus mereka tentukan berdasarkan pengalaman hidup mereka sendiri. Yesus tidak memberikan jawaban, tetapi justru mengajukan persoalan untuk mengajak para pendengar-Nya berpikir dan menemukan jawabannya sendiri. “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri….” (Mat. 7:16; Mrk. 2:19; Luk. 5:34). Dari kehidupan nyata, jelas jawabannya adalah “tidak dapat”. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, Yesus mengajukan pertanyaan, “Menurut pendapatmu, siapakah di antara ketiga orang ini adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (Luk. 10:36). Melalui pertanyaan ini Yesus mengantar pendengar untuk menentukan pilihan yang jelas: sesama adalah yang menunjukkan belas kasih kepada orang yang sedang mengalami penderitaan. Maksud utama penggunaan perumpamaan adalah untuk menghasilkan perubahan hati. Dengan menyampaikan perumpamaan Yesus mengajak orang untuk mengambil sikap dan tindakan sesuai dengan pesan yang disampaikan-Nya melalui perumpamaan tersebut.
Dari Kehidupan Sehari-hari
Yesus mengambil bahan perumpamaan dari pengalaman sehari-hari. Para pendengar tidak asing lagi dengan hal-hal yang dipakai di dalam perumpamaan. Yesus memanfaatkan apa yang diketahui para pendengar-Nya tentang benih, ternak, sistem sosial, anggur, relasi keluarga, tradisi perkawinan, relasi tuan dan hamba, dan sebagainya. Cara yang terbaik untuk menuntun seseorang sampai kepada pemahaman yang baru adalah melalui pengalaman hidup sehari-hari. Pemahaman yang baru tersebut diharapkan menumbuhkan sikap yang baru pula, yang kemudian diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan perumpamaan, Yesus membuat kehidupan sehari-hari berbicara mengenai kebenaran iman. Dengan cara demikian, orang diingatkan bahwa setiap hal memiliki kaitan dengan Allah dan Kerajaan-Nya. Ketika melihat orang menaburkan benih di ladang, orang teringat pada perumpamaan mengenai penabur dan berbagai tanggapan manusia terhadap Firman Allah. Ketika melihat nelayan menarik pukat di tepi danau lalu mengumpulkan ikan yang baik, para murid Yesus akan teringat bahwa pada akhir zaman akan terjadi pemisahan antara orang baik dan orang jahat.
Bagaimana benda atau kejadian yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari (seperti mutiara, ragi, dan sebagainya) dapat menyampaikan kebenaran yang abadi? Yesus mengajar dengan menggunakan perbandingan. Ia mengambil benda atau kejadian dari kehidupan sehari-hari lalu membandingkannya dengan kebenaran iman. Kenyataan dari kehidupan sehari-hari itu telah dilihat dan dipahami oleh para pendengar. Yesus menggunakan semua itu untuk membawa orang sampai pada kebenaran yang hendak dinyatakan-Nya. Perbandingan itu seringkali berkaitan dengan keseluruhan proses yang diceritakan dan tidak semata-mata dengan satu benda atau pribadi tunggal.
Pertentangan
Untuk mempertajam pesan dari perumpamaan yang disampaikan-Nya, Yesus kerap kali memaparkan dua hal yang bertentangan. Dalam perumpamaan tentang sepuluh gadis (Mat. 25:1-13), Yesus mempertentangkan lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana. Prinsip pertentangan yang sama dapat ditemukan dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37), dua orang anak (Mat. 21:28-32), orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14), perumpamaan tentang lalang di ladang gandum (Mat. 13:24-30), dan sebagainya. Ketika mendengarkan penjelasan tentang dua hal yang bertentangan, orang akan lebih mudah mengingatnya.
Yesus juga mempertentangkan pendapat para pendengar dengan pendapat-Nya sendiri. Dalam perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur, para pekerja mulai bekerja pada waktu yang berbeda (Mat. 20:1-15). Ada yang bekerja dari pagi sampai sore, ada yang setengah hari, ada yang baru mulai bekerja sore hari. Para pendengar secara spontan tentu tidak setuju jika masing-masing pekerja diberi upah yang sama. Apa yang dilakukan oleh pemilik kebun anggur itu merupakan ketidakadilan. Jawaban pemilik kebun anggur mewakili pendapat Yesus: “Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 14-15).
Hal yang sama dilakukan oleh Yesus pada perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk. 15:11-32). Protes anak sulung mewakili sikap sejumlah pendengar-Nya yang tidak senang ketika Yesus bergaul dengan para pendosa (Luk. 15:1-2). Banyak orang yang mendengarkan perumpamaan ini memaklumi sikap anak sulung. Sebaliknya, banyak yang sulit menerima sikap sang ayah. Namun, dengan cara kontroversial itu Yesus justru mampu memberikan pesan yang jelas tentang kemurahan hati Allah bagi umat-Nya. Kemurahan hati memang lepas dari hukum keadilan. Ketika menyampaikan perumpamaan, kadang Yesus menceritakannya secara mendetail, tetapi kadang tidak. Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur, tidak dijelaskan mengapa orang kaya itu memilih bendahara itu untuk mengurusi harta miliknya (Luk. 16:1-8). Tetapi, dalam setiap perumpamaan, Yesus memberikan pesan yang menjadi pokok pengajaran-Nya. Untuk dapat memahami pesan yang hendak disampaikan, kita perlu memahami isi perumpamaan, walaupun kita tidak perlu dibingungkan dengan detailnya.
Makna Ganda
Telah dikatakan bahwa Yesus menyampaikan perumpamaan, bukan sekedar untuk menghibur para pendengar-Nya, tetapi terutama untuk menyampaikan pesan/ajaran. Berkaitan dengan hal ini, perlu diingat bahwa ada cerita yang dituturkan (harfiah) dan ada pesan/ajaran yang disampaikan melalui cerita itu (figuratif). Dengan kata lain, sebuah perumpamaan itu memiliki makna ganda. Pertama, makna harfiah yang menyangkut perumpamaan yang dituturkan itu sendiri, baik yang berupa similitude maupun yang berupa cerita. Kedua, di balik makna harfiah ini, terdapat makna figuratif, yang menyangkut pesan atau ajaran yang disampaikan baik melalui similitude maupun cerita. Kadang kita harus menemukan sendiri makna figuratif ini karena tidak selalu disampaikan secara langsung.
Untuk dapat memahami pesan yang disampaikan kita perlu memahami makna harfiahnya terlebih dahulu. Dalam perumpamaan tentang ragi (similitude), secara harfiah Yesus berbicara tentang perubahan yang terjadi dari adonan menjadi roti karena adanya pengaruh dari ragi yang dicampurkan ke dalam adonan itu. Ragi yang dicampurkan dalam adonan itu sedikit sekali jumlahnya bila dibandingkan dengan jumlah keseluruhan adonan. Walaupun demikian, ragi itu dapat memengaruhi seluruh adonan sehingga semuanya menjadi khamir atau mengembang.
Bila telah memahami makna harfiahnya dengan jelas, kita akan lebih mudah memahami ajaran atau makna figuratifnya. Dalam perumpamaan yang sama, secara figuratiif Yesus menyampaikan pesan ini: orang diubah oleh Kerajaan Allah jika membiarkan Firman-Nya untuk berkarya di dalam hatinya. Firman itulah yang mengubah seluruh sikap, tutur kata, dan perilaku orang yang mendengarkannya sehingga ia hanya melakukan kehendak Allah. Orang itu pun dipanggil menjadi ragi untuk mengubah masyarakat tempat ia menjalani kehidupan.
Perumpamaan sebagai Cerita
Setiap perumpamaan hanya menceritakan satu kisah, yang merupakan satu rangkai kejadian. Perumpamaan tidak menceritakan apa yang terjadi di luar kisah tersebut. Di dalam cerita ini disampaikan apa yang dilakukan dan yang dikatakan oleh tokoh-tokohnya. Perlu disadari bahwa mulanya Yesus menyampaikan perumpamaan yang sekarang tertulis dalam Injil ini secara lisan dan sering kali Ia mempergunakan pengulangan. Misalnya, dua kali disampaikan pengakuan dari anak yang hilang itu. Pengulangan kalimat atau gagasan dalam cerita dapat mempermudah pembaca dalam memahami dan mengingat cerita itu. Cara lain untuk memudahkan pendengar mengingat cerita adalah dengan menyajikan kontras. Misalnya, antara Lewi dan imam dengan orang Samaria, dua orang yang membangun menara (Mat. 7:24-27; Luk. 6:47-49), serta orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14).
Seperti dalam cerita pada umumnya, pesan yang hendak disampaikan oleh Yesus dalam perumpamaan tersembunyi dalam tokoh-tokohnya. Tujuan pembacaan cerita dalam Kitab Suci adalah untuk memahami pesan yang terkandung di dalamnya agar dapat berdoa berdasarkan pesan itu dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Apa yang harus dilakukan agar kita dapat memahami pesan itu? Berikut ini adalah langkah-langkahnya.
- Mengamati alur kisah. Tuliskan kejadian-kejadian dalam perikop secara berurutan ( = alur ) dan hubungan antara satu kejadian dengan kejadian yang lain. Lalu amatilah situasi di setiap kejadian: apa yang sesungguhnya terjadi, apa akibat-akibatnya, bagaimana kaitannya dengan kejadian sebelum dan sesudahnya, dan sebagainya.
- Mengamati dan belajar dari tokoh-tokoh. Amatilah dan perhatikanlah tokoh-tokoh yang tampil dalam kisah, satu demi satu: apa yang ia lakukan, katakan, rasakan, dan cara tokoh itu berinteraksi dengan tokoh-tokoh lain. Kemudian renungkan apa yang dapat dipelajari dari tiap-tiap tokoh: sikap/perbuatan positif mana yang dapat diteladan dan sikap/perbuatan mana yang harus dihindari.
Setiap perumpamaan memiliki dua atau tiga tokoh utama. Tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting untuk keseluruhan cerita tidak ditampilkan. Misalnya, tidak ada tokoh ibu dalam perumpamaan anak yang hilang. Tokoh dalam perumpamaan bisa jadi bukan pribadi, melainkan kelompok. Dalam hal ini sebuah kelompok ditampilkan sebagai seorang pribadi. Misalnya, para pekerja yang diundang untuk bekerja di kebun anggur dan para gadis dalam perumpamaan tentang sepuluh gadis. Perbedaan antara tokoh-tokoh itu hanya ditunjukkan sejauh diperlukan. Misalnya, para pekerja bekerja pada waktu yang berbeda serta para gadis yang bijak dan yang bodoh. Ada juga tokoh tambahan yang ditampilkan untuk mendukung cerita, tetapi tidak digambarkan. Misalnya, korban perampokan, dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, tidak dideskripsikan sama sekali.
Ciri dan sifat tokoh tampak dalam kata-kata yang diucapkan dan tindakan yang dilakukannya. Dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati, sikap imam, Lewi, dan orang Samaria ditunjukkan dalam perbuatan mereka. Bisa juga sifat dan ciri tokoh diperkenalkan lewat kata-kata yang diucapkan oleh orang lain kepadanya. Dalam perumpamaan tentang pengampunan (Mat. 18:23-35), raja menyebut hambanya sebagai hamba yang jahat (ay. 32). Motivasi dan perasaan tokoh jarang ditunjukkan karena tidak memengaruhi cerita. Kita tidak diberitahu mengapa anak yang hilang itu meminta warisan yang menjadi bagiannya dan pergi meninggalkan negerinya. Hanya kalau berpengaruh pada cerita, hal tersebut disampaikan; misalnya, ayah itu tergerak oleh belas kasih.
EPILOG
Ada tiga bidang pengetahuan yang dapat segera disebut saat kita menatap Yesus: (1) ucapan atau perkataan-perkataan-Nya, (2) khotbah atau ajaran-ajaran-Nya dan tindakan-tindakan simbolis yang pernah dilakukan-Nya.
Beberapa ucapan yang pernah dituturkan Yesus misalnya: “Kata Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia’.” (Yoh 14: 6-7) Di tempat lain Yesus berkata: “Jawab Yesus: ‘Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini’.” (Yoh 18:36) Ucapan lain lagi yang disampaikan Yesus, misalnya, adalah: “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30)
Mengenai “tindakan-tindakan simbolik” yang pernah dilakukan-Nya, kita setidaknya dapat menyimak bahwa Yesus “makan bersama kaum pendosa”, “mengusir setan”, “mengampuni dosa”.
Sedang mengenai khotbah/ajaran apa yang pernah disampaikan Yesus, kita dapat memeriksanya dalam perumpamaan-perumpamaan yang pernah digunakan-Nya. Y.M. Seto Marsunu menyebut: “Ketika mengajar orang banyak, seringkali Yesus menggunakan perumpamaan. Dari seluruh pengajaran Yesus yang tercatat dalam Injil, sepertiga di antaranya berupa perumpamaan.” (2015) Di dalam bukunya yang berjudul “Pesan Tuhan dalam Perumpamaan”, Y.M. Seto Marsunu menempatkan berbagai perumpamaan Yesus dalam 5 (lima) kelompok tema besar:
- KERAJAAN ALLAH
Benih yang Tumbuh (Mrk. 4:26-29)
Biji Sesawi dan Ragi (Mat. 13:31-33)
Para Pekerja di Kebun Anggur (Mat. 20:1-16)
Harta Terpendam (Mat. 13:44)
Mutiara yang Indah (Mat. 13: 45-46)
Penabur (Mrk. 4:3-9, 14-20)
- KASIH DAN PENGAMPUNAN
Domba yang Hilang (Luk. 15:4-7)
Dirham yang Hilang (Luk. 17:11-32)
Anak yang Hilang (Luk. 15:11-32)
Hamba yang Berhutang (Mat. 18:23-35)
Orang Samaria yang Baik Hati (Luk. 10:25-37)
Orang Kaya dan Lazarus (Luk. 16:19-31)
- HIDUP BIJAK
Dua Pembangun (Mat. 7:24-27)
Bendahara yang Tidak Jujur (Luk. 16:1-9)
Orang Kaya yang Bodoh (Luk. 12:13-21)
Membangun Menara dan Maju Perang (Luk. 14:25-35)
Tuan dan Hamba (Luk. 17:7-10)
Dua Orang Anak (Mat. 21:28-32)
Para Penggarap Kebun Anggur (Mrk. 12:1-12)
Pohon Ara yang Tidak Berbuah (Luk. 13:6-9)
- DOA
Bapa yang Memberi (Mat. 7:9-11)
Sahabat yang Meminta Roti (Luk. 11:5-8)
Hakim yang Lalim (Luk. 18:1-8)
Orang Farisi dan Pemungut Cukai (Luk. 18:9-14)
- AKHIR ZAMAN
Lalang dan Gandum (Mat. 13:24-30, 36-43)
Pukat (Mat. 13:47-50)
Domba dan Kambing (Mat. 25:31-46)
Talenta (Mat. 25:14-30)
Hamba Setia dan Hamba Jahat (Mat. 24:45-51)
Sepuluh Gadis (Mat. 25:1-13)
Hamba yang Berjaga (Mrk. 13:33-37)
Perjamuan Kawin (Mat. 22:1-14)
Uraian-uraian yang telah diberikan oleh John Fuellenbach, SVD dan YM Seto Marsunu telah sedikit membocorkan rahasia pengetahuan tentang apa dan bagaimana perumpamaan-perumpamaan Yesus. Tetapi kerja kita belum selesai. Paparan mengenai apa dan bagaimana perumpamaan-perumpamaan Yesus itu barulah merupakan titik awal. Penafsiran mengenai makna dari perumpamaan-perumpamaan Yesus itu sendiri, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan, masih harus masing kita lakukan. Dan itu, tampaknya, merupakan wilayah kerja yang lain lagi.
Semoga pemaknaan atas perumpamaan-perumpamaan Yesus yang nantinya kita buat dapat semakin mempercepat KEDATANGAN Kerajaan Allah dalam wujudnya yang paling utuh dan menyeluruh dan yang dapat mendorong terciptanya kehidupan sosial dan individual yang semakin baik, kuat dan menghidupkan. Semoga. (***)
Semplak, 17 April 2023
SUMBER RUJUKAN
- Fuellenbach, SVD, John. KERAJAAN ALLAH: Pesan Inti Ajaran Yesus bagi Dunia Modern. Flores: Penerbit NUSA INDAH, 2006.
- Marsunu, Seto, YM. PESAN TUHAN DALAM PERUMPAMAAN. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015
3,482 total views, 6 views today

Ketua Komsos Paroki St Ignatius Loyola Semplak Bogor Periode 2019-2022