Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun manaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.

 

(2 Kor 12: 8-10)

 

***

 

Konsili Vatikan II memang telah memicu refleksi dan perumusan ulang atas inti identitas Katolik, baik dalam konteks intern tradisi maupun dalam interaksi dengan agama-agama besar di luarnya. Secara umum kita memang menjadi jauh lebih “low profile” dan berintegrasi baik dengan problematika sekular maupun dengan agama-agama lain. Namun persis inilah yang kemudian melahirkan kesan bahwa identitas kekatolikan itu tak jelas lagi. Terlalu low profile, terlalu sekular, terlalu toleran terhadap agama lain, terlalu berintegrasi, hingga sosoknya kini memang tak jelas lagi.

 

Namun rasanya itu cuma kesan belaka. Kenyataannya toh tak separah itu juga. Bicara soal keunikan identitas, sebetulnya perlu kita bedakan antara identitas fisik dan identitas pada tingkat lebih esensial yang nonfisik. Identitas memang bisa tampak pada simbol-simbol fisik. Itu bisa berupa kayu salib yang terpasang di dinding atau pun stiker di mobil-mobil. Bisa pula berupa jumlah gedung gereja di sebuah kota, jumlah menteri yang duduk di pemerintahan, atau bahkan kenaikan statistik umat setiap tahun. Namun itu semua sebetulnya belumlah menunjukkan kekuatan eksistensi gereja, belumlah memperlihatkan bahwa Gereja memiliki identitas yang solid. Pada tingkat yang lebih mendasar dan esensial identitas perlu dilihat pada tataran yang lain, yaitu pada tataran Nilai. Keunikan identitas di sini lalu kita lihat pada nilai-nilai mana yang diprioritaskan bahkan dimutlakkan oleh Gereja atau oleh Kristianitas, Maka lalu soal kuat atau lemahnya identitas bisa diukur dengan melihat sejauh mana nilai-nilai itu berhasil tumbuh dan mengakar dalam budaya dan pola perilaku masyarakat umum.

 

Bila sudut pandangnya adalah prioritas nilai, dapatlah kita katakan bahwa keunikan identitas Kristiani memang tidak terletak pada penekanan atas kemutlakan kekuasaan Allah yang dahsyat dan akbar; tidak pula atas kemutlakan keesaan-Nya; tidak atas kemutlakan hukum sebab-akibat semesta dan pembebasan diri daripadanya dalam moksa; tidak juga atas kemayaan dan kesia-siaan dunia yang penuh derita dan pencerahan manusia dalam alam nirwana. Tanpa mesti menggunakan kerangka pemikiran canggih ala Hans Kung atawa David Tracy, kita masih selalu bisa berkata bahwa keunikan Kristianitas adalah penekanannya atas kemutlakan kasih. Satu-satunya yang mutlak itu kasih. Dasar kebenarannya adalah kenyataan bahwa inti terdalam kehidupan memang kasih itu. Orang Kristiani meyakini bahwa semesta tercipta dari kasih, kehidupan pun lahir dan berkembang dari kasih, dan segalanya bergerak menuju kepenuhan dan kian meratanya kasih. Maka kalau orang Kristiani meyakini bahwa kebenaran agamanya itu mutlak, itu semata-mata karena kasih memang mutlak, artinya: mendasar, total, dan universal. Dalam perspektif Kristiani ini, lalu Allah tiada lain ya sumber terdasar segala kasih. Dalam rangka ungkapan kasih ini pula muncul figur Kristus maupun Roh Kudus. Maka “Tritunggal” bisa dimengerti sebagai cara Allah bekerja dalam sejarah manusia: cara Allah memperlihatkan apa artinya mengasihi dan berkasih-kasihan itu sesungguhnya.

 

Kasih ini memang tak sesederhana ketaatan pada hukum dan pencaharian pahala, namun tidak pula serepot peningkatan kesadaran dalam meditasi menuju satori, juga agak kurang peduli pada alam akhirat sebab ia lebih peduli pada hubungan manusiawi di dunia ini. Lebih gawat lagi sikapnya terhadap derita: bukannya berusaha keluar daripadanya melalui 8 jalur sakti, ia malah rada sembrono mencebur ke dalamnya, sebab konon derita adalah salib yang mempesona. Barangkali inilah justru keunikan agama kasih ini, yang juga membuatnya tampil sebagai sikap iman yang terasa longgar dibanding agama-agama lain.

 

(Ignatius Bambang Sugiharto; seorang filsuf, seniman, dan budayawan Katolik)

 

***

 

                             DARI SEBUAH PESTA

                 oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

Pesta telah lama usai. Bangku-bangku telah dirapikan kembali dan

lampu-lampu telah dipadamkan. Kita pun telah kembali pada mimpi

kita masing-masing. Tak ada yang tersisa. Hanya kenangan-kenangan

penuh warna menggelantung di langit malam.

 

Bulan putih perak. Aku mencoba membaca cuaca. Mengais sisa

tawamu yang tergelak. Berharap menemu kata di sana. Adakah kau

masih seperti dulu lagi kukenal? Ataukah dunia telah mengubahmu

menjadi semesta yang tak kupahami?

 

Musim demi musim telah membawamu pergi ke negeri-negeri

yang jauh. Di sana kau mungkin telah mencicipi seratus matahari dan

menelan seribu bintang. Dan sekarang, kulihat kau telah menjelma

rahasia yang tak mudah untuk diselami. Akankah ada kesempatan

bagiku untuk menjelajahi lagi dirimu? Akankah tiba kau sediakan waktu

bagi kita untuk saling berbagi cerita?

 

Kini kau pulang membawa serta kenangan dan mungkin juga beban. Aku

tak tahu. Pesta itu tak memberiku cukup kesempatan untuk menafsirkan

setiap ucapmu. Namun, barangkali memang ada yang ganjil dalam

perjumpaan kita terakhir kali itu. Di antara baris-baris percakapan yang

tersuling rapi kita seperti mengantungi sepi masing-masing. Dan ada

kurasakan sunyi mengembang di balik setiap kata yang kita lepaskan.

Apakah itu artinya, kawan?

 

Aku tak tahu. Tapi kita toh telah tertawa bersama. Ya, kita telah tertawa

bersama. Meski kadang kumerasa semua ini akan berujung sia-sia. Kau

akan berkelebat sesaat untuk kemudian melesat pergi lagi. Jauh.

Meninggalkan kelam dalam diriku, di antara hati yang mendamba dan

sayap-sayap patah. Begitukah?

 

Aku tak tahu. Aku hanya berkaca pada malam: ketika asa melemah dan

keberanian telah rebah.

 

Di luar, angin dan gerimis saling menggores. Menghitung jarak dan

kegelapan yang membentang di antara dua hati kita.

 

2005

 

 

                 JIWA YANG TERPASUNG

         oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

di jaman yang menghamba pada materi

benda-benda jadi punya aura ilahi

berjuta pribadi kehilangan diri

dihasut hasrat memiliki tanpa kendali

 

di jaman yang menghamba pada materi

orang-orang haus menumpuk barang

tanpa pernah menjadi apa-apa

 

kebahagiaan diukur hanya dari berapa banyak yang dipunya

kebermilikan jadi tanda untuk menakar talenta

korupsi jadi strategi

yang memucatkan wajah religi

 

di jaman yang menghamba pada materi

agama hanya tinggal kekenesan lahiriah saja

kebijaksanaannya kalah pamor dibanding bisikan reklame ternama

atau dari orasi panglima-panglima pembawa bencana

 

di jaman yang menghamba pada materi

manusia hanya jadi manekin penuh hiasan warna-warni

indah, tapi tak lebih hidup dari batu

 

Agustus 2008

 

 

KAU SEGALANYA BAGIKU

oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

Kubuka lagi lembar-lembar perjalanan hidupku. Kutemukan kau di sana. Dan …hey… aku mendapati segala yang baik tentang dunia, tentang cinta, tentang hidup. Beradamu di sungai waktuku sungguh melapangkan imajiku tentang apa arti kebersamaan. Kau teman, sahabat, kekasih. Dan bagaimanakah caraku mengucapkan terima kasihku padamu? Tak cukup kata kiranya ada padaku untuk menuntaskan semua rasaku padamu.

 

Kuingin mengalami jumpa ini selamanya. Kuingin di dekatmu untuk masa yang tak pernah usai. Kuingin bersamamu menyusuri kehidupan lebih panjang dari waktu. Izinkan aku untuk merasakan nafasmu, menyelami mimpimu, mengurai harapan-harapanmu. Izinkan aku mengecup senyummu dan mengambilalih getirmu. Izinkan aku untuk bertarung memenangkan dunia dan menjadi pahlawanmu. Di bumi penuh kebohongan ini kau adalah matahari kebenaranku.

 

Lama sudah kuimpikan yang terjadi pada dirimu pada diriku. Dan di dalam mimpiku aku tak bisa mencintamu lebih dalam lagi dari yang telah kuberikan untukmu. Telah kuserahkan semuanya hanya untukmu. Kau segala yang kuinginkan. Semestaku. Cintaku yang abadi.

 

Oktober 2016

 

 

 486 total views,  3 views today