oleh: Aris Sukarto

 

 

 

  1. Pendahuluan

 

Injil Markus memulai pemberitaannya dengan pernyataan: “Inilah permulaan Injil Yesus Kristus, Anak Allah” (Mrk 1:1). Penekanan Yesus sebagai Anak Allah tampak di sini. Namun, ini bukan satu-satunya penekanan pemahaman teologis tentang siapa Yesus dalam Injil Markus. Injil ini juga menekankan bahwa Yesus itu dari Nazaret di tanah Galilea (Mrk 1:9). Hal ini menandakan bahwa Yesus tidak hanya disadari sebagai Yang Ilahi, tetapi juga sekaligus bahwa Ia itu yang menyejarah, terkait erat dengan realita sejarah. Terkait erat dengan kehidupan di bumi. Bahwa kita mempunyai kesadaran semacam ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Tetapi yang menjadi persoalan umum ialah bahwa kita kurang (tampaknya kurang) begitu banyak membicarakan secara serius dampak dari pengakuan bahwa Yesus itu dari Nazaret. Hal ini tercermin dari sedikitnya (paling tidak dalam dunia literatur berbahasa Indonesia) buku-buku yang membahas mengenai dunia sekitar Yesus pada waktu itu. Yang sering kita ungkapkan hanyalah sebatas bahwa Yesus sering bertentangan dengan para orang Farisi, dengan ahli Taurat dan juga orang-orang Yahudi. Mengapa hal ini terjadi? Kita sering dengan cepat menjawab bahwa hal itu disebabkan karena mereka tidak memahami siapa dan apa misi Yesus itu. Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa Ia datang kepada milik-Nya tetapi mereka tidak menerima-Nya (Yoh 1: 10-11). Mengapa mereka tidak menerima Yesus? Karena mereka hidup dalam kegelapan. Namun, pada pihak lain kitab yang sama juga memberikan indikasi bahwa penolakan diri Yesus juga terjadi karena Ia dari Nazaret. Hal ini diungkapkan oleh Natanael, seorang warga Galilea yang meragukan akan adanya sesuatu yang baik datang dari Nazaret (Yoh 1: 45-46).

 

Melihat kenyataan bahwa Yesus itu dari Nazaret sebagaimana yang diungkapkan oleh Alkitab (sebanyak lebih kurang 29 kali), dan bahwa Alkitab tidak melepaskan kenyataan ini baik dalam menyaksikan pelayanan Yesus (Luk 18:5 dan 7), maka realita sekeliling Yesus (dan tentunya Yesus dan pekerjaan-Nya) tidak dapat dipahami dengan saksama tanpa memperhatikan Nazaret. Ini berarti dalam memahami konteks Yesus di Palestina, kita harus memahaminya dalam bingkai keberadaan Nazaret.

 

 

  1. Nazaret: Sebuah Kota Kecil atau Desa yang Tak terkenal

 

Nazaret adalah kota tempat tinggal Maria dan Yusuf, orang tua Yesus (Luk 1:26). Namun, sebagaimana dikisahkan oleh Alkitab, Yesus sendiri tidak lahir di Nazaret tetapi di Betlehem dan baru kemudian mereka kembali ke Nazaret (Mat 2:23; Luk 2:4). Yesus, semasa kanak-kanak tinggal di sana bersama dengan orang tua-Nya.

 

Walaupun Nazaret merupakan tempat tinggal Yesus semasa kanak-kanak, Nazaret bukanlah kota yang sangat terkenal. Dalam penyebutan yang sebanyak lebih kurang 29 kali, kebanyakan hanyalah untuk menyebut bahwa Yesus itu orang Nazaret. Jadi, hal itu untuk  menunjukkan tempat asal Yesus. Kota ini tidak disebut-sebut seperti halnya Yerusalem dengan segala fungsi dan kemasyhurannya. Memang Nazaret adalah kota kecil, bahkan mungkin desa saja, yang ada di daerah Galilea selatan di tanah Zebulon. Perjanjian Lama, Talmud maupun Midrash tidak pernah menyinggungnya. Jadi, tepatlah seperti apa yang diungkapkan Natanael, bahwa kota ini sangat tidak berarti pada zaman Yesus (Yoh 1:46) sehingga seorang ahli sejarah Yahudi yang bernama Yosephus tidak menulis apa pun tentang kota ini.

 

Menarik sekali bahwa kota ini tidaklah menjadi kota penting secara religius walaupun merupakan kota yang terkait dengan kehidupan Yesus. Bahkan, pada abad-abad pertama Masehi ia bukanlah merupakan kota keagamaan yang penting. Baru pada zaman Konstantin Agung (pada awal abad keempat) kota ini menjadi penting, dan baru pada abad keenam gereja didirikan di kota ini. Nazaret memang merupakan desa pinggiran yang tampaknya tidak terletak di jalan utama sehingga tidak terkenal. Ia dekat dengan Seporis (kota yang sangat diwarnai kebudayaan helenis dan merupakan kota besar terdekat dari Nazaret) yang terletak di utara Laut Nazaret. Namun, ia jauh dari Yerusalem. Di sinilah Yesus hidup sampai pada saat permulaan pelayanan-Nya dari tempat yang hampir dapat dikatakan tidak dikenal secara luas pada zaman-Nya.

 

Melihat kenyataan di atas, tidaklah heran jika karakter pedesaan inilah yang justru mewarnai kegiatan Yesus. Kita ambil saja sebagai contoh perumpamaan-perumpamaan yang Ia pakai di dalam pengajaran-Nya. Kebanyakan perumpamaan itu menggambarkan suasana pedesaan. Perumpamaan tentang seorang penabur (Mat 13:1-23; Luk 8:4-15), tentang ilalang di antara gandum (Mat 13:24 dst), dan tanggapan-Nya terhadap kekhawatiran akan kehidupan hari esok, semua ini menguatkan asumsi di atas.

 

 

  1. Nazaret di Galilea: Daerah di Luar Yudea

 

Telah disebutkan di atas bahwa Nazaret adalah desa di daerah Zebulon, yang pada zaman Perjanjian Baru lebih dikenal dengan nama daerah Galilea (yang mencakup daerah Naftali). Memang, Yesus ternyata tidak hidup di Nazaret sepanjang hidup-Nya. Ia banyak melayani di kota-kota lain. Namun, pelayanan itu masih tetap (dalam sebagian besar kehidupan-Nya) di kota-kota yang ada di wilayah Galilea. Bahwa pelayanan Yesus yang singkat itu terjadi dan dilakukan di daerah, ini tampak dari nama-nama tempat yang Ia kunjungi: Kana (Yoh 2:1), Kapernaum (Mat 4:13), Tiberius (Yoh 6:23), Betsaida (Mat 11:21), Khorasim (Mat 11:21), Naim (Luk 7:11-16), dsb, adalah daerah-daerah di Galilea dan sekitarnya. Kota-kota ini merupakan kota-kota kecil kecuali Tiberius.

 

Galilea tampaknya juga merupakan daerah yang secara sosial maupun politis sangat terisolir dari daerah Yudea (Yerusalem). Hal ini tampak dari reaksi Yusuf ketika ia mendengar bahwa Arkelaus menggantikan Herodes (ayahnya), ia takut dan pergi ke Galilea (Mat 2:22). Demikian pula ketika Yesus mendengar bahwa Yohanes Pembaptis ditawan. Ia pun menarik diri ke Galilea (Mat 4:12). Petrus diketahui oleh hamba perempuan di Yerusalem sebagai orang Galilea karena bahasanya (Mat 26: 69-73). Hal ini menunjukkan kenyataan bahwa bukan saja Galilea itu jauh dari Yerusalem secara fisik, tetapi secara politis dan kultural juga agak terpisah dari Yudea (Yerusalem).

 

Keterasingan Galilea dari Yerusalem akan tampak pula dari kenyataan sebutan Galilea itu sebagai wilayah bangsa-bangsa lain (Mat 4:15). Sebutan ini bukanlah hal baru terjadi pada zaman Yesus. Sejak pecahnya kerajaan Israel sesudah Salomo meninggal, daerah utara yakni daerah Zebulon dan Naftali yang ditaklukkan Asyur (734 SM) sudah disebut galil (yang artinya “lingkaran”). Dari Asyur kemudian daerah ini dikuasai Babilonia, Persia, Macedonia, Mesir, Siria. Tak heran jika daerah ini menjadi daerah yang penduduknya heterogen dan lain dari mereka yang ada di Yudea (Yerusalem). Oleh sebab itu, sejak Yesaya (705 SM), tanah Zebulon dan Naftali disebut gelil hagoyim yang berarti “wilayah bangsa-bangsa asing” (Yes 8:23). Rupanya kenyataan inilah yang juga dilihat oleh Matius sehingga Matius pun menyebutnya sebagai wilayah bangsa-bangsa lain. Ia memang lain, ia tak sama dengan Yerusalem. Dan dari latar belakang dan kenyataan ini kita dapat memahami mengapa Galilea berbeda dan juga terasing secara kultural maupun politik dari Yerusalem. Bahkan, mungkin juga secara keagamaan ia juga terasing, (lihat kesaksian kitab II Tawarikh 30:10-11 tentang sikap orang daerah ini yang tak memberikan respon secara baik terhadap reformasi di Yerusalem.

 

Berdasarkan pemahaman bahwa daerah Galilea ini secara tradisional dipandang sebagai wilayah bangsa-bangsa lain (Mat 4:15, bdk. Yes 8:23), maka tidak heran apabila sejak awal pelayanan Yesus, pertemuan-pertemuan dengan bangsa-bangsa lain sering terjadi. Pertemuan dengan perempuan Siro-Fenesia (Mrk 7: 24-30), misalnya menunjukkan kenyataan ini.

 

 

  1. Yesus: Orang Yahudi di Nazaret

 

Kita dan Gereja-Gereja pada umumnya, seperti yang dikatakan di atas, memahami sedalam-dalamnya bahwa Yesus itu Tuhan. Hal ini tentu benar. Namun, kita sering lupa bahwa di pihak lain Yesus itu juga orang Yahudi. Kita lebih sering memikirkan Yesus sebagai yang dilawan, dianiaya oleh orang Yahudi. Pemikiran semacam ini bukan tanpa dasar. Paulus di dalam 1 Tesalonika 2:15 mengatakan: “Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami …..” Namun, konsekuensi dari pemahaman yang secara dangkal dari ayat ini membawa kita kurang peka akan keberadaan Yesus sebagai orang Yahudi. Bahkan, mempertentangkan pemahaman tentang Yesus yang bukan Yahudi melawan orang Yahudi karena kedegilan mereka (Buku J. Blinzer, The Trial of Jesus misalnya menekankan pandangan ini. Dan juga beberapa buku dogmatik dapat kita periksa).

 

Penekanan bahwa Yesus itu dari Nazaret membawa kita untuk menyadari sesadar-sadarnya bahwa Ia itu orang Yahudi Nazaret. Pernyataan bahwa Ia anak Maria dan Yusuf yang keturunan Daud (Luk 1:27) dan silsilah yang dipaparkan Matius semakin memperkuat kesan bahwa kitab-kitab Injil tidak ingin menghilangkan kenyataan bahwa Yesus orang Yahudi.

 

Yang menjadi pertanyaan ialah bagaimana dapat terjadi adanya orang Yahudi, yang keturunan Daud, berada di Nazaret. Pertanyaan berikut ialah mengapa terjadi adanya pertentangan jika antara Yesus  dan orang-orang sekitarnya adalah sesama Yahudi. Pertanyaan yang pertama mengarah pada pertanyaan tentang tersebarnya orang Yahudi ke berbagai daerah, sedangkan pertanyaan yang kedua mengarah pada usaha memahami realita orang-orang di sekitar pada masa Yesus.

 

Sejak peristiwa penaklukan Yehuda oleh Babilonia (587 SM), Israel secara terus-menerus mengalami peristiwa penaklukan demi penaklukan. Persia menggantikan Babil. Kemudian Persia ditaklukkan Aleksander Agung. Pada abad ketiga, Mesir, dan kemudian ganti tuan yang baru yaitu Siria pada abad kedua. Pada abad pertama SM datanglah Roma sebagai penguasa baru. Penaklukan-penaklukan ini membawa konsekuensi tersebarnya orang-orang Israel. Tersebarnya ini dimungkinkan karena mereka dibuang, disebar oleh sang penakluk seperti halnya yang terjadi pada masa penaklukan Israel oleh Babilonia, namun mungkin pula terjadi karena mereka menyingkir sebab takut akan tindakan-tindakan sang penakluk seperti halnya yang disaksikan oleh Matius tentang kepergian Maria dan Yusuf ke Mesir dan ke Galilea (Mat 2:13-23). Akan tetapi, tersebarnya ini juga dimungkinkan karena komunikasi dan keamanan perjalanan serta kesatuan dengan daerah-daerah lain, terutama pada zaman Israel di bawah kekuasaan Roma, menjadi suatu kenyataan hidup mereka. Yang jelas bahwa pada zaman Yesus orang Yahudi sudah tersebar di berbagai tempat di wilayah Roma. Mereka menjadi berserakan dan hidup di mana-mana termasuk ada yang hidup di daerah Galilea.

 

Lukisan di atas di samping memberikan gambaran mengenai tersebarnya orang Yahudi pada zaman Yesus, juga menggambarkan bahwa hidup di bawah kekuasaan Roma bukanlah satu-satunya pengalaman hidup di bawah kekuasaan bangsa lain. Sejarah Israel justru penuh dengan gambaran hdiup di bawah penindasan bangsa-bangsa lain. Mereka mengalami penindasan yang berat karena setiap penakluk berusaha menguasai orang yang ditaklukkan secara total. Sebagai salah satu contoh, misalnya usaha Antiokhus untuk menguasai Bait Allah sebagai simbol penguasaan atas orang-orang Yahudi (167 SM) atau sistem pembayaran pajak yang diambil oleh Roma untuk membiayai keperluannya. Penindasan-penindasan ini bukan saja dirasakan sebagai penindasan kehidupan ekonomis, melainkan juga penindasan kultural. Akibat lain dari penaklukan itu ialah terjadi adanya kelompok-kelompok tertentu yang saling bertentangan (walaupun sesama Yahudi) karena sikap yang mereka ambil terhadap kehadiran sang penakluk tidak sama. Sikap keturunan Hasmonean yang pro penguasa Helenis berbeda dengan kelompok Makabe yang menolak bersikap kompromi terhadap Helenisme.

 

Mangingat situasi yang demikian maka di satu pihak timbul harapan akan adanya tindakan Allah yang menyelamatkan mereka, seperti halnya Allah menyelamatkan nenek moyangnya dari Mesir maupun memulihkan dari pembuangan di Babilonia. Akan tetapi, pada pihak lain situasi itu membangkitkan rasa protes atas adanya kekuasaan asing di Palestina, rasa protes atas kehidupan yang semakin berat akibat penindasan tersebut. Rasa protes ini bukan hanya diarahkan kepada penguasa Roma, melainkan juga kepada para penguasa agama di Yerusalem. Inilah semua yang tergambar dalam hidup Yesus dari Nazaret seperti yang digambarkan oleh kitab-kitab Injil. Dalam diri Yesus terletak suatu harapan, tetapi dalam diri Yesus dari Nazaret itu pula tergambar suatu protes yang mengakibatkan adanya pertentangan di antara orang Yahudi sendiri.

 

 

  1. Yesus dari Nazaret dan Murid-Murid-Nya

 

Seperti halnya Yesus adalah orang Yahudi, maka murid-murid Yesus adalah juga orang-orang Yahudi. Yakobus anak Zabedeus, misalnya, mungkin orang yang erat hubungannya dengan sinagoga di Kapernaum. Kalaupun ada nama-nama yang murni Yunani seperti halnya Alfeus, hal itu tidaklah berarti bahwa ia orang Yunani melainkan pemakaian nama-nama Yunani sudah mulai menjadi hal yang umum bagi orang-orang Yahudi di Palestina pada zaman Yesus. Kita tidak akan membicarakan tentang murid-murid Yesus dan karakternya. Yang menjadi perhatian kita ialah kehidupan Yesus dan murid-murid-Nya.

 

Pertama-tama yang perlu kita perhatikan ialah kenyataan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya tampaknya tidak menetap di satu tempat. Mereka digambarkan sebagai kelompok yang senantiasa dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain sambil mengajar. Mula-mula Ia meninggalkan Nazaret dan tinggal di Kapernaum (Mat 4:13). Namun, Ia tidak menetap. Matius 8, misalnya, menggambarkan Yesus yang senantiasa dalam perjalanan bersama dengan murid-murid-Nya. Dari antara 12 murid-Nya, rupanya hanya Petrus yang menetap menjadi pemimpin komunitas (Gal 1:18). Memang secara umum digambarkan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya tidak mempunyai rumah yang tetap (Mat 10:44). Mereka, seperti halnya Yesus, tidak mempunyai ikatan yang erat dengan keluarga (Luk 14:26). Hidup mereka juga tidak berkelimpahan. Gambaran Mat 6: 25-32, misalnya, memberikan kesan akan adanya kepasrahan hidup yang harus ditempuh pada hari esok.

 

Semua gambaran ini memang tidaklah senantiasa harus ditanggapi sebagai hal yang mencerminkan kemiskinan, melainkan sebagai panggilan etis untuk menjadi murid Yesus. Namun, secara sosial ekonomis hal ini dapat dibaca sebagai adanya kemiskinan dan “social rootlessness” (ketercabutan dari kehidupan sosial) dari sebagian anggota masyarakat Yahudi pada zaman Yesus. Nama Petrus anak Yunus (dalam Mat 16:17) dapat menunjukkan hal ini. Yunus (Yona) berarti kosong atau terasing. Dari nama itu dapat dipertimbangkan kenyataan Petrus sebagai orang miskin dan juga yang tersisih. Yesus memanggil banyak orang yang mempunyai beban yang berat (Mat 11:28). Bartimeus yang datang kepada Yesus adalah pengemis (Mrk 10:52). Demikian pula Zabedeus adalah nelayan yang miskin dari daerah tepi Danau Tiberias. Tampaknya kemiskinan dan hal mengemis memang merupakan kenyataan hidup bagi banyak orang pada zaman Yesus (Luk 14:16 dst; Luk 16:3). Menurut Eusebius, sejarahwan Yahudi kuno, Yesus dan murid-murid-Nya memang tampaknya dari keluarga yang tidak terpandang (Yusuf adalah tukang kayu). Penilaian Eusebius tidaklah terlalu meleset. Toh Maria dan Yusuf memang bukan keluarga yang kaya-raya sehingga dapat menyewa motel pada waktu melahirkan Yesus.

 

Banyak faktor yang menyebabkan himpitan kehidupan ekonomi di Palestina. Yosephus mencatat bahwa banyak bencana pada abad pertama SM: kekeringan (65 SM), badai (66 SM), gempa bumi (34 SM), penyakit menular (29 SM), dan kelaparan. Ia juga mencatat bahwa penduduk Palestina, terutama Galilea sangat padat. Pemilikan kekayaan yang tidak seimbang pada abad ini pun mendukung semakin sulitnya kehidupan ekonomi di Palestina. Herodes mengambil dengan paksa harta para penduduk. Herodes pula yang tampaknya menjadi eksportir gandum ke kota-kota Tirus dan Sidon. Tampaknya terjadi persaingan antar orang-orang Roma dan Palestina untuk mengumpulkan kekayaan. Caligula (30/40 M) menaikkan pajak. Sebelumnya pajak sudah ditarik, dan tampaknya hal ini yang menyebabkan banyak orang jatuh ke tangan kreditor (Mat 18:21 dst) dan hidup tanpa perlindungan (Mat 5:25).

 

Melihat kenyataan ini tidak heran jika kehadiran Yesus dari Nazaret diharapkan untuk menjadi raja yang bukan saja dapat mengusir roh jahat, tetapi juga dapat mengusir kekuasaan asing yang dianggap sebagai penyebab penderitaan. Di samping itu, Ia diharapkan menjadi hakim yang adil yang dapat menyejahterakan masyarakat secara adil pula (ingat perumpamaan orang muda yang kaya dalam Mat 19:16-26).

 

 

  1. Yesus dari Nazaret dan Orang-Orang yang Menentang-Nya

 

Sudah dikatakan beberapa kali bahwa banyak ungkapan yang menyatakan tentang perlawanan orang Yahudi terhadap Yesus. Dan sudah pula diajukan pemikiran bahwa hal tersebut tidak dapat dibaca begitu saja bahwa semua orang Yahudi melawan Yesus sebab pada kenyataannya Yesus sendiri adalah orang Yahudi dan murid-murid-Nya yang mula-mula juga terdiri dari orang-orang Yahudi. Oleh sebab itu, perlawanan ini hendaknya dimengerti sebagai suatu pertentangan atau ketegangan yang ada yang disebabkan adanya banyak kelompok dan ragam dalam kehidupan orang Yahudi baik yang disebabkan oleh karena keberadaannya sebagai diaspora maupun karena keberadaannya sebagai masyarakat sosial yang tersusun dari berbagai sub-grup sosial. Salah satu contoh ialah adanya pertentangan antara Yesus dan murid-murid-Nya dengan ahli Taurat dan orang Farisi. Dilihat dari segi ini maka kita melihat ketegangan antara kelompok sub-grup sosial tertentu (Yesus dan murid-murid-Nya) dengan sub-grup sosial yang lain (orang-orang Farisi serta ahli Taurat).

 

Pada waktu Bait Allah dihancurkan oleh Babil dan banyak orang Yehuda yang dibawa ke Babil, maka orang-orang Israel kehilangan pusat kehidupan religius mereka. Di samping Yerusalem hancur, mereka itu hidup di tempat yang jauh dari Yerusalem. Usaha untuk memelihara tradisi keagamaan mereka dilakukan dengan memelihara Taurat, dan berkumpul di antara mereka itu. Oleh sebab itu, abad-abad pembuangan ini merupakan abad yang produktif dalam pengumpulan dan penulisan kitab-kitab Perjanjian Lama. Di samping munculnya kitab-kitab ini muncul pula ahli-ahli yang mengajarkan Tora (bukan imam) yang disebut ahli Taurat, dan juga muncul sinagoga-sinagoga sebagai tempat berkumpul di mana mereka dapat membahas Taurat bersama. Tampaknya setelah Bait Allah dibangun kembali, para ahli Taurat ini tetap merupakan ahli dalam pengajaran Taurat dan bekerja sama dengan para Imam (Ez 7:6). Pada waktu pemerintahan Seleucus, di mana proses helenisasi ditingkatkan, maka para ahli Taurat ini sangat memegang peranan penting. Dari antara kelompok ini ada yang tidak dapat menerima proses helenisasi tersebut. Mereka membentuk kelompok sendiri, memisahkan diri dan menjaga kemurnian hukum-hukum Taurat. Kelompok inilah yang disebut kelompok Farisi. Mereka sangat ketat dan eksklusif dan membedakan dirinya dengan orang kebanyakan (-am haarets).

 

Menarik sekali jika kita lihat perdebatan-perdebatan antara Yesus dengan baik ahli Taurat maupun orang Farisi. Yang diperdebatkan sangat jelas yaitu apakah Yesus memelihara hukum-hukum Taurat seperti halnya hal berpuasa (Luk 5:33 dst) atau hari Sabat (Luk 6:1 dst) atau hal mengajar tentang siapa Allah (Mrk 2:6). Pertemuan-pertemuan antara Yesus dengan baik ahli-ahli Taurat maupun orang Farisi ini sudah terjadi sejak awal pelayanan-Nya di Galilea. Kalau kita simak baik-baik, misalnya hal keberatan mereka tentang murid-murid yang mengisar gandum di tangan mereka kemudian dimakan (Luk 6:1 dst), maka kita akan segera menangkap adanya pertentangan antara kenyataan hidup harian orang kebanyakan dan kenyataan hidup para ahli Taurat dan Farisi yang mempelajari hukum. Di sini tampak adanya ketegangan antara adat istiadat orang kebanyakan dan kelompok intelektual yang mempelajari hukum-hukum serta aturan-aturan keagamaan. Kelompok terdidik ini menghendaki adanya tingkah laku yang sesuai dengan aturan, bukan aturan yang sesuai dengan tingkah laku. Kecaman-kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang Farisi mengingatkan akan hal ini. Lihat Luk 11:37-46. Di sini baik para ahli Taurat maupun orang Farisi dipandang membuat beban bagi kehidupan orang-orang kebanyakan dan dipandang sebagai yang munafik (bdk. Mat 23:3). Sebenarnya orang-orang Farisi sendiri sadar akan sulitnya membuat dan menerapkan aturan pada setiap tingkah laku yang ada. Hal ini jelas dari adanya ketegangan antara kelompok Shamai dan Hillel. Shamai mencoba menerapkan segala aturan dengan ketat dalam kehidupan harian, termasuk juga pemisahan diri dari bangsa-bangsa lain. Sedangkan kelompok Hillel lebih moderat dan lebih memperhatikan segi praktis dari norma-norma yang ada. Tampaknya kelompok Shamai yang berpengaruh pada zaman Yesus, sebab kelompok Hillel baru dapat melebarkan pengaruhnya sesudah tahun 70 Masehi.

 

Dari pertemuan dan perdebatan antara orang-orang Farisi dan ahli Taurat ini dengan Yesus dapatlah kita simpulkan bahwa yang digambarkan Alkitab bukan hanya kedudukan orang-orang itu dalam menentang dan tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan Allah, tetapi juga suatu kenyataan adanya ketegangan antara para ahli Taurat, orang-orang Farisi dengan orang kebanyakan dalam mengharapkan kehadiran sang Mesias. Namun, tentunya tidak semua orang Farisi selalu dalam posisi berlawanan dengan Yesus.

 

 

  1. Yesus: Nabi dari Nazaret Datang ke Yerusalem

 

Pada saat Yesus masuk ke Yerusalem, orang banyak mengelu-elukan: “Inilah Nabi Yesus dari Nazaret di Galilea” (Mat 21:11). Tetapi, menurut Lukas, imam-imam dan pemimpin Yerusalem menangkap dan membunuh-Nya. Di dalam kisah-kisah penyaliban maka nama ini, Yesus dari Nazaret muncul kembali (Mat 26:71; Mrk 16:6, dan Yoh 19:19). Sangat menarik jika kita simak. Ia memulai pekerjaan-Nya dengan menunjukkan identitas sebagai orang dari Nazaret dan identitas ini ini juga ditunjukkan menjelang penyaliban-Nya. Nazaret menjadi simbol mulai munculnya sebuah ketegangan dan akhir yang drastik dari sebuah ketegangan tersebut. Keberhasilan di Nazaret tampaknya tidak bisa diulang di Yerusalem.

 

Dilihat dari seluruh riwayat pekerjaan Yesus, sebenarnya aktivitas-Nya di Yerusalem sangat sedikit. Pertemuan-Nya dengan orang Saduki, misalnya hanya diceritakan beberapa kali. Alkitab menceritakan dalam tiga perikop saja, yaitu Mat 3, Mat 16, dan Mat 22 (dengan ayat-ayat yang paralel di Markus dan Lukas). Padahal kita tahu kelompok Saduki ini adalah kelompok imam-imam yang sangat terkait dengan Bait Allah di Yerusalem. Tidak seperti halnya kaum Farisi dan ahli Taurat yang terdapat di hampir setiap pusat para diaspora, kelompok Saduki ini terkonsentrasi di Yerusalem. Yang menjadi pertanyaan ialah jikalau memang kegiatan Yesus tidak terlalu banyak di Yerusalem, mengapa Ia mempunyai konflik yang tinggi dengan Yerusalem? Situasi yang bagaimanakah yang melatarbelakanginya?

 

Yerusalem sebenarnya merupakan kota yang miskin. Tanah-tanah sekitarnya merupakan tanah yang tandus dan tidak baik untuk pertanian. Roda kehidupan pada zaman Yesus bisa berputar hanya karena adanya dua kegiatan keagamaan yang berpusat pada Bait Allah. Kesaksian Mat 21:12-17 (Mrk 11:15-19; Luk 19:45-48) menunjukkan adanya kegiatan dagang yang cukup besar. Yang kedua ialah kegiatan Herodes yang membangun kota itu sehingga menjadi kota yang indah. Kota itu dibagi dua bagian yang satu disebut “Kota Atas” (di mana kaum elit tinggal) dan satunya disebut “Kota Bawah”  ditambah adanya pertambahan penduduk Yerusalem yang pesat sehingga ia perlu mencari tambahan sumber di istananya. Orang yang hidup di “Kota Bawah” inilah yang tampaknya mengalami kesulitan. Pada saat mereka memberontak terhadap pendudukan Roma, kota ini dibakar dan tujuan utamanya ialah membakar surat-surat hutang.

 

Kegiatan ekonomi yang berpusat pada Bait Allah tampaknya juga semakin menambah beban bagi masyarakat. Dan tampaknya Yesus sangat menaruh perhatian terhadap hal ini. Ia menolak sistem ekonomi yang semakin memberatkan hidup orang banyak. Kenyataan bahwa kedatangan Yesus ke Yerusalem itu untuk mengkritik realita bahwa Bait Allah sudah menjadi sarang penyamun membuktikan perhatian-Nya ini. Tindakan ini tentunya menimbulkan keresahan bagi kalangan imam yang hidupnya sangat terkait dengan “Ekonomi Bait Allah”. Bukan hanya itu saja, karena kegiatan ekonomi Yerusalem banyak tergantung pada “Ekonomi Bait Allah” maka tindakan Yesus itu menimbulkan gejolak bagi pemerintahan kota pada umumnya. Akibatnya bisa diduga. Gerakan Nazaret harus dihentikan.

 

Jadi, pada zaman Yesus, Yerusalem bukanlah merupakan tempat yang teduh dan nyaman. Banyak keresahan dan juga kesulitan yang mengundang perhatian Yesus.

 

  1. Kesimpulan

 

Suasana dan keadaan kehidupan sekeliling Yesus adalah sangat kompleks. Adalah tidak mungkin untuk memaparkan seluruhnya dalam bentuk yang singkat. Yang dapat dilakukan hanyalah menguak sebagian kecil realita kehidupan yang ada pada saat itu.

 

Kehidupan pada zaman Yesus diwarnai dengan adanya gerakan pembaruan. Gerakan pembaruan menuju terwujudnya masyarakat Kerajaan Allah yang bahagia. Setiap Gerakan yang demikian tidak berjalan sendiri. Ia akan bertemu, berbenturan dengan keadaan yang mempertahankan masyarakat yang bahagia (atau paling tidak keadaan masyarakat yang sudah dianggap bahagia). Benturan-benturan ini tergambar dalam ungkapan pengakuan bahwa Yesus itu dari Nazaret. Mengapa ungkapan ini muncul?

 

Masyarakat zaman Yesus ternyata merupakan masyarakat yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Di daerah Galilea sendiri masyarakat ini mengalami kesulitan untuk mengenal apa arti hidup dalam suasana Kerajaan Allah. Kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa masyarakat terdidik (Farisi dan ahli Taurat) lebih mementingkan realisasi pemahamannya tentang apa itu hidup tanpa memperhatikan kenyataan kehidupan orang kebanyakan. Ditambah lagi adanya kecenderungan masyarakat terdidik untuk menyisihkan orang kebanyakan dari lingkungan kehidupannya.

 

Keadaan ekonomi pada zaman Yesus juga kurang menunjang perwujudan pembaruan itu sendiri. Baik instansi agama maupun pemerintahan pada zaman Yesus tampaknya senantiasa curiga terhadap gerakan pembaruan yang dibawa oleh Yesus dikarenakan kepentingan-kepentingan ekonomi yang ada.

 

Berdasarkan itu semua maka secara singkat dapatlah kita katakan bahwa suasana kehidupan manusia di sekeliling Yesus pada zaman-Nya penuh dengan ketegangan. Ketegangan untuk hidup, ketegangan antara kelompok orang pedesaan (rendahan) dengan yang terdidik dan juga ketegangan antara kelompok penguasa ekonomis dan mereka yang hidup dalam kekurangan. Di tengah suasana yang demikian inilah Yesus dari Nazaret mengadakan pembaruan.

 

***

 

SUMBER TULISAN

 

  • Tulisan ini dipetik dari Harjawiyata, Frans, OCSO (Ed). Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1988.

 

 

 

 

 

 

 1,197 total views,  3 views today