Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” (Lukas 17:1-2)

 

***

 

Sesudah Vatikan II. Pada bulan Desember 1965 dan sesudah hampir 3.000 uskup dari seluruh dunia lima kali bersidang di Gereja Santo Petrus di Roma, Konsili Vatikan II berakhir. Vatikan II sekarang terhitung setengah lusin konsili paling berpengaruh dalam sejarah Gereja (Tanner: 2011). Gereja Katolik sepertinya mendapat semangat optimis baru.

 

Di seluruh dunia misa kudus dan liturgi lain dirayakan dalam bahasa setempat. Kaum awam semakin aktif berpartisipasi dalam kegiatan paroki-paroki. Hubungan dengan Gereja Protestan menjadi semakin dekat, dan juga hubungan dengan Gereja Ortodoks yang masih terhambat oleh macam-macam beban sejarah menjadi lebih akrab. Namun, ada juga sekelompok uskup tradisionalis yang tidak bisa menerima perubahan-perubahan itu. Uskup Agung Marcel Lefebvre (1905-1991), mantan uskup agung Dakar (Senegal), menolak sebagian dari keputusan Konsili Vatikan II dan menuduh Konsili sudah tidak setia pada ajaran Katolik yang sejati. Pada tahun 1969, ia membentuk Persaudaraan Pius yang meneruskan cara beribadat sebelum Konsili Vatikan II dan menolak taat pada Paus.

 

Pada tahun 1970-an, Gereja Katolik betul-betul menjadi gereja sedunia. Di Afrika dan Asia, Gereja tumbuh terus termasuk kemudian juga di Tiongkok. Di mana-mana kepemimpinan dalam Gereja pindah dari tangan para misonaris ke tangan para rohaniwan dan rohaniwati pribumi. Di Amerika Latin, Gereja Katolik menstabilisasikan diri meskipun khususnya di Brasil banyak orang Katolik tersedot ke dalam Gereja-gereja evangelikal baru dari Amerika Utara. Mayoritas orang Katolik tidak lagi hidup di Eropa dan Amerika Utara.

 

Namun, suasana optimis tidak tanpa gangguan. Di dunia Barat tahun 1960-an berlangsung semacam revolusi budaya yang juga membingungkan Gereja. Sebagian generasi muda yang tidak lagi mengalami kengerian Perang Dunia II memberontak terhadap konsumerisme kapitalistik generasi orang tua mereka. Universitas-universitas diramaikan oleh gerakan “Kiri Baru” yang “anti-otoriter”. Amerika Serikat diguncang oleh emansipasi kaum Negro, disusul oleh feminisme dan gerakan gender. “Budaya” kaum hippies di Amerika mencuat dalam suatu revolusi seks yang meremehkan penolakan terhadap “free sex”. Pada tahun 1960-an, undang-undang yang mengkriminalisasikan hubungan homoseks dan pornografi dicabut.

 

Pada tahun 1968, dalam situasi itu, dengan mengabaikan anjuran suatu komisi kardinal yang diangkatnya sendiri, Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik Humanae Vitae yang melarang pemakaian alat-alat kontrasepsi, termasuk “pil anti-hamil”. Ensiklik itu menimbulkan protes luas dalam Gereja, beberapa konferensi uskup seperti di Jerman dan di Indonesia menerbitkan penjelasan resmi yang memperlunak larangan itu. Untuk pertama kalinya suatu ajaran resmi pinpinan Gereja Katolik diabaikan oleh sebagian besar umat. Reformasi Gereja ke dalam juga mulai macet. Ada kesan bahwa Roma menjadi takut terhadap dinamika Vatikan II dan mulai mengerem. Mereka yang mau meneruskan reformasi yang dimulai oleh Konsili berhadapan dengan mereka yang menganggap Konsili sebagai batas maksimal bagi perubahan-perubahan dalam Gereja yang tidak boleh dilampaui. Dorongan untuk membahas kewajiban selibat dan kemungkinan penahbisan perempuan menjadi imam ditolak oleh Roma.

 

Di tahun 1970-an banyak imam, biarawan, dan biarawati menanggalkan jubah mereka dan berhenti. Sekaligus jumlah panggilan menjadi imam, bruder, dan suster di negara-negara Barat menurun. Sekularisasi yang sudah berjalan sejak 200 tahun mulai betul-betul merasuk ke dalam masyarakat luas di Barat. Jumlah orang yang pada hari Minggu ke gereja semakin menurun. Semakin banyak orang secara resmi keluar dari Gereja. Namun pada saat yang sama muncul gerakan dan teologi-teologi baru yang penting seperti teologi feminis dan teologi gender, black theology, dan teologi ekologis. Dua gerakan baru paling penting adalah teologi pembebasan dan gerakan karismatik.

 

Teologi pembebasan berkembang di Amerika Latin. Gereja Katolik di sana menyadari betapa ia selama berabad-abad berpihak pada para tuan tanah dan golongan kaya. Disadari bahwa pembebasan Injil tidak boleh dibatasi pada pembebasan dari dosa, melainkan harus mengarah pada pembebasan manusia seluruhnya, termasuk pembebasan dari penindasan dan ketidakadilan. Gereja menyadari bahwa ia harus “berpihak pada orang miskin” dan harus memberikan prioritas kepada orang-orang miskin, dan bukan kepada kaum kaya dan berkuasa (option for the poor). Sikap ini membawa Gereja ke dalam konflik dengan kediktatoran-kediktatoran militer yang waktu itu berkuasa di banyak negara Amerika Latin. Yang paling mencolok di antara ratusan rohaniwan, rohaniwati dan aktivis Gereja yang dibunuh adalah (Beato) Oscar Romero (* 1917), uskup agung San Salvador, yang ditembak mati di tengah misa pada tanggal 24 Maret 1980. Sudah sejak semula teologi pembebasan dicurigai tertular Marxisme, namun akhirnya inspirasinya diangkat oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya “Sollicitudo Rei Socialis”. Teologi pembebasan membarui visi Gereja Katolik.

 

Gerakan Karismatik, di mana termasuk juga Gereja-gereja Pentakosta, lahir dari “Gereja-gereja bebas” Protestan Amerika Serikat dan menekankan pengalaman Roh Kudus dalam kebersamaan mereka, dengan doa-doa penyembuhan dan orang bicara dengan bahasa-bahasa esoteris. Meski gerakan itu mempunyai segi-segi yang bisa dipertanyakan, akan tetapi Gereja Katolik membuka diri terhadapnya dan melihat anggota-anggotanya yang karismatis sebagai pemerkayaan rohani.

 

Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya sejak hampir 500 tahun seorang bukan Italia, Karol Woytyla (1920-2005), uskup agung Krakow di Polandia, dipilih menjadi Paus dengan nama Yohanes Paulus II. Selama 26 tahun ia memimpin Gereja Katolik dengan tegas dan optimis. Yohanes Paulus II menegaskan kembali sikap-sikap tradisional Gereja, selibat tidak dilonggarkan, perempuan tidak bisa ditahbiskan menjadi imam, teologi pembebasan harus membersihkan diri dari bahasa yang berbau Marxis. Semua keputusan penting ditarik ke Roma. Sentralisasi Gereja Katolik mencapai puncaknya di bawah Paus ini.

 

Tetapi sekaligus Yohanes Paulus II memajukan Gereja dengan berani. Tahun 1986, ia mengajak 160 pemimpin dari semua agama besar untuk selama sehari bertemu di kota Santo Fransiskus di Asisi dalam suasana puasa dan doa. Banyak orang tradisionalis kaget bahwa Paus mengakui bahwa orang dari agama lain pun dapat berdoa. Dalam ensiklik Redemptoris Missio ia menyatakan bahwa Roh Kudus juga berkarya di luar Gereja yang kelihatan. Ia merehabilitasi Galileo Galilei dan meminta maaf atas dosa-dosa yang dilakukan Gereja dalam sejarahnya. Bertolak dari Konsili Vatikan II, ia merangkul cita-cita etika politik modernitas. Hormat terhadap hak-hak asasi manusia menjadi inti teologi kemanusiaan Yohanes Paulus II. Ia menolak hukuman mati dan perang. Kebijaksanaannya diteruskan oleh penggantinya, Paus Benediktus XVI (2005-2013). Adalah kekhasan Benediktus bahwa ia sangat sadar betapa ia, sebagai Paus, harus memancarkan apa yang menjadi hakikat Allah, cinta kasih.

 

Pada tanggal 28 Februari 2013, Paus Benediktus mendadak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai uskup Roma. Hanya satu kali, lebih dari 700 tahun yang lalu, seorang Paus melakukannya atas kehendaknya sendiri. Keputusan Benediktus yang dipikirkan matang-matang sudah pasti akan menjadi petunjuk bagi masa depan. 13 hari kemudian para kardinal memilih Kardinal Jorge Mario Bergoglio (*1936), uskup agung Buenos Aires, ibu kota Argentina, sebagai Paus baru. Ia memilih nama Fransiskus. Ia adalah Paus pertama yang bukan dari Eropa sejak lebih dari seribu tahun. Ia langsung membikin kaget: Sesudah membayar sendiri rekening di tempat penginapannya, ia tidak masuk ke dalam istana Kepausan, melainkan memilih suatu apartemen sederhana di rumah penginapan Santa Martha, tempat para tamu Vatikan menginap. Sejak semula Paus Fransiskus membawa angin baru ke dalam Gereja. Ia menegaskan bahwa Gereja harus dekat dengan manusia, solider dengan mereka yang miskin, lemah dan tertinggal, bahwa panggilan pertamanya adalah memancarkan kerahiman Ilahi.

 

Lima puluh tahun sesudah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik berhadapan dengan tantangan-tantangan baru. Di Eropa dan Amerika semakin banyak orang tidak beragama. Di Asia dan Afrika, Islam dan agama-agama lain menyatakan diri kembali dengan ampuh. Situasi ini menantang Gereja Katolik, dan juga Gereja Protestan: Bagaimana pesan Ilahinya harus disampaikan dalam dunia baru itu agar tetap dapat dimengerti? Yang jelas, Gereja Katolik harus terus memperbarui diri. Apa Paus Fransiskus akan memberi dorongan menentukan pada pembaruan ini? Kita akan melihatnya.

 

(Franz Magnis-Suseno,SJ; seorang Imam Yesuit, filsuf dan budayawan Katolik)

 

***

 

              Pemeluk Agama

            oleh: Joko Pinurbo

 

 

Dalam doaku yang khusyuk

Tuhan bertanya padaku,

hambaNya yang serius ini,

“Halo, kamu seorang pemeluk agama?”

“Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan.”

 

“Lho, Teguh si tukang bakso itu

hidupnya lebih oke dari kamu,

gak perlu kamu peluk-peluk.

Sungguh kamu seorang pemeluk agama?”

“Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.”

 

“Tapi Aku lihat kamu gak pernah

memeluk. Kamu malah menghina,

membakar, merusak, menjual agama.

Teguh si tukang bakso itu

malah sudah pandai memeluk.

Sungguh kamu seorang pemeluk?”

“Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.”

 

Tuhan memelukku dan berkata,

“Pergilah dan wartakanlah pelukanKu.

Agama sedang kedinginan dan kesepian.

Dia merindukan pelukanmu.”

 

Ketika ia tersadar dari doa khusyuknya,

dilihatnya Teguh si tukang bakso itu

sedang dipeluk malam dan hujan

di depan gardu. Ting ting ting…..

Seperti denting-denting doa yang merdu.

 

(2015)

 

 

 

              nonton harga

           oleh: Wiji Thukul

 

 

ayo keluar keliling kota

tak perlu ongkos, tak perlu biaya

masuk toko perbelanjaan tingkat lima

tak beli tak apa

lihat-lihat saja

kalau pengin durian

apel-pisang-rambutan-anggur

ayo…..

kita bisa mencium baunya

mengumbar hidung cuma-cuma

tak perlu ongkos, tak perlu biaya

di kota kita

buah macam apa

asal mana saja

ada

kalau pengin lihat orang cantik

di kota kita banyak gedung bioskop

kita bisa nonton posternya

atau ke diskotek

di depan pintu

kau boleh mengumbar telinga cuma-cuma

mendengarkan detak musik

denting botol

lengking dan tawa

bisa juga kaunikmati

aroma minyak wangi luar negeri

cuma-cuma

aromanya saja

ayo…..

kita keliling kota

hari ini ada peresmian hotel baru

berbintang lima

dibuka pejabat tinggi

dihadiri artis-artis ternama ibukota

lihat

mobil para tamu berderet-deret

satu kilometer panjangnya

kota kita memang makin megah dan kaya

tapi hari sudah malam

ayo kita pulang

ke rumah kontrakan

sebelum kehabisan kendaraan

ayo kita pulang

ke rumah kontrakan

tidur berderet-deret

seperti ikan tangkapan

siap dijual di pelelangan

besok pagi

kita ke pabrik

kembali bekerja

sarapan nasi bungkus

ngutang

seperti biasa

 

(18 november 96)

 

 

 

PADA SUATU PAGI HARI

oleh: Sapardi Djoko Damono

 

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.

 

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

 

(1973)

 

 

 

 

 

 

 

 

 468 total views,  3 views today