PESONA KATA 20230510

Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal yang Mahakudus adalah pengertian.
Karena oleh aku umurmu diperpanjang, dan tahun-tahun hidupmu ditambah.
Jikalau engkau bijak, kebijakanmu itu bagimu sendiri, jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah yang akan menanggungnya.
(Amsal 9: 10-12)
Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah. Sebab ada tertulis: “Ia yang menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya.” Dan di tempat lain: “Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka.”.
(1 Kor. 3: 18-20)
Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.
(Yak. 4: 13-17)
***
Meskipun demikian perlu diwaspadai memang, apa itu “kasih”, sebab kasih dan kasih memang banyak macamnya. Secara sederhana dapat saja dibedakan kasih pada tingkat “pemuasan diri” (self sufficiency), kasih pada tingkat “perluasan diri” (self expansion), dan kasih pada tingkat “penyangkalan diri” (self denial).
Dalam skala mikro bisa disebut contoh yang biasa: ketika seorang pria dan wanita saling jatuh cinta, maka cinta itu terjadi pada tingkat “pemuasan diri”. Ketika kemudian seorang anak lahir dari hubungan mereka, maka cinta itu memasuki tahap “perluasan diri”. Namun ketika anak itu tumbuh menjadi seorang dewasa yang otonom dan bebas, cinta kedua orang itu menjadi suatu keterlibatan yang berjarak, yang mengekang diri, yang tidak memonopoli, apalagi menjajah. Mereka tidak bisa lagi mendikte si anak, malah bisa saja si anak menentang, menyangkal, bahkan membunuh mereka. Pada situasi macam itulah cinta mereka memasuki tahap “penyangkalan diri”. Di sini cinta menghargai dan menghormati otonomi pihak yang mereka cintai hingga tahap dimana peran mereka sendiri bisa sangat tersisih seolah tanpa arti.
Dalam skala makro hal ini bisa juga dikenakan pada perjalanan Gereja sepanjang sejarah. Era Konstantin dan abad Pertengahan dimana Gereja mengalami kejayaan di Eropa bisa saja dianggap sebagai tahap “pemuasan diri”. Lalu bersama dengan kolonialisme Gereja pun lantas ber-ekspansi berupaya membaptis dunia, itulah tahap “perluasan diri”. Dan di sana Gereja atau Kristianitas umumnya menganggap diri sebagai pusat keselamatan satu-satunya. Kemudian bersama dengan kian berkembangnya otonomi manusia dan kian intensifnya interaksi antarkultur dan agama, Gereja sampai pada kesadaran baru bahwa otonomi manusia memang mesti dihormati, dunia adalah suatu medan yang perlu digali dan dikaji, dan terutama bahwa sang Kebenaran ternyata demikian kaya, seperti halnya realitas semesta, sehingga memiliki banyak pusat juga, bahwa kasih Gereja memang harus kian intens terlibat namun serentak berjarak, menahan diri dan penuh hormat. Situasi kontemporer dimana Gereja menjadi amat “low profile” ini barangkali bisa kita sebut tahap “penyangkalan diri”, dan karena itu serentak suatu tahap kematangan yang unik juga.
(Ignatius Bambang Sugiharto, seorang filsuf, seniman dan budayawan Katolik)
***
KURINDUKAN KAU
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
malam tumbuh diam-diam
melingkar-lingkar seperti akar pohon yang rahasia itu
di sudut, menyekap cahaya rembulan yang misteri
kucari kau
tapi tak kutemu siapa jua di sana
kurindukan kau seperti rusa haus mendamba air
kurindukan raut wajahmu yang purnama
kurindukan gerakmu yang penuh gaya
kurindukan ceracaumu yang gila
kurindukan serapahmu yang telaga
kurindukan semua
tapi tak kutemu siapa jua di sana
dimanakah engkau mengembara
dimanakah engkau mengada
langit tak lain hanya sekumpulan asap tanpa bentuk
binar matahari tak sanggup memadamkan sepi
siang menjelma butiran gambar tanpa ruh
sejak kau tak ada di sekelilingku
kudamba kau
tapi tak siapa datang menghampiri
kuhasrati kau seperti dedaunan mengingini embun pagi
kuangankan kita duduk tertawa bersama
kuangankan kau dan aku berceloteh tentang hari-hari lalu
kuangankan kau dan aku bermimpi tentang hari depan
kuangankan kita mereguk utopia-utopia yang paling muskil
kuhasrati segala
tapi tak siapa datang menghampiri
kemanakah engkau pergi
kemanakah engkau menyimpan diri
hidup tinggal jadi sekeranjang sunyi
tak terbaca oleh mata sejarah yang retak-retak
bila kau tak di sini
tinggal aku sendiri moyak
Februari 2009
KALAU KITA JUMPA NANTI
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
di usiaku yang semakin tua
aku jadi semakin mudah lupa
misalnya siapa kamu sebenarnya
atau kapan terakhir kali kita berjumpa
apalagi dunia begini gila
berputar-putar begitu rupa
hingga aku terbata-bata
serasa tak sanggup mengejarnya
kadang aku tak tahu lagi mengapa
atau untuk apa kita pernah bertegur sapa
yang aku baca
kamu telah jauh kelana
pergi mengasing ke negeri-negeri kembara
di sana kamu telah mencicipi seribu cahaya
dan menelan sejuta purnama
kamu kini mungkin telah jadi digdaya
tapi bisa jadi juga rahasia
yang tak mudah dicerna
menyimpan permata
tapi juga mungkin menanggung luka
maka jika kita nanti sekali lagi bertatap muka
maukah kamu untuk tidak hanya tertawa-tawa
tapi juga memberi ruang bagi airmata
bukan maksudku untuk memuja duka
tapi aku hanya tidak ingin kita terlena
dan jatuh terjerembab dalam fatamorgana
mungkin baik jika kita nanti bertutur kata
dengan sambil meresapkan segenap jiwa
agar terbuka nanti kita punya mata
bagi sayap-sayap yang masih terluka
agar jumpa tak hanya jadi lomba
ajang unjuk ceria yang hampa
gembira di pelupuk muka
tapi dalam hati masih menyimpan lara dan lunta
namun agar jumpa juga menjadi telaga
yang setia memberi makna
Juni 2009
KIRIMI AKU KABAR
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
sayap-sayap sepi mengangkat malam berangkat meninggi. gerimis yang jatuh. rindu yang menyentuh. aku terjatuh. gagap menghadapi guguran ilusi. disayat-sayat deja vu. jejakku berpeluh. mengejarmu di hitam hutan bayang-bayang. tapi dimanakah kau. di saat ku luruh. di saat ku ingin berlabuh. di saat ku rapuh. dimanakah kau.
pesona kota serasa mati. pukau lampu jalan tak mampu bangkitkan hasratku yang bisu. detik ini waktu seperti berhenti. kau yang kucari, hampa yang kujumpai. kirimi aku kabar, atau tuliskan satu dua kata tentang mataharimu, kawan. agar menyala lagi nyali untuk bertarung di dadaku.
di sakuku ada cerita. tentang dirimu yang menyimpan pelangi, tangga menuju surga. maka berbagilah denganku, kawan. ceritakanlah bagaimana caranya menggapai makna. agar terang ini sukma. agar tak sesat ini jiwa.
Juli 2009
***
657 total views, 6 views today

Ketua Komsos Paroki St Ignatius Loyola Semplak Bogor Periode 2019-2022