PESONA KATA 20230513

Jawab-Nya kepadaku: “Kesalahan kaum Israel dan Yehuda sangat banyak, sehingga tanah ini penuh hutang darah dan kota ini penuh ketidakadilan; sebab mereka berkata: TUHAN sudah meninggalkan tanah ini dan TUHAN tidak melihatnya. Karena itu Aku juga tidak akan merasa sayang dan tidak akan kenal belas kasihan; kelakuan mereka akan Kutimpakan atas kepala mereka.”
(Yehezkiel 9: 9-10)
***
Seandainya kita bermain dengan analogi, maka bagus juga membayangkan bahwa umat Katolik yang menganggap diri “garam” dunia itu kini telah mencair menjadi “air”, atau lebih tepat “zat cair”. Kasih memang seperti air juga. Pada tahap “pemuasan diri” air memang berperan sekedar sebagai pemuas dahaga. Pada tahap “perluasan diri” air memang bisa juga menjadi air bah yang menggenangi seluruh kota bahkan menenggelamkannya. Namun pada tahap “penyangkalan diri”, ia harus puas hanya berperan sebagai zat cair saja, di dalam bensin, minyak goreng, oli, Coca Cola, kecap, atawa secangkir kopi di warung tetangga.
Kasih yang menyangkal diri adalah zat cair itu. Seperti halnya dalam bensin, minyak goreng, dan Coca Cola, zat cair itu merupakan “roh”nya namun hadir tanpa label nama, maka kasih orang Kristiani merasuki dengan intim setiap agama dan setiap golongan manusia, sebagai roh kemanusiaan serentak Roh Tuhan yang memupuk serta mengembangkan setiap potensi kasih dalam diri mereka, namun tanpa mengibarkan bendera. Dengan itu memang sepertinya kita justru kehilangan identitas, namun barangkali justru pada tingkat inilah Gereja menjadi sungguh-sungguh “Katolik”, yang artinya memang “umum, universal”, alias hadir di mana-mana, sebagai “sukma” dari segala. Identitas kita tidak lagi terletak pada label nama, melainkan pada nilai kasih, pada kian terwujudnya kasih itu secara universal. Barangkali ini pula alasan mengapa Simone Weil tidak pernah mau dibaptis. Dan dalam rangka Kristianitas yang matang tadi, boleh jadi seorang Kristiani tak seberapa beda dengan seorang aktivis humanis. Namun toh tidak sama, dalam hal: ia lebih radikal daripada para humanis, sebab bagi seorang Kristiani mengasihi sesama itu bukan sekedar pilihan opsional atau selera individu, melainkan suatu kewajiban mutlak, sesuatu yang bersifat imperatif.
Adapun Gereja sebagai institusi tidak ada salahnya kita anggap sebagai “mata air” atau sumber zat cair yang tak habis-habisnya. Daripadanya (mestinya) kita dapatkan selalu sumber energi baru juga, seolah umat dapat selalu menyusu kepadanya. Oleh institusi ini idealisme kasih senantiasa dipupuk, dikobar-kobarkan, dan dirayakan. Dalam kerangka itu pulalah simbol-simbol fisik masih diperlukan. Dengan kata lain, simbol-simbol fisik masih berguna terutama dalam konteks intern: untuk membantu mengintensifikasi penghayatan nilai Kristiani terutama nilai kasih, di antara kita sendiri.
Dengan itu semua akhirnya mau dikatakan bahwa kekhawatiran seolah kita sedang kehilangan identitas barangkali tidak perlu ada. Boleh jadi yang terjadi adalah bahwa kita justru sedang memasuki tahap “pematangan identitas”, yaitu tahap ketika kasih mulai menyangkal diri sendiri.
Kesulitan umum untuk menerima cara pandang macam di atas itu adalah masih besarnya kecenderungan untuk menganggap diri sebagai “pusat”, yang memonopoli kebenaran dan ingin menaklukkan orang lain atas nama kebenaran itu. Kecenderungan egosentrisme kekanakan atau etnosentrisme yang sudah kadaluwarsa ini memang masih juga ngotot bercokol menguasai kebanyakan orang. Apa boleh buat, orang memang lebih suka pada rasa aman, betapapun semu dan mengecohnya hal itu. Masalahnya kan sang Kebenaran itu sendiri sebetulnya bagaikan matahari. Siapakah yang bisa meraihnya dan mengantonginya? Siapakah yang bisa memonopoli kebenaran dan memenjarakannya dalam sebuah sistem saja? Matahari terlalu jauh dan terlalu membakar, namun ia memberikan sinar kepada semua, dengan intensitas yang sama namun ditangkapi dan diolah dengan cara berbeda-beda dan melahirkan kehidupan yang beragam pula. Biarkanlah begitu, sebab Allah, sang Kebenaran itu memang teramat kaya dan teramat luaslah kasih-Nya. Tentang siapa sesungguhnya Dia pada dirinya sendiri, siapakah yang dapat mengetahui sepenuh-penuhnya? Namun siapa atau apapun Dia, kita tahu pasti bahwa Dia adalah juga sang “Kasih sejati”. Dan kalau kita percaya bahwa Dia adalah kasih, maka segala hal tentu dikasihi-Nya tanpa kecuali, dengan intensitas yang sama, namun memang dengan cara yang berbeda-beda. Sedang keluasan dan kedalaman kasih itu tentulah mengatasi kategori manusia pula.
(Ignatius Bambang Sugiharto; seorang filsuf, seniman dan budayawan Katolik)
***
LAGU BIRU
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
Meja kayu, sepasang kursi
Bunga mawar, merah dan putih
Nyala lilin, sinar bintang
Kasih, berjagalah denganku
Malam memang masih akan panjang
Tapi kutahu aku akan aman bersamamu
Kau dan aku
Cinta kita
Abadi selamanya
Detik-detik yang tanggal
Hari-hari yang jatuh dipukul deru
Tahun-tahun yang tak sempat terbaca oleh waktu
Betapa kuingin
Mengucap rinduku yang dalam kepadamu
Bahagiaku memilikimu di pelukku
Bahagiaku kau ada di hari-hariku
Kau hapus semua ragu, sesak dan sesal
Hingga kudapat berdiri tegak kini
Menghadapi dunia dengan matahari di dalam jiwa
Kasih, berjagalah denganku
Malam memang masih akan panjang
Tapi kutahu aku akan aman bersamamu
Kau dan aku
Cinta kita
Abadi selamanya
September 2008
BETAPA CEPAT, BETAPA MUDAH
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
betapa cepat waktu berlalu
peristiwa menindih peristiwa
betapa mudah ingatan tersapu
cerita-cerita kelabu begitu saja kita lupa
bukan maksudku memuja tangis
tapi dari penyingkapan atas masa lalu yang bengis
kita bisa belajar mengendalikan diri
dan tak jadi gamang dalam mengucap masa kini
enamlima, marsinah, udin, tanjung priok, lampung
dan sekian tragedi lain yang sempat menjulang
kini hanya tinggal jadi kenangan abu-abu
pengisi mimpi-mimpi kita yang penuh igau
hewan-hewan pemangsa dibiarkan leluasa menari-nari
menikmati lezatnya hari-hari yang terus berganti
menggelar kabut pada jiwa-jiwa mengkerut
menarik keuntungan dari pribadi-pribadi pengecut
bukan maksudku memuja tangis
tapi dengan melacak masa lalu yang bengis
kita bisa belajar mengendalikan harapan
dan tak jadi sombong tentang masa depan
namun, masih tersisakah keberanian
untuk mengurai jejak sejarah penuh nisan
sementara jaman telah begini berleleran permen
mabuk dicandu etalase-etalase penuh iklan
betapa cepat waktu berlalu
peristiwa menindih peristiwa
betapa mudah ingatan tersapu
cerita-cerita kelabu begitu saja kita lupa
September 2008
PERUBAHAN
oleh: Michael Dhadack Pambrastho
gerimis jatuh sebagai ribuan mata jarum. menyuntikkan kesunyian. aku terdiam di satu pojok kenangan. mengingat-ingat dunia lama. menghitung dengan gugup kemana kiranya dunia baru hendak berkelana. di luar sana, orang-orang ramai memperdagangkan beraneka rencana. tapi, di dalam kamarku, hanya ada aku dan diri berhadap-hadap muka. sepi.
dulu, orang-orang begitu takut bahkan untuk berpikir demi dirinya sendiri. sekarang, orang-orang tak puas jika tak ikut nimbrung angkat suara dalam persoalan apapun. tak perduli perkataannya benar atau sumbang dan melenceng, pokoknya bicara. dulu, orang-orang dikebiri dan takut menghadapi setiap yang lain dari dirinya. sekarang, orang tak bakal sanggup hidup tanpa keberanian menghadapi keragaman. dulu, orang-orang memuja ilmuwan dan dokter lalu menganggap mereka sebagai dewa-dewa penyelamat dunia. sekarang, ilmuwan sering disentil sebagai biang keladi pengrusakan alam dan manusia dan dokter kerap dicerca sebagai melulu pengeruk uang rakyat. dulu, ….. sekarang, ……
ada yang berubah memang. kuasa-kuasa lama meluruh dengan cepat. dikehendaki atau terjadi begitu saja secara alamiah. dan di hadapannya, kuasa-kuasa baru bermunculan menawarkan alternatif. tak selalu jelas arah yang dituju, atau apakah yang baru itu lebih baik atau tidak. tapi, memang, ada yang berubah.
Oktober 2015
453 total views, 3 views today

Ketua Komsos Paroki St Ignatius Loyola Semplak Bogor Periode 2019-2022