Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal yang Mahakudus adalah pengertian.

 

Karena oleh aku umurmu diperpanjang, dan tahun-tahun hidupmu ditambah.

 

Jikalau engkau bijak, kebijakanmu itu bagimu sendiri, jikalau engkau mencemooh, engkau sendirilah yang akan menanggungnya.

 

(Amsal 9: 10-12)

 

 

 

Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah. Sebab ada tertulis: “Ia yang menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya.” Dan di tempat lain: “Tuhan mengetahui rancangan-rancangan orang berhikmat; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka.”.

 

(1 Kor. 3: 18-20)

 

 

 

Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

 

(Yak. 4: 13-17)

 

***

 

Meskipun demikian perlu diwaspadai memang, apa itu “kasih”, sebab kasih dan kasih memang banyak macamnya. Secara sederhana dapat saja dibedakan kasih pada tingkat “pemuasan diri” (self sufficiency), kasih pada tingkat “perluasan diri” (self expansion), dan kasih pada tingkat “penyangkalan diri” (self denial).

 

Dalam skala mikro bisa disebut contoh yang biasa: ketika seorang pria dan wanita saling jatuh cinta, maka cinta itu terjadi pada tingkat “pemuasan diri”. Ketika kemudian seorang anak lahir dari hubungan mereka, maka cinta itu memasuki tahap “perluasan diri”. Namun ketika anak itu tumbuh menjadi seorang dewasa yang otonom dan bebas, cinta kedua orang itu menjadi suatu keterlibatan yang berjarak, yang mengekang diri, yang tidak memonopoli, apalagi menjajah. Mereka tidak bisa lagi mendikte si anak, malah bisa saja si anak menentang, menyangkal, bahkan membunuh mereka. Pada situasi macam itulah cinta mereka memasuki tahap “penyangkalan diri”. Di sini cinta menghargai dan menghormati otonomi pihak yang mereka cintai hingga tahap dimana peran mereka sendiri bisa sangat tersisih seolah tanpa arti.

 

Dalam skala makro hal ini bisa juga dikenakan pada perjalanan Gereja sepanjang sejarah. Era Konstantin dan abad Pertengahan dimana Gereja mengalami kejayaan di Eropa bisa saja dianggap sebagai tahap “pemuasan diri”. Lalu bersama dengan kolonialisme Gereja pun lantas ber-ekspansi berupaya membaptis dunia, itulah tahap “perluasan diri”. Dan di sana Gereja atau Kristianitas umumnya menganggap diri sebagai pusat keselamatan satu-satunya. Kemudian bersama dengan kian berkembangnya otonomi manusia dan kian intensifnya interaksi antarkultur dan agama, Gereja sampai pada kesadaran baru bahwa otonomi manusia memang mesti dihormati, dunia adalah suatu medan yang perlu digali dan dikaji, dan terutama bahwa sang Kebenaran ternyata demikian kaya, seperti halnya realitas semesta, sehingga memiliki banyak pusat juga, bahwa kasih Gereja memang harus kian intens terlibat namun serentak berjarak, menahan diri dan penuh hormat. Situasi kontemporer dimana Gereja menjadi amat “low profile” ini barangkali bisa kita sebut tahap “penyangkalan diri”, dan karena itu serentak suatu tahap kematangan yang unik juga.

 

(Ignatius Bambang Sugiharto, seorang filsuf, seniman dan budayawan Katolik)

 

***

     KURINDUKAN KAU

            oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

malam tumbuh diam-diam

melingkar-lingkar seperti akar pohon yang rahasia itu

di sudut, menyekap cahaya rembulan yang misteri

kucari kau

tapi tak kutemu siapa jua di sana

kurindukan kau seperti rusa haus mendamba air

kurindukan raut wajahmu yang purnama

kurindukan gerakmu yang penuh gaya

kurindukan ceracaumu yang gila

kurindukan serapahmu yang telaga

kurindukan semua

tapi tak kutemu siapa jua di sana

dimanakah engkau mengembara

dimanakah engkau mengada

 

langit tak lain hanya sekumpulan asap tanpa bentuk

binar matahari tak sanggup memadamkan sepi

siang menjelma butiran gambar tanpa ruh

sejak kau tak ada di sekelilingku

kudamba kau

tapi tak siapa datang menghampiri

kuhasrati kau seperti dedaunan mengingini embun pagi

kuangankan kita duduk tertawa bersama

kuangankan kau dan aku berceloteh tentang hari-hari lalu

kuangankan kau dan aku bermimpi tentang hari depan

kuangankan kita mereguk utopia-utopia yang paling muskil

kuhasrati segala

tapi tak siapa datang menghampiri

kemanakah engkau pergi

kemanakah engkau menyimpan diri

 

hidup tinggal jadi sekeranjang sunyi

tak terbaca oleh mata sejarah yang retak-retak

bila kau tak di sini

tinggal aku sendiri moyak

 

                                                Februari 2009

 

 

           KALAU KITA JUMPA NANTI

oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

di usiaku yang semakin tua

aku jadi semakin mudah lupa

misalnya siapa kamu sebenarnya

atau kapan terakhir kali kita berjumpa

apalagi dunia begini gila

berputar-putar begitu rupa

hingga aku terbata-bata

serasa tak sanggup mengejarnya

kadang aku tak tahu lagi mengapa

atau untuk apa kita pernah bertegur sapa

yang aku baca

kamu telah jauh kelana

pergi mengasing ke negeri-negeri kembara

di sana kamu telah mencicipi seribu cahaya

dan menelan sejuta purnama

kamu kini mungkin telah jadi digdaya

tapi bisa jadi juga rahasia

yang tak mudah dicerna

menyimpan permata

tapi juga mungkin menanggung luka

maka jika kita nanti sekali lagi bertatap muka

maukah kamu untuk tidak hanya tertawa-tawa

tapi juga memberi ruang bagi airmata

bukan maksudku untuk memuja duka

tapi aku hanya tidak ingin kita terlena

dan jatuh terjerembab dalam fatamorgana

mungkin baik jika kita nanti bertutur kata

dengan sambil meresapkan segenap jiwa

agar terbuka nanti kita punya mata

bagi sayap-sayap yang masih terluka

agar jumpa tak hanya jadi lomba

ajang unjuk ceria yang hampa

gembira di pelupuk muka

tapi dalam hati masih menyimpan lara dan lunta

namun agar jumpa juga menjadi telaga

yang setia memberi makna

 

                                    Juni 2009

 

 

 

KIRIMI AKU KABAR

oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

sayap-sayap sepi mengangkat malam berangkat meninggi. gerimis yang jatuh. rindu yang menyentuh. aku terjatuh. gagap menghadapi guguran ilusi. disayat-sayat deja vu. jejakku berpeluh. mengejarmu di hitam hutan bayang-bayang. tapi dimanakah kau. di saat ku luruh. di saat ku ingin berlabuh. di saat ku rapuh. dimanakah kau.

 

pesona kota serasa mati. pukau lampu jalan tak mampu bangkitkan hasratku yang bisu. detik ini waktu seperti berhenti. kau yang kucari, hampa yang kujumpai. kirimi aku kabar, atau tuliskan satu dua kata tentang mataharimu, kawan. agar menyala lagi nyali untuk bertarung di dadaku.

 

di sakuku ada cerita. tentang dirimu yang menyimpan pelangi, tangga menuju surga. maka berbagilah denganku, kawan. ceritakanlah bagaimana caranya menggapai makna. agar terang ini sukma. agar tak sesat ini jiwa.

 

Juli 2009

 

***

 

 657 total views,  6 views today