oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

 1. Kebutuhan akan “Tanda”

 

Salah satu ayat dalam Injil versi Maria mengungkapkan sebuah perkataan Yesus tentang “Menafsirkan Zaman”: “Ketika kamu melihat awan muncul di barat, kamu langsung berkata, ‘Akan segera turun hujan,’ dan hal itu terjadi. Dan ketika kamu merasakan angin selatan sedang bertiup, kamu berkata, ‘Akan terjadi panas yang menyengat,’ dan hal itu terjadi. Pada sore hari kamu berkata, ‘Besok cuaca baik,’ karena langit cerah. Pada pagi hari kamu berkata, ‘Hari ini cuaca badai,’ karena langit sedang mengancam. Kamu tahu bagaimana menafsirkan langit dan bumi. Mengapa kamu tidak tahu bagaimana menafsirkan tanda-tanda zaman?”

Dalam Injil Matius 16: 1-4 konteks perkataan Yesus itu lebih dijelaskan: “Kemudian datanglah orang-orang Farisi dan Saduki hendak mencobai Yesus. Mereka meminta supaya Ia memperlihatkan suatu tanda dari sorga kepada mereka. Tetapi jawab Yesus: ‘Pada petang hari karena langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup, kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak. Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus.’ Lalu Yesus meninggalkan mereka dan pergi.”

Rupa-rupanya Yesus amat selektif dalam mengungkapkan diri-Nya. Tidak kepada setiap orang dan tidak pada sembarang waktu Ia mau menyatakan diri. Mengapa demikian? Matius 11: 25-27 sedikit mengungkapkan kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini. Di sana dikatakan: “Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.’”

Kepada si Jahat, Yesus pantang berkompromi. Dalam Lukas 11: 29-30 disingkapkan: “Ketika orang banyak mengerumuni-Nya, berkatalah Yesus: ‘Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus menjadi tanda untuk orang-orang Niniwe, demikian pulalah Anak Manusia akan menjadi tanda untuk angkatan ini’.”

Di hadapan orang-orang yang tidak mendapat perkenanan-Nya, yakni orang-orang munafik, Yesus tampaknya juga enggan untuk bicara terlalu banyak. Lukas 12: 54-56 menuturkan: “Yesus berkata pula kepada orang banyak: ‘Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini?”

Dalam Injil Markus 8: 11-13 diungkapkan: “Lalu muncullah orang-orang Farisi dan bersoal jawab dengan Yesus. Untuk mencobai Dia mereka meminta dari pada-Nya suatu tanda dari sorga. Maka mengeluhlah Ia dalam hati-Nya dan berkata: ‘Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.’ Ia meninggalkan mereka; Ia naik pula ke perahu dan bertolak ke seberang.”

Untuk alasan yang sama barangkali kita dapat mengerti mengapa Yesus tidak menghiraukan sama sekali keinginan Herodes yakni pada saat Yesus ditangkap dan diinterogasi menjelang penyaliban-Nya. Lukas 23: 8-12 menceritakan: “Ketika Herodes melihat Yesus, ia sangat girang. Sebab sudah lama ia ingin melihat-Nya, karena ia sering mendengar tentang Dia, lagipula ia mengharapkan melihat bagaimana Yesus mengadakan suatu tanda. Ia mengajukan banyak pertanyaan kepada Yesus, tetapi Yesus tidak memberi jawaban apa pun. Sementara itu imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat maju ke depan dan melontarkan tuduhan-tuduhan yang berat terhadap Dia. Maka mulailah Herodes dan pasukannya menista dan mengolok-olokkan Dia, ia mengenakan jubah kebesaran kepada-Nya lalu mengirim Dia kembali kepada Pilatus. Dan pada hari itu juga bersahabatlah Herodes dan Pilatus; sebelum itu mereka bermusuhan.”

Sungguh berbeda keadaannya jika yang bertanya adalah orang yang berkenan kepada Yesus. Dalam Lukas 7: 18-23 dikisahkan bagaimana Yesus menanggapi secara positif permintaan Yohanes Pembaptis: “Ketika Yohanes mendapat kabar tentang segala peristiwa itu dari murid-muridnya, ia memanggil dua orang dari antaranya dan menyuruh mereka bertanya kepada Tuhan: ‘Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?’ Ketika kedua orang itu sampai kepada Yesus, mereka berkata: ‘Yohanes Pembaptis menyuruh kami bertanya kepada-Mu: Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain?’ Pada saat itu Yesus menyembuhkan banyak orang dari segala penyakit dan penderitaan dan dari roh-roh jahat, dan Ia mengaruniakan penglihatan kepada banyak orang buta. Dan Yesus menjawab mereka: ‘Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak aku.’”

De facto, Yesus memang membuat dan memberikan banyak tanda. Dalam pesta perkawinan di Kana, Yesus membuat tanda-Nya yang pertama: mengubah air menjadi anggur. Yohanes 2: 1-11 mencatat: “Pada hari ketiga ada perkawinan di Kana yang di Galilea, dan ibu Yesus ada di situ; Yesus dan murid-murid-Nya diundang juga ke perkawinan itu…….Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya.”

Setelah peristiwa Kana, dalam penampakan, pelayanan dan pengajaran-Nya di hadapan publik, Yesus kemudian telah terus-menerus membuat tanda-tanda lainnya. Dalam penutupan Injilnya, Yohanes 20: 30-31 mengatakan: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-muridnya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”

 

  1. Problem tentang “Tanda

 

Kita telah berkali-kali mendengar tentang “tanda”. Orang-orang Farisi dan Saduki meminta “tanda dari sorga”. Yesus menyebut tentang “rupa langit dan bumi” dan “tanda-tanda zaman”. Yohanes bertutur tentang “tanda yang dibuat Yesus di depan mata para murid-Nya”.

Tapi, apa itu “tanda”? Sampai di sini, terasa, tidaklah selalu jelas apa sebenarnya yang dapat kita mengerti dari satu kata itu: tanda. Maka, mungkin ada baiknya jika kita terlebih dahulu sedikit memperjelas pengertian kita mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “tanda”.

Lalu, kita akan mencoba melihat tanda apa saja yang pernah dibuat oleh Yesus historis. Setelah itu, kita akan mencoba menafsirkan apa yang bisa kita pahami dari tanda(-tanda) yang dibuat oleh Yesus.

 

2.1. Ilmu tentang “Tanda”

 

Dalam khazanah ilmu-ilmu modern, Semiotika dan/atau Semiologi adalah ilmu yang secara khusus mempelajari mengenai apa yang disebut sebagai “tanda”.

Pada kenyataannya, pengertian tentang “tanda” itu bisa luar biasa rumit dan sangat berseluk-beluk. Penjelasan atasnya juga dapat meminta ruang yang sedemikian besarnya. Tapi dalam tulisan ini hanya akan disampaikan beberapa hal yang paling pokok dan mendasar dari apa yang biasa disebut “tanda” itu.

 

2.2. Perhatian pada Semiotika

 

Semiotika merupakan salah satu pendekatan yang sedang diminati oleh para ahli sastra dewasa ini, tidak terkecuali para peminat sastra di Indonesia. Akhir-akhir ini semakin banyak diterbitkan tulisan yang menggunakan model dan konsep dari semiotika. Sementara itu, di Indonesia –seperti juga di bagian dunia lainnya—banyak orang belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan “semiotika”.

Semiotika adalah ilmu tanda; istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles Sanders Peirce, menegaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.

Walaupun dua ribu tahun yang lalu para ahli filsafat Yunani sekali-sekali sudah memikirkan fungsi tanda dan di dalam filsafat Yunani Abad Pertengahan pengertian serta penggunaan tanda telah disinggung-singgung, istilah semiotika sendiri baru digunakan pada abad XVIII oleh Lambert –seorang ahli filsafat Jerman. Orang baru memikirkan secara sistematis tentang penggunaan tanda dan ramai membahasnya dalam abad XX ini. Misalnya Roland Barthes membahasnya di dalam bukunya Elements de Semiologie (1953), L.J. Prieto di dalam bukunya Messages et Signaux (1966), J. Kristeva di dalam Semeiotike (1969), G. Mounin di dalam buku Introduction a la Semiologie (1970). Umberto Eco pada tahun 1976 telah menerbitkan bukunya yang berjudul A Theory of Semiotics yang antara lain memuat pemikirannya tentang batas-batas penelitian semiotika. Bahkan, Ch.S. Peirce telah lebih dahulu mengetengahkan teorinya tentang semiotika, yaitu pada tahun 1931.

Bidang ini kemudian menjadi lahan yang subur, dan bermunculanlah berbagai tulisan tentang semiotika seperti tulisan Ch. Morris Writings on the General Theory of Signs (1971), R. Jakobson “Coup d’Oeil sur le Developpement de la Semiotique” (1975), dan T.A. Sebeok Contributions to the Doctrine of Signs (1977).

Di antara sekian banyak pakar tentang semiotika ada dua orang yang patut disebutkan secara khusus dalam hubungannya dengan kelahiran semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce dan Ferdinand de Saussure. Keduanya hidup sezaman, tetapi berada di belahan bumi yang berlainan, tidak kenal-mengenal, dan mendasarkan teori masing-masing pada landasan yang berbeda: Peirce sebagai ahli filsafat dan ahli logika lebih memusatkan perhatiannya pada pertanyaan “Bagaimana kita bernalar?”. Dia merancang semiotika sebagai teori yang baru sama sekali, dengan konsep-konsep yang baru dan tipologi yang sangat rinci. Gagasan dan juga terminologinya sangat baru dan sangat sukar dipahami sehingga baru bertahun-tahun kemudian mendapat perhatian dari para ilmuwan. Sekarang keadaan sudah banyak berubah: gagasan Peirce mulai dikenal di seluruh dunia. Saussure adalah seorang ahli linguistik, bahkan dianggap Bapak Linguistik Modern. Pertanyaan yang mengganggu Saussure adalah “Apakah sebenarnya bahasa itu?” Baginya bahasa adalah sistem tanda dan ia merancang teori yang canggih dengan konsep-konsep yang terapan. Saussure menyadari bahwa sistem tanda yang disebut bahasa itu hanyalah satu di antara sekian banyak sistem tanda yang ada. Di dalam satu kalimat ia melancarkan gagasan bahwa pada suatu ketika harus ada satu teori tentang tanda yang mencakup semua sistem itu, dan ia mengusulkan menyebut teori itu “semiologi”.

Jadi, berbeda dengan Peirce, Saussure sendiri tidak pernah menyusun teori umum tentang tanda. Itu dilakukan oleh ilmuwan yang diilhami oleh gagasan dan teori Saussure seperti –misalnya— Roland Barthes.

Jelaslah sekarang bahwa di dalam semiotika modern ada dua aliran utama: yang satu terutama menggunakan konsep Peirce dan yang lain menggunakan konsep Saussure. Pemahaman dan gagasan-gagasan Peirce dan Saussure merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memperoleh pengetahuan yang mendasar tentang semiotika. Di samping itu, juga perlu dikenal gagasan Jakobson yang memainkan peran penting di dalam semiotika yang berkembang dari formalisme dan strukturalisme. (Aart van Zoest, 1992)

 

  1. Semiotika, Tanda dan Maknanya

 

3.1. Bapak Semiotika Modern

 

Semiotika Modern mempunyai dua orang bapak: yang satu Charles Sanders Peirce (1839-1914), yang lain Ferdinand de Saussure (1857-1913). Mereka tidaklah saling mengenal.

Kenyataan bahwa mereka tidak saling mengenal menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan yang penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep, antara hasil karya para ahli semiotika yang berkiblat pada Peirce di satu pihak dan hasil karya para pengikut Saussure di pihak yang lain. Ketidaksamaan itu mungkin terutama disebabkan oleh perbedaan yang mendasar. Peirce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan Saussure adalah cikal bakal linguistik umum.

Peirce mengusulkan kata semiotika (yang sebenarnya telah digunakan oleh ahli filsafat Jerman Lambert pada abad XVIII) sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda; di antaranya tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat yang penting, meskipun bukan yang utama, pada tanda-tanda linguistik. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya, berlaku pula bagi tanda linguistik, dan tidak sebaliknya.

Sebaliknya, Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Sebagai sekadar tambahan, ia menyatakan bahwa teori tentang tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori yang lebih umum, dan untuk hal ini ia mengusulkan nama semiologi. (Jadi, tak ada perbedaan penting antara arti kata semiotika dan semiologi. Paling-paling keduanya mengacu pada orientasi yang berbeda. Penggunaan kata semiologi menunjukkan pengaruh kubu Saussure). Ketika para pengikut Saussure secara bertahap menyusun teori semiotika umum yang telah diramalkan kehadirannya oleh Saussure, mereka mengambil model linguistik. Hal ini tidak hanya karena Saussurelah yang telah mengilhami mereka, tetapi juga karena pada waktu mereka mengerjakan teori, linguistik telah berkembang dengan pesatnya. Baik secara implisit maupun secara eksplisit, para ahli semiotika yang berkiblat pada Saussure menganggap bahwa tanda-tanda linguistik mempunyai kelebihan dari semiotika lainnya.

Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat, ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut di dalam tulisan yang tersebar dalam berbagai teks dan dikumpulkan dua puluh lima tahun sesudah kematiannya dalam Oeuvres Completes (Karya Lengkap). Teks-teks tersebut mengandung pengulangan dan pembetulan; menjadi tugas kaum semiotika Peirce-lah untuk menemukan koherensinya dan menyaring hal-hal yang penting.

Peirce menghendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pada segala macam tanda. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia memerlukan konsep-konsep baru. Untuk melengkapi konsep itu, ia menciptakan kata-kata baru yang ditemukannya sendiri. Dari penggunaan kata-kata inilah ahli semiotika dari kubu Peirce dapat dikenali.

Ahli semiotika dari kubu Saussure menggunakan kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik. Pada masa sesudah Saussure, teori linguistik yang paling banyak menandai studi semiotik adalah teori Hjelmslev, seorang strukturalis Denmark. Pengaruh itu tampak terutama dalam “semiologi komunikasi” (Prieto, Buyssens, Mounin). Teori ini merupakan pendekatan kaum semiotika yang hanya memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud (signal), yang digunakan dengan sadar oleh mereka yang mengirimkannya (si pengirim) dan mereka yang menerimanya (si penerima). Sistem semiotik dari rambu-rambu lalu-lintas memberikan suatu contoh penggunaan tanda-tanda seperti ini; sistem ini menjadi objek studi semiologi tanda yang termasuk jenis ini. Pengaruh Hjelmslev terlihat lagi dalam penelitian mereka yang menaruh perhatian pada tanda-tanda tanpa maksud (yang berupa symptom) yang sering dihasilkan oleh pengirim tanpa disadarinya. Para ahli semiotika ini tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang jug dipunyai tanda itu. Roland Barthes adalah pemuka yang paling terkenal dari aliran semiotika ini, yang dapat disebut aliran “semiotika konotasi”. Pada penggunaan konsep linguistik ditambahkan penggunaan konsep psikoanalisis (aliran Freud) atau sosiologis (marxis) dalam kerja kaum semiotika yang cenderung untuk memberikan pada disiplin mereka suatu tempat yang tinggi dan sentral, yaitu tempat yang biasanya diduduki oleh filsafat. Pemuka yang paling dikenal dari aliran semiotika ini, yang bisa disebut “semiotika ekspansionis”, adalah Julia Kristeva. Aliran semiotika ini telah menggunakan juga pengertian yang diambil dari linguistik modern aliran Chomsky.

Jadi, di Prancis terutama pengaruh Saussure-lah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Peirce kurang dikenal di sana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan beberapa peneliti tertentu telah tertarik pada gagasan-gagasan yang ada di dalamnya. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa gagasan-gagasan ini belum mendapat perhatian yang sepantasnya di Prancis. Pemikiran teoritis dari Rene Thom tentang asal simbolisme merupakan pengecualian yang menarik. Namun, gagasan ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan teori kesusastraan. Lagi pula, di negerinya sendiri pun konsepsi Peirce ini terlambat dikenal orang. Sedikit sekali tulisan-tulisannya yang telah diterbitkan semasa hidupnya, dan yang telah diterbitkan pun kurang menarik perhatian. Baru setelah penerbitan anumerta Oeuvres Completes (Karya Lengkap), kemudian penyebarluasan oleh Charles Morris dengan tujuan melihat kemungkinan-kemungkinan penggunaan secara ilmiah, teori semiotika aliran Peirce ini menjanjikan harapan-harapan.

Dalam penyebarluasan itu, teori Peirce telah mengalami banyak perubahan. Misalnya, dalam keinginannya untuk membangun semiotika behavioris, Morris telah mencampurkan konsep-konsep yang dibuatnya sendiri ke dalam konsep-konsep Peirce (jadi ke dalam istilah-istilah yang sudah cukup sukar), yang justru tidak menunjang keberhsilan usahanya. Konsep Peirce telah diperkenalkan di Eropa oleh Max Bense (Republik Federasi Jerman) yang menggunakannya dalam penelitian estetika dan analisis tekstual. Keberhasilannya masih sangat relatif karena hasil karya Bense tetap terisolasi dari hasil karya teman-teman sejawatnya: pekerjaan Bense dan para pengikutnya tetap terbatas dalam kerja klasifikasi yang cukup steril (tipologi semiotika Peirce yang sangat rinci memang dengan mudah dapat membawa pada semacam keadaan mabuk taksonomi) atau semata-mata terbatas pada penggantian terminologi linguistik tradisional oleh terminologi Peirce. Terminologi Peirce ini terintegrasi secara lebih efektif dalam pemikiran Georg Klaus (Republik Demokrasi Jerman), ahli semiotika yang berorientasi marxis.

Di Eropa, suksesnya pemikiran semiotik Peirce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco (1972) dan Eco (1976), kemungkinan penggunaan konsep-konsep Peirce untuk penelitian di berbagai bidang –arsitektur, musik, teater, iklan, kebudayaan, dan lain-lain— dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.

Sayang, ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang tekenal tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi yang telah ditulis Peirce pada masa itu. Jakobson (1966) telah menyatakan sebagai berikut: “Catatan tentang semiotika yang telah ditumpahkan Peirce di atas kertas selama setengah abad, penting dari segi sejarah, dan apabila sebahagian dari catatan-catatan tersebut tetap tidak diterbitkan sampai tahun 1930 dan tahun-tahun berikutnya, atau apabila paling tidak karya-karyanya yang diterbitkan telah dikenal oleh para ahli bahasa, penelitian-penelitian ini tentunya akan memberi pengaruh yang khas pada perkembangan internasional teori linguistik.” Mounin (1970) menulis: “Yang seharusnya kita dapatkan pada Peirce, bukan sebuah artikel modern yang terdiri dari dua puluh halaman yang mau tak mau harus ditulis, melainkan sebuah karya yang betul-betul merupakan suatu pendahuluan bila kita membacanya sungguh-sungguh.” (Aart van Zoest, 1992)

 

3.2. Batas-batas Wilayah Semiotika

 

Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Apabila studi tentang tanda ini berpusat pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lain, pada caranya bekerja sama dalam menjalankan fungsinya, itu adalah kerja dalam sintaks semiotik. Apabila studi ini menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantik semiotik. Apabila studi tentang tanda ini mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimanya, itu adalah kerja pragmatik semiotik.

Sebaiknya, suatu studi semiotika –dengan fenomena apa pun— dimulai dengan penjelasan sintaksis, kemudian dilanjutkan dengan penelitian dari segi semantik dan pragmatik. Tidaklah baik mempermasalahkan penelitian segi sintaksis –seperti yang telah dilakukan oleh kaum strukturalis— sebagai suatu penelitian yang terlalu “reduksionis”. Jenis pekerjaan seperti ini merupakan persiapan untuk pemikiran lebih lanjut. Akan tetapi, juga kurang baik membatasi diri pada sintaks semiotik karena penelitian semiotik pada akhirnya harus berlanjut hingga semantik dan pragmatik; tanpa ketiga segi ini penelitian akan tetap tak membuahkan hasil dan tidak benar-benar menarik perhatian. (Aart van Zoest, 1992)

 

3.3. Tanda

 

Segala sesuatu bisa menjadi tanda. Asap, awan mendung, tanah becek, kokok ayam, nyanyian burung, kata/ucapan seseorang, khotbah seorang pastor, ajaran seorang guru kebijaksanaan, peristiwa, foto, rambu lalu-lintas, konsep-konsep abstrak (kesepian, kesetiaan, kecerdasan, dll), gerak isyarat: segala sesuatu yang bisa ditangkap dan diimajinasikan manusia dapat menjadi tanda.

Kalau boleh dikatakan secara ringkas, tanda adalah sesuatu yang membuat kita berpikir ke arah tertentu. Asap adalah tanda adanya api. Tanah yang becek adalah tanda bahwa semalam telah turun hujan. Rambu penunjuk jalan adalah tanda yang mengarahkan kita ke tujuan tertentu.

Yesus menyebut tentang “rupa langit dan bumi” dan “tanda-tanda zaman”. Umberto Eco bicara tentang “ranah budaya”, “ranah alam” dan “ranah epistemologis”. Maka, sekurang-kurangnya, kita dapat bicara tentang “tanda alamiah” dan “tanda sosial/budaya”. Tanda alamiah adalah tanda yang dipancarkan oleh alam semesta, seperti kepulan asap, gumpalan awan mendung, dan tanah becek. Sementara tanda sosial/budaya adalah tanda yang diproduksi oleh manusia.

Untuk Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia juga menyebutnya representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, yang ditunjuknya, disebut oleh Peirce dalam bahasa Inggris object. Juga digunakan kata designatum atau denotatum (denotatum adalah kelas penunjuk). Pada masa kini dalam bahasa Prancis digunakan kata référent (dalam bahasa Indonesia “acuan”). Jadi, suatu tanda mengacu pada suatu acuan, dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Lagi pula, representasi itu dapat terlaksana berkat bantuan sesuatu; misalnya berkat bantuan suatu kode. Tanda-tanda lalu-lintas hanya dapat dimengerti oleh orang yang mengenal sistem rambu-rambu lalu-lintas. “Sesuatu” yang digunakan agar tanda dapat berfungsi oleh Peirce disebut dalam bahasa Inggris ground. Sering kali ground suatu tanda merupakan kode; namun, tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan; kode ini bersifat transindividual (melampaui batas individu). Akan tetapi, banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual. Selain itu, tanda diinterpretasikan. Ini berarti bahwa setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant tidak boleh dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang menunjuk pada penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan intepretant-nya.

Kata table (meja), dalam kalimat “Mettez ce livre sur la table” (Taruhlah buku ini di atas meja), dapat menjelaskan apa yang telah diuraikan di muka. Kata ini hanya akan diakui sebagai tanda oleh orang yang bisa membaca, tambahan pula mengerti bahasa Prancis. Jadi, bahasa itu adalah ground, dalam hal ini suatu kode, suatu kesatuan konvensi, peraturan. Berkat hal-hal tersebut, orang yang menggunakan tanda ini tahu apa yang diacunya dan bagaimana harus menginterpretasikannya. Bila kita akui bahwa kalimat yang dikutip tadi diucapkan dalam suatu situasi khusus, kata table mengacu pada obyek tertentu: sebuah meja. Meja itu adalah acuan dari suatu tanda. Apa arti kata itu –interpretant suatu tanda— dapat ditemukan dalam (kamus) Grand Robert: “Obyek yang bagian utamanya merupakan permukaan berbidang datar, dipakai untuk keperluan rumah tangga atau kehidupan sosial”.

Tentu saja ground dari suatu tanda tidak harus suatu kode transindividual, dan interpretant suatu tanda tidak selalu suatu tanda linguistik yang kompleks, sebuah kalimat dari Grand Robert.  Hubungan yang ada antara tanda dan ground-nya, antara tanda dan interpretant-nya, bermacam-macam. Ada tanda yang bertitik tolak dari ground yang sangat individual (pribadi), sedangkan interpretant-nya kabur, bukan bentuk kebahasaan.

Walaupun demikian, marilah kita memusatkan perhatian pada hubungan antara tanda dan acuannya. Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan; tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. (3) Akhirnya hubungan itu dapat pula merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol. Sebuah peta geografis dan sebuah potret adalah ikon. Sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah penunjuk angin adalah indeks. Anggukan kepala yang menandakan persetujuan dan tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.

Jadi, kata ‘table” yang telah kita jadikan contoh di atas, adalah simbol. Kata ini tidak mirip dengan obyek yang ditunjuknya, dan juga tidak mempunyai hubungan kedekatan dengan obyek tersebut. Hubungan antara kata dan bendanya berdasarkan konvensi.

Kata-kata dan unsur-unsur kebahasaan pada umumnya, pada prinsipnya semua merupakan simbol. Meskipun demikian, beberapa di antaranya mempunyai aspek ikon atau aspek indeks. Demikianlah, kata coucou dengan cara tertentu mengemukakan suatu persamaan dengan burung yang diacu. Adapun kata-kata deiksis –seperti di sini, ini, sekarang— berfungsi dalam hubungan kedekatan dengan apa yang diacunya. Konstatasi ini menunjukkan bahwa perbedaan antara ikon, indeks, dan simbol tak akan dapat dinyatakan dengan kejelasan yang mutlak. Kata coucou pada prinsipnya adalah sebuah simbol. Acuannya ditunjuk dalam bahasa Inggris dengan kata cuckoo, dalam bahasa Jerman dengan kuckuck. Penyhebutan yang berbeda ini berasal dari konvensi yang berbeda. Akan tetapi, dibandingkan dengan kata-kata yang sma sekali tidak mempunyai hubungan kemiripan dengan acuan yang ditunjuknya, kata coucou, cuckoo, dan kuckuck dapat dianggap sebagai tanda ikon. Ikonisitas kata-kata ini adalah masalah penonjolan, yaitu penonjolan aspek kemiripan. Penalaran yang sama dapat digunakan untuk kata-kata deiksis untuk menjelaskan bahwa kata-kata ini merupakan indeks. Untuk Peirce, dari ketiga tipe semiotika yang telah disebutkan, tanda ikonlah yang paling utama. Ini disebabkan semua yang diperlihatkan oleh realitas kepada kita tampaknya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai tanda, baik itu merupakan obyek konkret maupun suatu abstraksi. Rumah, peristiwa, struktur, gerakan tangan, teriakan, kesepian, semuanya mungkin merupakan tanda atau menjadi tanda, dengan syarat mengacu pada sesuatu yang lain. Namun, hal itu hanya mungkin apabila suatu hubungan dapat terjadi antara yang hadir (tanda) dan yang tak hadir (acuannya). Hubungan itu harus merupakan hubungan kemiripan karena tanda dan yang mungkin menjadi acuannya itu  mempunyai sesuatu yang sama. Bila antara tanda dan acuannya tidak ada kemiripan dalam bentuk apa pun, tak dapat terjadi hubungan yang representatif. Pada asalnya, semua pemaknaan tidak dibuat secara arbitrer. Berkat persamaanlah maka rumah yang dihias dengan mewah menunjukkan kekayaan orang yang mendiaminya. Berkat persamaan ini pula maka suasana sepi, tiadanya kontak dan tiadanya komunikasi, dapat menunjukkan tiadanya perhatian dari pihak lain (misalnya dering telepon yang tak kunjung tiba). Patut dicatat bahwa ikon yang murni tidak pernah ada. Ikonisitas selalu tercakup dalam indeksitas dan/atau dalam simbolitas. Apabila orang mengatakan bahwa tanda itu suatu ikon, perlu dipahami bahwa tanda itu mengandung penonjolan ikon; suatu tanda yang, apabila dibandingkan dengan tanda-tanda lain yang muncul dalam konteks, menunjukkan banyaknya ciri ikon.

Karena sifat-sifat dasarnya itulah maka di sini terutama akan dibahas soal ikon. Itu tidak berarti bahwa ikon merupakan tanda yang paling penting. Sukar untuk mengatakan tanda yang mana yang paling penting. Simbol pastilah merupakan tanda yang paling cangih; tanda-tanda ini terutama berfungsi dalam penalaran dan pemikiran. Indeks terutama merupakan tanda yang mempunyai jangkauan eksistensial: dalam kehidupan pun, suatu belaian (kedekatan!) lebih “berbicara” daripada simbol-simbol tertentu, kata-kata rayuan misalnya. Ikon adalah tanda-tanda yang mempunyai kekuatan “perayu” yang melebihi tanda lainnya. Itu sebabnya perhatian para ahli teori sastra tertuju pada hal ini: teks sastra, dan secara lebih umum, teks-teks persuasif yang menggunakan cara-cara sastra (teks iklan, politik, dan lain-lain, dengan retorikanya yang khas), kaya dengan tanda-tanda ikon.

Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa simbolisitas tidak memegang peranan penting dalam teks-teks sastra. Justru sebaliknyalah. Soal-soal yang berkaitan dengan struktur argumentatif suatu teks sastra (suatu argumen, menurut istilah Peirce, adalah interpretant suatu simbol) perlu diteliti secara mendalam. Untuk keperluan ini, linguistik tekstual memberikan alat-alat konseptual yang pertama. Persoalan mengenai indeksitas suatu teks membawa kita pada masalah lain, seperti masalah ketegangan antara fiksi dan non-fiksi, antara realita fiktif dan –katakanlah— realita sejarah. Dalam penelitian seperti ini, konsep Peirce tentunya dapat berguna. Namun, kalau kita ingin menunjukkan bagaimana semiotika Peirce dapat memberikan sumbangannya pada penelitian tentang sifat puitis dan efisiennya suatu teks sastra, tampaknya metode yang baik pertama-tama adalah menunjukkan kemungkinan-kemungkinan penerapan konsep ikonisitas. (Aart van Zoest, 1992)

 

Tapi, bagaimanakah sebuah entitas penandaan dapat memancarkan maknanya untuk kemudian ditangkap dan dipahami oleh penerima tanda itu? Dalam esai yang ditulisnya, yang berjudul “Peranan Konteks, Kebudayaan, dan Ideologi di Dalam Semiotika”, Aart van Zoest (1992) berupaya menjawab persoalan tersebut. Dalam bagian pertama tulisannya itu van Zoest bicara tentang “Penggolongan Lambang-Lambang dalam Hubungan dengan Interpretan Mereka”. Demikian dijelaskannya:

 

  • Di dalam tipologi lambang dari Peirce, lambang itu disebut rheme bilamana lambang itu terhadap interpretannya adalah sebuah first. Ini berarti bahwa lambang itu tidak lebih dari suatu kemungkinan untuk interpretasi. Sebuah huruf yang tersendiri merupakan sebuah rheme, dan sering sebuah kata yang tersendiri juga tidak lebih dari sebuah rheme; kata itu baru akan mendapat artinya yang benar bilamana kata itu diberi tempatnya di antara kata-kata lain. Huruf yang tersendiri merupakan sebuah kemungkinan untuk interpretasi lebih lanjut, semacam atom yang menyusun molekul-molekul yang berarti. “b” adalah sebuah huruf –jadi, sebuah lambang—; ia hanya membentuk kombinasi dengan huruf-huruf lain. Hal yang sama berlaku untuk huruf-huruf “a”, “r”, “u”. Bersama-sama mereka membentuk kata “baru”, dan jelaslah bahwa dengan demikian kita lalu berurusan dengan sebuah kemungkinan yang jauh lebih besar. Arti itu sudah tiba dekat pada perbatasan antara interpretasi yang mungkin dan interpretasi yang sebenarnya. Namun, selama kata “baru” berdiri sendiri, kata itu masih tetap merupakan sebuah rheme. Rheme itu harus mendapat tempatnya dalam hubungan dengan kata-kata lain dan dalam kombinasi itu rheme tersebut berubah dari lambang yang potensial menjadi lambang yang nyata. “Baru” berarti sesuatu yang nyata bilamana kata itu berada di dalam kalimat singkat “Ini bir baru”, dan kata itu juga baru mempunyai arti yang benar bilamana kata itu termasuk di dalam kalimat singkat “Ini baru bir”. Jadi, sebuah rheme adalah sebuah lambang yang sedang membentuk suatu embrio semiotik. Sebuah rheme seakan-akan merupakan sebuah lambang yang sedang tidur, yang sedang menunggu untuk dibangunkan. Sebuah rheme terletak dalam bidang firstness, siap untuk dibawa ke bidang secondness, dunia hal-hal yang benar-benar ada.

 

Semua mahluk yang menginterpretasi, jadi kita semua, mengenal rheme itu dari kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita melihat hal-hal yang membuat kita berpikir: ini berarti sesuatu, tetapi apa? Tetangga kita berjalan lewat dan dia tidak memberi salam. Apakah yang harus kita simpulkan tentang hal ini? Sebuah rheme. Mungkin kita tidak akan pernah mengerti bagaimana hal itu harus diinterpretasikan. Mungkin juga kemudian kita akan mendapat lambang-lambang lain, yang dapat dihubungkan dengan lambang yang sedang membentuk first ini. Kita kemudian mendengar bahwa tetangga kita tadi itu mengalami kesusahan, dan waktu itu dia mungkin sedang memikirkan sesuatu. Atau kita mendengar bahwa kita telah menghina tetangga itu tanpa kita mengetahuinya: tetangga itu dengan sengaja tidak mengucapkan salam kepada kita untuk menunjukkan ketidaksenangannya itu. Demikianlah lambang rhematis itu memasuki daerah secondness dan dapat memperoleh suatu interpretasi yang benar.

 

  • Bilamana antara lambang itu dan interpretannya terdapat suatu hubungan yang benar, maka lambang itu merupakan suatu second, yaitu sesuatu yang termasuk dunia yang ada. Secara semiotik itu berarti bahwa lambang itu dapat diberi arti yang langsung oleh hubungan yang dapat dibuat antara lambang itu dan arti yang menjadi miliknya. Peirce telah menyebut tipe lambang ini dengan nama dicent sign dan juga dicisign. Dia juga menyebutnya proposition dan kata itu memperlihatkan bahwa dia terutama adalah seorang ahli logika. Bukanlah ide yang terlalu aneh untuk menggunakan kata proposition itu karena kalimat-kalimat singkat benar-benar merupakan contoh-contoh yang baik untuk proposition. “Hari ini hujan” adalah suatu proposition yang benar karena itu adalah suatu lambang yang dapat dikonfrontasi dengan suatu kenyataan. Tidak ada keslahpahaman mengenai interpretasinya. Pada proposition yang demikian dapat dikenakan sutu tes ekstern untuk mendeteksi kebenarannya.

 

Kadang-kadang kata-kata yang berdiri sendiri juga merupakan proposition. MiIsalnya kata “stop”, yang dapat kita temukan di tepi jalan pada rambu lalu-lintas. “Stop” ini adalah sebuah bentuk elips untuk “Di sini Anda harus stop (berhenti)”. Kata itu sendiri adalah proposition. Dengan cara yang sama, gerak-isyarat anggota badan yang jelas sekali atau ekspresi muka yang sudah menjadi adat dapat juga merupakan proposition. Kening yang dikerutkan berarti “saya marah”. Mengangkat kening berarti “Benarkah yang kaukatakan padaku?”

 

  • Jika proposition membentuk suatu kesatuan yang bersangkut-paut, bilamana berkat adanya suatu “hukum” (itulah kata yang digunakan Peirce: “law”) mereka menunjukkan adanya hubungan antara yang satu dan yang lain, maka mereka bersama membentuk sebuah argument. “Hukum” itu, peraturan yang sering tersirat tanpa dapat dilihat, mempunyai nama yang sering bagus di dalam logika: leading principle. Mungkin orang dapat memberikan kepada leading principle itu sesuatu yang boleh dikatakan nilai moral. Bilamana seseorang mengumpulkan lambang-lambang menurut suatu leading principle, maka ia menginterpretasi “baik”, “jujur”, “wajar”. Bilamana seseorang mengumpulkan tiga proposition sebagai berikut: “Semua orang akan mati, peciku miring di atas kepalaku, besok akan hujan”, maka kesimpulannya hanya dapat kita hargai (appreciate) sedikit. Akan tetapi, bilamana kita mendengar “semua manusia akan mati, Socrates adalah seorang manusia, Socrates akan mati”, maka di sini telah digunakan akal sehat, dan telah disimpulkan (diinterpretasi) sesuatu dengan baik.

 

Kita dapat menganggap bahwa jika rheme seakan-akan cenderung berkembang menjadi proposition, proposition pula cenderung untuk bersama-sama bergabung menjadi lambang-lambang yang telah berkembang lebih tinggi. Bagi Peirce, lambang-lambang adalah terutama hal-hal yang tumbuh. Ia terutama tertarik oleh cara argument terjadi.

Kita boleh menganggap bahwa tiap proses lambang dan tiap penggunaan lambang mempunyai kecenderungan untuk beralih ke proses pembentukan lambang super yang mempunyai derajat koherensi yang setinggi mungkin. Soal tetangga tadi tidak memberi salam akan kita hubungkan dengan tingkah laku lain, dan oleh suatu penggabungan proposition kita sampai pada sebuah kesimpulan (interpretasi): “Tetangga itu adalah orang yang brengsek”, atau “Tetangga itu orang yang baik.”

Sebuah contoh yang bagus untuk penyusunan argument adalah juga proses menginterpretasi yang terjadi pada waktu kita membaca sebuah roman. Kata-kata dan kalimat-kalimat itu membawa kita ke secondness: suatu kenyataan yang dapat kita bandingkan dengan kenyataan di luar kesusastraan sebagaimana yang kita kenal melalui pengalaman hidup atau melalui bacaan-bacaan kita. Proposition itu menggabungkan diri dan membentuk argument-argument yang lebih kecil: alinea, urutan, dan akhirnya juga sampai pada motif, yaitu acuan-acuan kongkret yang berulang-ulang mengacu kepada kenyataan. Akan tetapi, semua itu membiarkan dirinya menyatu menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Argument-argument yang mewakili suatu abstraksi (kematian, cinta, dukacita, frustasi, nafsu, dsb.), suatu abstraksi yang dapat disimpulkan dari motif-motif. Argument yang besar itu adalah tema dan orang dapat mengatakan bahwa pembaca roman yang cerdas baru melakukan tugasnya menginterpretasi dengan baik bilamana ia telah menemukan tema di dalam sebuah roman. Pada saat itu ia telah beralih dari secondness ke thirdness, bidang kekuasaan dari “hukum” atau leading principle itu.

Percobaan untuk mengetahui kebenaran proposition itu adalah ekstern; karena itu, relatif sederhana dan dapat diselidiki kebenarannya. Hari ini hujan atau hari ini tidak hujan. Sudah cukup dengan melihat keluar dari jendela untuk mengetahui: benar atau tidak benar. Akan tetapi, norma untuk kebenaran argument itu adalah intern dan itu membuat percobaan untuk mengetahui kebenaran jauh lebih sulit. “Udara kelabu, saya merasa sakit di belulang kaki saya, besok akan hujan”: apakah benar atau tidak benar? Apakah tema roman baru ini? Cinta yang tidak berbahagia, keinginan mati, kembali untuk selama-lamanya, penyerahan diri kepada nasib buruk? Kemudian kita mulailah berdiskusi, masing-masing dengan leading principle kita sendiri, dan kita mengatakan tentang orang yang lain bahwa dia salah menginterpretasi, mungkin dia tidak mengerti apa pun tentang hal itu. Kita dapat sependapat mengenai fakta-fakta, tetapi belum tentu sependapat mengenai interpretasi yang mendasar karena pembentukan argument jauh lebih kompleks dan rumit.

Pada bagian kedua dari esainya Aart van Zoest mengulas tentang “Peranan Konteks dalam Interpretasi”: Konteks adalah lingkungan semiotis. Dalam hal ini kita pertama-tama haruslah mengingat lingkungan semiotik dari rheme. Konteks adalah hal yang mengangkat lambang rhematis di atas status kemungkinannya. Demikianlah huruf-huruf “a” dan “r” dan “u” dalam instansi pertama adalah konteks linguistis untuk huruf “b” dari “baru”. Hal yang sama berlaku untuk huruf-huruf “b”, “r”, dan “u” terhadap huruf “a”, dan seterusnya. Dengan demikian kata-kata “ini” dan “bir” juga merupakan konteks untuk “baru”. Akan tetapi, unsur yang paling penting di dalam konteks adalah hal penyusunan kata-kata seperti di dalam slogan reklame: “Ini bir baru, ini baru bir”. Baru dengan bantuan unsur-unsur kontekstual ini arti kata “baru” dapat ditentukan dalam kedua hal itu.

Dengan cara yang sama maka proposition diangkat di atas status secondness mereka bilamana mereka digabung dengan konteks atau proposition lain. Bersama-sama mereka lalu membentuk argument.

Konteks dapat verbal dan non-verbal, linguistis dan non-linguistis. Dapat terjadi bahwa konteks linguistis sudah mencukupi untuk mencapai interpretasi yang baik dari sebuah kata. Dalam bukunya Het land van Rembrandt, Busken Huet menyebut sang pelukis Rembrandt “de knapste Nederlader die ooit heft geleefd”. Bagaimana kita harus menerjemahkan ini? Kata bahasa Belanda “knap” adalah polisemis. Kata ini berarti “intelligent” (cerdas), tetapi juga “mooi” (bagus, cantik). Apakah Huet menganggap teman senegerinya Rembrandt seoerang yang cerdas atau yang cantik? Saya kira kebanyakan di antara kita (apakah barangkali saya keliru?) langsung berpikir bahwa “cerdas” yang dimaksudkan karena bukankah Rembrandt seorang pria? “Een knappe man”, ini pastilah seorang pria yang cerdas. Adapun “een knape vrouw”, pastilah seorang wanita yang cantik. Mengapa sebenarnya demikian? Kaqrena kita penuh dengan prasangka, karena kita telah dibiasakan oleh kebiasaan-kebiasaan semiotik yang terdapat di dalam kelompok-kelompok, di dalam masyarakat-masyarakat tertentu.

Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan apakah yang dimaksudkan Huet, “cerdas” atau “cantik”, kita dengan begitu saja dapat menuju ke konteks, dalam hal ini kalimat-kalimat yang berada di sekitarnya. Pemecahan yang sederhana. Dari kalimat-kalimat yang berdekatan kita mengetahui bahwa Huet berbicara mengenai wajah Rembrandt, tentang baretnya, mantelnya yang gagah. Jadi, bagi Huet, Rembrandt adalah orang Belanda yang paling tampan yang pernah hidup. Konteks itu mengajarkan ini pada kita, yaitu konteks linguistis.

Namun, soalnya tidak selalu semudah itu. Seseorang memberi salam pada Anda dan mengatakan sesuatu tentang sepatu baru yang anda beli. “Bagus sekali, lho!” Hm. Apakah ini memang pujian yang sungguh-sungguh? Ataukah ini ironi? Untuk mengetahui ini, kita harus sekali lagi ke konteks itu. Akan tetapi, mungkin di sini konteks verbal tidak membantu kita karena kalimat-kalimat di sekitarnya dapat juga sama manis seperti gula. Kadang-kadang sebuah unsure paralinguistis dapat membantu. Sebuah unsur paralinguistis adalah intonasi kalimat. Di dalam intonasi kalimat itu mungkin saja terdapat nuansa yang halus yang mengubah arti unsur linguistis murni itu dari positif menjadi negatif. Namun, seoerang yang ironis tetapi berbudi sangat halus lebih lagi menyembunyikan konteksnya, dan dalam hal itu kita mungkin harus memperhatikan apakah ada alis yang agak dinaikkan atau apakah ada mata yang berkedip-kedip: unsur-unsur non-verbal yang sukar dideteksi.

Syukurlah tidak selamanya sulit untuk menyusun konteks yang membantu kita sampai pada interpretasi yang tepat. Wajah yang ramah merupakan konteks bagi kata-kata yang ramah yang dapat diinterpretasi dengan mudah, sedangkan kata-kata di sekitar kata-kata itu membantu kita untuk menemukan interpretasi yang kita cari.

Konteks non-verbal yang dalam kesusastraan, terutama dalam kesusastraan dari masa yang lain, dari kebudayaan lain, memainkan peranan sangat penting adalah latar belakang sejarah-geografis yang tidak fiktif. Bagaimana orang dapat memahami karya tulis Voltaire jika orang tidak mengetahui sesuatu tentang negara Prancis abad kedelapan belas? Bagaimana orang dapat mengerti kehalusan cerita-cerita wayang jika orang tidak mengetahui sesuatu pun tentang kenyataan yang dimaksudkan di dalamnya? Hal ini menjelaskan betapa perlunya pada pengajaran kesusastraan diberikan bermacam-macam informasi mengenai negara dan bangsa; tanpa ini tidak mungkin diadakan interpretasi, atau hampir tidak mungkin menginterpretasi. Sementara itu, kesusastraan juga memberikan informasi yang demikian dan memberi jalan masuk ke hal-hal dalam alam pikiran yang semula asing bagi kita. Demikianlah terjadi suatu proses saling menguatkan: pengetahuan tentang konteks di luar kesusastraan menguatkan pengertian kita tentang kesusastraan, dan kesusastraan menguatkan pengetahuan kita tentang konteks di luar kesusastraan.

Pada bagian ketiga esainya, Aart van Zoest membahas tentang “Definisi Semiotik dari Kata ‘Kebudayaan’”: Secara semiotik, kebudayaan merupakan reaksi dari competence yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat untuk mengenal lambang-lambang, untuk menginterpretasi, dan untuk menghasilkan sesuatu. Kebudayaan dalam batasan itu akan mengejawantah terutama sebagai performance, sebagai suatu keseluruhan dari kebiasaan-kebiasaan tingkah laku dan hasil-hasil darinya. Demikianlah antropologi kebudayaan yang berorientasi pada sejarah menyibukkan diri dengan mempelajari hasil-hasil karya: pot-pot atau kapak-kapak yang ditemukan di dalam tanah, sedangkan kemudian antropologi kebudayaan yang tidak berorientasi pada sejarah memusatkan perhatian pada kebiasaan-kebiasaan dari bangsa-bangsa pada waktu melangsungkan perkawinan, pada waktu makan, atau pada waktu memberi bantuan kepada sesama.

Dengan definisi yang demikian, kita jauh dari suatu konsepsi tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang khusus, sesuatu yang berbudi halus, sesuatu yang mendekati “sangat beradab”, yang orang-orangnya menikmati Bach dan Monet. Itulah kebudayaan yang menempatkan dirinya berhadapan dengan alam, seperti jembatan sebagai suatu karya kebudayaan berhadapan dengan sungai buas yang dibentanginya.

Untuk ahli semiotika, kebudayaan Bach-Monet itu adalah suatu unsur yang telah mempunyai gaya indah di dalam sesuatu yang jauh lebih luas jangkauannya. Untuk ahli semiotika tidak pernah berlaku ucapan seperti “kelompok itu tidak mempunyai kebudayaan” atau sesuatu seperti itu; kalau ada sebuah kelompok, selalu ada kebudayaan.

Sangat menarik untuk bertanya pada diri kita sendiri mengapa ada kebudayaan. Jawaban atas pertanyaan ini sudah pasti harus dikaitkan dengan kekacauan yang luar biasa tentang lambang-lambang yang mungkin terkandung di dalam alam semesta dan dunia manusia, serta kebutuhannya untuk justru tidak membiarkan dirinya dikacaukan. Bersama dengan dunia, orang justru harus menciptakan semacam hubungan efisiensi. Kenyataan itu menjelma dalam bentuk kelimpahan kemungkinan interpretasi yang hampir tidak tertangani. Karena kita semua adalah homo semioticus, kita selalu mencoba memahami kelimpahan itu. Peirce telah menyebutkan hal ini dengan tepat: kita berusaha menentukan suatu kepercayaan.

Tugas semiotik ini tidak dibebankan kepada manusia seorang demi seorang: teman-teman senasib di sekelilingnya berada dalam keadaan yang sama dengan dia. Beberapa di antara mereka sudah sejak awal berada lebih dekat padanya daripada yang lain, anggota-anggota keluarganya, rekan setempat tinggal, senegara, semasyarakat.

Semua orang termasuk dalam kelompok-kelompok kebudayaan, bahkan termasuk dalam lebih dari satu kelompok. Semua orang yang berbicara bahasa yang sama termasuk kelompok kebudayaan yang sama. Umur, golongan sosial, pengutamaan budaya, kegiatan perkumpulan, partai politik, itu semua dan masih banyak lagi membuat garis-garis yang tampak atau yang tidak tampak di dalam suatu masyarakat dan di dalam batas-batas itu terdapat kesatuan-kesatuan kebudayaan.

Apa yang menentukan kesatuan kelompok-kelompok kebudayaan itu adalah kode-kode yang dimiliki bersama, peraturan-peraturan yang dijadikan dasar pemberian arti kepada hal-hal yang ada. Ada kode-kode untuk tingkah laku yang sopan, yang berbeda-beda menurut kelompok kebudayaannya. Di negara-negara seperti Prancis dan Indonesia, tingkah laku yang sopan merupakan lambang yang diliputi nilai positif: seseorang yang bertingkah laku sopan yakin bahwa ia akan dihargai. Di negeri Belanda terdapat banyak sekali kelompok kebudayaan yang menganggap tingkah laku sopan sebagai lambang yang negatif: ketidakjujuran, kemunafikan (pasti ada sesuatu yang diinginkan, mungkin orang itu mau meminjam uang atau sesuatu yang demikian).

Kode-kode yang dimiliki bersama di dalam kelompok kebudayaan membantu menginterpretasi sesuatu secara klise. Orang yang bertingkah laku begini atau begitu termasuk kelompok itu, orang yang tidak bertingkah laku begini atau begitu tidak dimasukkan dalam kelompok itu. Penginterpretasian secara klise terjadi karena adanya kebutuhan untuk agak mengurangi keruwetan yang berlimpah di dalam dunia lambang sampai menjadi lebih sederhana. Hal ini sendiri merupakan suatu tanda kelemahan, walaupun itu sebenarnya suatu gejala manusiawi yang umum. Demikianlah kita mengenal teman-teman kelompok kebuayaan kita pertama-tama dari bahasa yang kita gunakan bersama-sama, dan di dalamnya lagi dari aksen yang digunakan dalam berbicara (kita mengenali daerah, kita mengenali kelompok sosial). Di dalam batas kebudayaan itu kita merasa senang dan merasa aman karena terlindung di dalam konformisme; sementara itu, kita membedakan diri dari orang yang lain, yang lalu dengan seenaknya kita sebut orang biadab.

Di samping itu, ada bermacam-macam sistem lambang yang dipakai oleh kelompok-kelompok kebudayaan untuk membuat pembatasan-pembatasan. Pakaian adalah sistem yang terkenal. Kita berpakaian bukan saja karena pertimbangan-pertimbangan fungsional (perlindungan terhadap hawa dingin, penutupan kebugilan): pakaian kita adalah lambang, alat-alat semiotik; dengan pakaian kita menyatakan “Saya gagah sekali”, “Saya masih muda”, “Saya berasal dari Jawa Tengah”, “Saya wanita”, “Saya wanita modern”, “Saya wanita yang sangat menarik”, “Saya seorang tradisionalis”, “Saya kaya”, “Saya pengunjung disko”, “Saya jenderal, polisi, penjaga parkir, pramuka, wanita tukang pijit di pantai Bali”.

Selanjutnya, pada bagian keempat tulisannya, Aart van Zoest mengelaborasi “Jenis-jenis Kebenaran Dilihat secara Semiotik”: Kebenaran dari proposition bersifat ekstern. Itu berarti bahwa proposition dapat dihadapkan pada semacam tes empiris: “Hari ini hujan” dapat dibuktikan benar tidaknya dengan melihat ke luar. Proposition dapat diselidiki kebenarannya atau dapat dipalsukan secara ekstern, seperti yang telah dinyatakan oleh Popper. Hal ini berhubungan dengan tabiat secondness dari proposition, yang berhubungan erat dengan kenyataan di luar kita.

Untuk argument, hal ini lain sama sekali. Kebenaran dari argument adalah intern. Kebenaran itu semata-mata tergantung dari setia atau tidaknya kita berpegang pada leading principle yang telah kita pilih sendiri. Jika ada orang yang mengatakan “Saudara perempuan saya adalah seekor buaya” sebagai proposition, maka sebuah tes yang sederhana sudah cukup untuk menetapkan ketidakbenaran pernyataan ini. Akan tetapi, bagaimana kalau hal ini merupakan kesimpulan dari argument? Bagaimana kalau argument itu didahului hipotesis-hipotesis seperti ini: “Semua cicak adalah buaya” dan “Saudara perempuan saya seekor cicak”? Dalam hal itu maka “Saudara perempuan saya adalah seekor buaya” merupakan kesimpulan yang tepat, berdasarkan sebuah leading principle yang ditaati oleh orang yang menginterpretasi itu. Dia telah mengikuti suatu kebenaran yang intern, kebenarannya sendiri, walaupun dalam hal ini kebenaran itu sama sekali tidak masuk akal.

Syukurlah argument yang dihasilkan oleh manusia yang aktif secara semiotik jarang yang semustahil contoh di atas. Sering interpretasi itu kelihatannya tetap dekat dengan hasil interpretasi secara empiris pada tingkat proposition. Namun, sering juga terdapat perbedaan-perbedaan yang besar dalam menginterpretasi fakta-fakta, dan hal itu hampir selalu berkenaan dengan beberapa “kebenaran intern” yang berbeda-beda.

Kebenaran pribadi itu, kebenaran intern itu sering merupakan masalah pribadi, tetapi lebih sering adalah masalah dari sebuah kelompok kebudayaan. Juga leading principle di dalam proses semiotik termasuk bidang kebudayaan. Bukan saja individu yang mempunyai kebenarannya sendiri, juga kelompok-kelompok kebudayaan mempunyai kebenaran mereka sendiri. Dalam kelompok kebudayaan bapak-bapak dengan tas diplomatik itu terdapat suatu leading principle yang lain sama sekali, suatu “kebenaran intern” yang lain mengenai pencemaran udara, tanah, dan air daripada yang dianut aktivis-aktivis Green Peace.

Orang tidak perlu berkeberatan tentang adanya berbagai kebenaran. Biarlah seseorang berpendapat bahwa saudara perempuannya adalah seekor buaya bilamana dia menginginkan yang demikian. Akan tetapi, merupakan suatu keberatan bilamana kita tidak menyadari akan perbedaan-perbedaan antara jenis-jenis kebenaran dan juga tidak menyadari akan ketergantungan kesimpulan-kesimpulan itu pada leading principle, yang sering tetap tinggal tersembunyi. Karena tersembunyinya titik tolak berpikir dan ketidaksadaran itu maka hal ini membuat diskusi dan perundingan dalam hal yang demikian tidak mungkin. Ini tentu sesuatu yang buruk pada saat diskusi dan perundingan sangat perlu; misalnya bilamana keputusan-keputusan mengenai masyarakat yang bertalian dengan masa depan harus ditentukan secara demokratis, dan dengan cara sedemikian rupa sehingga semua orang yang bersangkutan mengetahui apakah yang menjadi masalahnya, apakah kemungkinan-kemungkinannya, dan apakah risiko-risikonya.

Lebih jauh, yakni pada bagian kelima dari esainya itu, Aart van Zoest mengulas tentang “Tiga Jenis Argument”: Dalam logika tradisional dibedakan jenis argument deduksi dan induksi. Deduksi dikenal dari ilmu ukur Euclidis, dan silogisme klasik adalah contoh yang baik. Silogisme ini mulai dengan suatu aturan umum, kemudian diikuti oleh suatu “kasus”, suatu fakta, dan akhirnya tibalah kesimpulannya.

  • Semua manusia akan mati.
  • Socrates adalah seorang manusia.
  • Socrates akan mati.

Sementara menginterpretasi melalu jalan deduksi itu sesuai untuk ilmu pasti dan logika, maka induksi itu sesuai untuk ilmu-ilmu empiris, yang harus memanfaatkan pengamatan yang berulang-ulang dilakukan. Titik permulaan pada induksi adalah suatu pernyataan adanya sesuatu, yang kemudian dikombinasikan dengan pernyataan yang lain sehingga orang akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang berbentuk suatu aturan umum. Aturan umum ini adalah hasil ekstrapolasi: setelah kita mengetahui adanya keteraturan maka kita melanjutkan ketaraturan itu di waktu kemudian, berdasarkan aturan umum yang telah dirumuskan itu.

  • Kemarin dulu matahari terbit.
  • Kemarin matahari terbit.
  • Tiap hari matahari terbit.

Jadi, besok matahari juga akan terbit lagi. Atau, untuk mengatakannya dengan kalimat-kalimat Socrates

  • Socrates adalah seorang manusia.
  • Socrates akan meninggal.
  • Semua manusia akan meninggal.

Pada deduksi, semuanya tergantung dari leading principle; pada kesimpulan itu dapat juga dikenakan tes intern untuk mendeteksi kebenarannya. Orang dapat berkata: hal itu benar atau hal itu tidak benar. Pada induksi semuanya tergantung dari pengamatan-pengamatan (dan dari penarikan kesimpulan dengan baik) sehingga tes untuk mendeteksi kebenaran adalah ekstern. Jadi, sebenarnya orang tidak dapat mengatakan: itu benar (atau tidak benar). Kita harus mengatakan: hal itu mungkin (atau tidak mungkin).

Demikianlah Peirce telah menemukan sesuatu yang penting sekali. Hampir semua interpretasi kita di luar ilmu pengetahuan, tentu saja di dalam kehidupan kita sehari-hari, tidak mempunyai sifat deduktif atau induktif. Kita tidak bekerja dengan argument dari tipe yang diuraikan di atas. Hampir selalu kita mengerjakannya dengan cara lain; dengan tipe argument yang dinamakan Peirce hipotesis atau abduksi.

Untuk mengerti apakah abduksi itu, kita mungkin dapat membayangkan bahwa kita telah berpindah ke sebuah rumah baru. Kita melihat ke taman tetangga dan melihat seseorang di sana sedang bermain-main dengan seorang anak kecil. “O,” pikir kita dengan lega, “kita tinggal bertetangga dengan orang-orang yang menyenangkan.” Kita melihat suatu perbuatan, lalu kita menganggap perbuatan itu sebagai suatu tanda, dan menghubungkan suatu kesimpulan padanya.

  • Seseorang bermain dengan seorang anak kecil.
  • Itu orang yang menyenangkan.

Itulah abduksi. Demikianlah kita biasanya menginterpretasi.

Bilamana kita menulis kembali model itu dalam kalimat-kalimat Socrates, maka yang kita dapatkan adalah

  • Socrates meninggal.
  • Socrates adalah manusia.

Apa yang rupa-rupanya tidak ada di sini adalah suatu aturan umum. Akan tetapi, diperlihatkan oleh Peirce bahwa peraturan umum itu adalah implisit, tidak diucapkan, dan mungkin juga tidak disadari:

  • Orang-orang yang bermain dengan anak-anak kecil adalah orang-orang yang menyenangkan
  • Meninggal itu manusiawi.

Aturan-aturan umum itu sendiri merupakan titik tolak untuk proses menginterpretasi itu, seperti pada deduksi. Sebaliknya, abduksi juga memiliki sesuatu yang sama dengan induksi: kesimpulan itu memiliki suatu kemungkinan, bahkan suatu kemungkinan yang bersifat sangat sementara, karena orang yang senang anak-anak itu tadi oleh perbuatan-perbuatan lain dapat pula ternyata seorang tetangga yang menakutkan. Bilamana kita mengubah aturan implisit dalam contoh Socrates itu, maka Socrates mungkin juga terbukti adalah seekor buaya (bukankah buaya juga akan mati!).

Aturan-aturan umum adalah implisit dan mendahului interpretasi sehingga kita harus menulis

  • Orang-orang yang bermain dengan anak-anak adalah menyenangkan
  • Tetangga wanita bermain dengan seorang anak kecil.
  • Tetangga wanita itu menyenangkan.

Dan:

  • Meninggal itu manusiawi.
  • Socrates meninggal.
  • Socrates adalah seorang manusia.

Aturan-aturan umum, titik tolak, adalah presuposisi, dugaan-dugaan, yang menjadi dasar dari hampir setiap proses interpretasi. Mereka ini sering membentuk suatu keseluruhan dengan perkiraan-perkiraan lain, dan tersimpan di dalam jiwa kita sebagai suatu dasar untuk penginterpretasian kita. Saya menamakan dasar ini ideologi. Bukan ideologi dalam arti bentuk teoritis yang besar, semacam susunan filsafat yang diterima secara umum, tetapi ideologi dalam arti semiotik: titik tolak perorangan untuk interpretasi. Tiap penginterpretasian mulai dari titik tolak ideologis. Ideologi merupakan dasar untuk kode-kode, dan itulah yang memungkinkan abduksi. Ideologi berperan utama dalam proses lambang, tetapi peran itu biasanya tersembunyi. Ideologi adalah harta yang terpendam dalam proses semiotik.

Akhirnya, pada bagian keenam esainya, Aart van Zoest menulis tentang “Ideologi dan Mite”: Peranan konteks dalam proses semiotik sudah nyata. Amat sering orang sama sekali tidak dapat melakukan interpretasi bilamana tidak diketahui konteks yang dibutuhkan. Suatu contoh yang baik adalah konteks historis pada teks-teks dari abad-abad yang lalu. Suatu contoh yang sederhana adalah konteks verbal atau non-verbal pada unsur-unsur linguistik; ini khususnya berlaku di dalam suatu bahasa yang non-redundan seperti bahasa Indonesia. Sering konteks verbal atau situasi (yaitu konteks yang non-verbal) harus membantu untuk menentukan apakah sebuah kata kerja mengacu ke waktu lampau, kini, atau ke waktu yang akan datang, apakah di sini berlaku modus imperatif, atau apakah sebenarnya ada suatu kata kerja, dst. Peranan deixis (menurut Peirce titik permulaan dari setiap tindakan linguistik) adalah besar dalam bahasa yang demikian.

Peranan ideologi di dalam semiosis jauh lebih kurang nyata, bahkan sering secara praktis tidak kelihatan, dan jauh lebih menyelinap. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah yang dikatakan sesuatu yang menyenangkan atau sesuatu yang tidak menyenangkan, bilamana orang mengatakan tentang seseorang “dia sangat sopan”. Di Indonesia, ucapan ini mungkin sekali menyenangkan. Di Nederland, hal ini sama sekali tidak pasti. Konotasi kata “sopan” berhubungan dengan ideologi orang yang berbicara, dan juga berhubungan dengan ideologi orang yang diajak berbicara. Tidak mengetahui konteks dapat menghentikan komunikasi, tetapi tidak mengetahui mengenai masalah ideologi jauh lebih membahayakan: orang tanpa menyadarinya dapat keliru dalam menginterpretasi.

Kita semua pasti mengetahui juga contoh-contoh dari interpretasi yang salah yang disebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan. Maka dalam hal ini yang menjadi masalah adalah hal tidak mengetahui kode-kode. Namun, yang lebih mendalam daripada kode-kode adalah titik-titik tolak ideologis yang menjadi dasar kode-kode itu.

Marilah kita membayangkan bahwa sedang diadakan suatu rapat mengenai masalah apakah becak harus dihilangkan dari suatu wilayah. Apakah yang akan dikemukakan?

  • Bahwa mereka menyebabkan lalu-lintas terhenti.
  • Bahwa tidak manusiawi untuk menyuruh seseorang mengayuh sepeda sekuat tenaga supaya Anda bergerak maju.
  • Bahwa itu adalah pemandangan yang memberi kesan melarat.
  • Bahwa itu sudah ketinggalan zaman.
  • Bahwa pengemudi becak tidak berumur lanjut.
  • Bahwa becak-becak menciptakan pekerjaan.
  • Bahwa mereka tidak mencemarkan udara.
  • Bahwa becak-becak itu dikemudikan oleh pria-pria yang sehat.
  • Bahwa becak-becak itu indah.
  • Bahwa becak-becak itu mempunyai sesuatu yang benar-benar khas.

Nyatalah bahwa di belakang lima pernyataan pertama terdapat titik tolak pemikiran ideologis yang lain daripada yang terdapat di belakang lima pernyataan yang terakhir.

Dalam diskusi semacam itu akan menarik sekali untuk meminta kepada para peserta agar mereka menjelaskan gambaran dunia mereka dengan tegas. Pentingkah di dalam dunia mereka bergerak bahwa udara itu bersih, bahwa lalu-lintas dapat bergerak dengan cepat, bahwa ada persamaan dalam keadaan dan situasi bekerja, bahwa ada keindahan dan sesuatu yang khas dalam pemandangan kota. Dengan mengindahkan titik tolak berpikir ideologis yang bermacam-macam itu, kita kemudian dapat sampai pada pengambilan keputusan, yang tentu saja sama sekali tidak perlu selalu harus tertuang dalam bentuk “semuanya atau sama sekali tidak”.

Sekarang dapatlah dikerjakan demikian di dalam suatu diskusi lisan atau tertulis. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam hal seorang pembaca berhadapan dengan sebuah teks yang penulisnya tidak hadir, berada di tempat yang jauh, mungkin telah lama meninggal, atau bahkan sama sekali tidak dikenal. Namun, di dalam tiap teks terdapat suatu ideologi. Bagaimana ideologi itu dapat ditemukan?

Sebuah teknik yang penting adalah mencari apa yang saya namakan “retak dalam teks”. Di dalam semua teks pasti terdapat bahagian gejala yang kelihatan aneh bagi kita, sebagai sesuatu yang menarik perhatian. Gejala-gejala itu dapat ditemukan oleh orang yang telah mengembangkan suatu kepekaan khusus untuk penemuan-penemuan semacam itu. Semiotika dpat membantu pada kesempatan-kesempatan itu, bilamana orang tetap ingat akan pertanyaan apakah ada lambang-lambang yang bersifat khusus.

Dahulu Freud telah menyatakan bilamana orang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan maksudnya maka hal ini adalah suatu lambang, suatu “retak dalam teks”; dari situ ia dapat berpijak dalam penelitian psikoanalisisnya. Akan tetapi, lambang yang demikian dapat pula berarti dengan sengaja tidak berbicara mengenai hal-hal tertentu (mengenakan tabu terhadap gejala-gejala), atau sebaliknya justru berbicara secara tegas dan berulang-ulang mengenai hal-hal tertentu, dengan sengaja atau tidak.

Suatu teknik yang menarik dan memberikan hasil baik untuk dapat masuk ke dalam titik tolak berpikir ideologis yang terdapat pada suatu kebudayaan tertentu adalah mempelajari mite-mite. Mite adalah suatu ceritera yang di dalamnya sebuah ideologi berwujud. Dapat dimengerti bahwa mite-mite, yang rangkai-merangkai menjadi mitologi-mitologi, memainkan peranan yang penting di dalam kesatuan-kesatuan kebudayaan; mite-mite memungkinkan inkarnasi dari hal-hal yang kalau tidak demikian akan tetap abstrak dan tak dapat disentuh. Di dalam mite-mite lama tertanam ideologi-ideologi lama dan pastilah akan merupakan tugas yang sangat menarik hati bagi peneliti-peneliti teks untuk menggalinya di bawah bentuk yang tampak. Perlu saya tegaskan di sini bahwa dengan teks saya maksudkan jauh lebih banyak daripada teks tertulis, bahkan lebih daripada teks lisan. Teks adalah suatu kesatuan dari lambang-lambang yang berhubungan satu dengan yang lain: ekspresi muka, sikap, pakaian, gerak-gerik anggota badan, itu semua termasuk di dalamnya.

Bilamana kita menyadari bahwa mite-mite itu dengan berbagai cara dapat menyatakan diri sebagai teks, maka kita menyadari juga bahwa ceritera-ceritera yang popular dari zaman modern kita ini, seperti Batman, Rambo, tidak kurang mitologis daripada mite-mite kuno yang terkenal dari Ramayana dan Mahabarata.

Juga ceritera-ceritera dari mulut ke mulut mengenai apa yang mereka alami (sering dengan berbagai tambahan) atau mengenai mimpi-mimpi mereka, biasanya mempunyai aspek mistis. Kita semua mempunyai mite-mite pribadi kita. Cobalah dengarkan dengan baik-baik orang-orang yang bercerita itu. Bilamana mereka menceritakan pengalaman-pengalaman mereka, maka ceritera-ceritera itu sering merupakan syair-syair kepahlawanan, atau justru nyanyian-nyanyian ratapan, selalu dengan tokoh utama yang menarik, yaitu pembawa ceritera sendiri tentu saja. Dengarkanlah baik-baik maka anda akan menemukan ciri-ciri dan sifat-sifat penting yang diberikan pahlawan mitis ini kepada dirinya sendiri: kejujuran, keberanian, kegigihan semangat, kecerdikan, kekayaan, kemurahan hati. Mungkin pula ia adalah seorang yang dikejar nasib buruk, seperti sering terdapat dalam tragedi-tragedi lama. Atau mungkin ia justru orang yang dicintai dewa-dewa. Atau ia hanya materialis belaka dan orang yang menikmati kekuasaan, yang sombong akan uang dan miliknya, atau akan kedudukannya. Apakah kehidupan itu untuk pembawa ceritera ini suatu tugas kepahlawanan, sebuah kantong dengan kue-kue lezat yang akan dimakannya sebanyak mungkin, suatu tugas ujian yang menyedihkan dan tidak diinginkan karena pasti ia tidak dapat lulus, sesuatu yang akan diselesaikannya dengan berhasil baik, atau sesuatu tempat ia harus duduk dengan sabar sampai berakhir?

Kita harus menyadari pula bahwa para pemegang peranan utama di dalam mite-mite modern mempunyai nama-nama yang jauh berbeda daripada nama-nama mereka yang dahulu. Mereka yang dari masa sekarang nama-namanya ditulis dengan neon pada tempat-tempat pemujaan besar di atas gedung-gedung flat yang megah, Siemens, Mercedes-Benz, dan sebagainya. Mereka juga mempunyai tempat-tempat mereka yang mitologis: Bhopal, Tsjernobyl, dan seterusnya.

Bilamana kita membuat rekonstruksi ceritera-ceritera itu dengan para pahlawan dan tempat-tempat ini yang berperan, maka kita dapat menembus sampai pada ideologi-ideologi besar dari zaman kita ini, yang belum mempunyai nama, tetapi sedang giat beroperasi secara nyata, dalam hubungan dengan ideologi-ideologi perorangan dari homo semiotikus, yaitu manusia sesama kita. (Aart van Zoest, 1992)

 

  1. Yesus dan Tanda-Tanda-Nya

 

4.1. Tanda-tanda Yesus

 

Dalam penutupan Injilnya, Yohanes 20: 30-31 mengatakan: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-muridnya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”

Kalau kita membaca Injil Suci, kita dapat menemukan, setidaknya, ada 3 bentuk tanda yang dibuat Yesus semasa penampilan-Nya yang historis di muka bumi. Pertama, tanda itu tampil dalam bentuk ucapan, khotbah, ajaran yang disampaikan-Nya. Kedua, tanda itu tampil dalam bentuk mukjizat-mukjizat yang dibuat-Nya. Dan, ketiga, tanda itu tampil dalam bentuk tindakan-tindakan simbolik yang dilakukan-Nya.

Beberapa ucapan yang pernah dituturkan Yesus misalnya: “Kata Yesus kepadanya: ‘Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia’.” (Yoh 14: 6-7) Di tempat lain Yesus berkata: “Jawab Yesus: ‘Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini’.” (Yoh 18:36) Ucapan lain lagi yang disampaikan Yesus, misalnya, adalah: “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30)

Mengenai khotbah/ajaran apa yang pernah disampaikan Yesus, kita dapat memeriksanya dalam perumpamaan-perumpamaan yang pernah digunakan-Nya. Y.M. Seto Marsunu menyebut: “Ketika mengajar orang banyak, seringkali Yesus menggunakan perumpamaan. Dari seluruh pengajaran Yesus yang tercatat dalam Injil, sepertiga di antaranya berupa perumpamaan.” (2015) Di dalam bukunya yang berjudul “Pesan Tuhan dalam Perumpamaan”, Y.M. Seto Marsunu menempatkan berbagai perumpamaan Yesus dalam 5 (lima) kelompok tema besar:

  • KERAJAAN ALLAH

Benih yang Tumbuh (Mrk. 4:26-29)

Biji Sesawi dan Ragi (Mat. 13:31-33)

Para Pekerja di Kebun Anggur (Mat. 20:1-16)

Harta Terpendam (Mat. 13:44)

Mutiara yang Indah (Mat. 13: 45-46)

Penabur (Mrk. 4:3-9, 14-20)

 

  • KASIH DAN PENGAMPUNAN

 

Domba yang Hilang (Luk. 15:4-7)

Dirham yang Hilang (Luk. 17:11-32)

Anak yang Hilang (Luk. 15:11-32)

Hamba yang Berhutang (Mat. 18:23-35)

Orang Samaria yang Baik Hati (Luk. 10:25-37)

Orang Kaya dan Lazarus (Luk. 16:19-31)

 

  • HIDUP BIJAK

 

Dua Pembangun (Mat. 7:24-27)

Bendahara yang Tidak Jujur (Luk. 16:1-9)

Orang Kaya yang Bodoh (Luk. 12:13-21)

Membangun Menara dan Maju Perang (Luk. 14:25-35)

Tuan dan Hamba (Luk. 17:7-10)

Dua Orang Anak (Mat. 21:28-32)

Para Penggarap Kebun Anggur (Mrk. 12:1-12)

Pohon Ara yang Tidak Berbuah (Luk. 13:6-9)

 

  • DOA

 

Bapa yang Memberi (Mat. 7:9-11)

Sahabat yang Meminta Roti (Luk. 11:5-8)

Hakim yang Lalim (Luk. 18:1-8)

Orang Farisi dan Pemungut Cukai (Luk. 18:9-14)

 

  • AKHIR ZAMAN

 

Lalang dan Gandum (Mat. 13:24-30, 36-43)

Pukat (Mat. 13:47-50)

Domba dan Kambing (Mat. 25:31-46)

Talenta (Mat. 25:14-30)

Hamba Setia dan Hamba Jahat (Mat. 24:45-51)

Sepuluh Gadis (Mat. 25:1-13)

Hamba yang Berjaga (Mrk. 13:33-37)

Perjamuan Kawin (Mat. 22:1-14)

 

Mengenai mukjizat Yesus, kita setidaknya dapat mencatat beberapa “Peristiwa Ilahiah” yang pernah dibuat Yesus: “menggandakan roti”, “mentahirkan orang kusta”, “meredakan angin ribut dan laut yang mengamuk”, “membangkitkan orang mati bahkan Ia sendiri bangkit dari kematian”. Sedang mengenai “tindakan-tindakan simbolik” yang pernah dilakukan-Nya, kita setidaknya dapat menyimak bahwa Yesus “menaruh penghargaan yang tinggi kepada kaum perempuan dan menerima mereka sebagai pengikut-pengikut dekat-Nya”, “makan bersama kaum pendosa”, “mengusir setan”, “mengampuni dosa”.

 

4.2. Spiritualitas Yesus: Sejumlah Inspirasi

 

Yesus historis adalah Yesus yang mendiami sebuah dunia tertentu. Ia memiliki pekerjaan,  sebagaimana lazimnya orang-orang dewasa pada zaman-Nya, dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu dari dunia yang dihidupi-Nya. Sebagaimana dicatat oleh Albert Nolan: “Yesus adalah seorang petani Yahudi. Spiritualitas-Nya memperoleh inspirasi aslinya dari Kitab Suci Yahudi.” (Albert Nolan, 2009, h. 85) Dunia macam apakah yang dihadapi oleh Yesus historis tersebut dan apakah yang telah dibuat Yesus terhadap dunia yang melingkupinya itu? “Dunia itu adalah dunia Yahudi, tetapi kita tidak boleh meremehkan pengaruh budaya Yunani yang semakin besar yang berasal dari kota-kota Yunani di sekitar Palestina. Yang lebih penting dari semua itu ialah meluasnya Imperium Romawi yang memiliki pengaruh yang semakin besar dalam hidup masyarakat. Gaya hidup dan nilai-nilai dunia Yunani-Romawi diadopsi oleh orang-orang kaya dan berkuasa: Herodes dan anak-anaknya, para imam kepala, para penatua (kaum ningrat), dan tuan-tuan tanah yang kaya. Sebagian besar dari mereka menikmati kehidupan mewah dan kemerosotan hidup.” (Albert Nolan, 2009, h. 85-86)

Dunia tempat Yesus hidup memiliki keterbatasan-keterbatasan dan skandal-skandal tertentu. (Skandal berasal dari kata Latin scandalum, yang berarti “batu sandungan” atau “godaan” (untuk berdosa). Skandal adalah perbuatan memalukan, suatu pelanggaran, yang mengejutkan karena orang tidak mengira bahwa hal itu dilakukan oleh pelakunya). Dan, bagaimana Yesus menanggapi situasi zaman-Nya?

Yesus melakukan revolusi atas dunia dan zaman-Nya. “Semua itu telah mewarnai dunia yang dijungkirbalikkan oleh Yesus. Hidup-Nya, pesan-Nya, spiritualitas-Nya adalah revolusioner. Yesus bukanlah seorang reformator. Dia tidak mengajukan sejumlah perbaikan atas kepercayaan-kepercayaan religius dan praktik-praktik religius pada zaman-Nya –seperti menambal pakaian lama. Dia mengubah dunia, baik Yahudi maupun non-Yahudi, menjungkirbalikkannya. Itu tidak berarti bahwa Yesus adalah seorang revolusioner dalam arti politis. Dia tidak hanya ingin mengganti mereka yang senyatanya berkuasa dengan mereka yang tidak sedang berkuasa. Dia mencari sesuatu yang lebih radikal daripada hal itu. Dia mengambil nilai-nilai zaman-Nya dalam semua keragamannya, dan menempatkannya di kepala mereka. Dia lebih sibuk dengan revolusi sosial, daripada revolusi politik, sebuah revolusi sosial yang menuntut pertobatan spiritual yang mendalam. Sebuah revolusi sosial merupakan revolusi yang menjungkirbalikkan relasi-relasi sosial di sebuah masyarakat. Sebuah revolusi politik adalah revolusi yang mengubah relasi-relasi kekuasaan di dalam masyarakat dengan menyingkirkan sebuah pemerintahan dan menggantinya dengan pemerintahan yang lain. Yesus, seperti juga halnya banyak orang Yahudi yang tertindas di zaman-Nya, mengharapkan sebuah pembebasan politis dari penindasan Romawi. Tetapi, Dia memandang diri-Nya sebagai seorang nabi yang diutus pertama-tama untuk memulai sebuah revolusi sosial dan spiritual. Pencopotan struktur-struktur kekuasaan akan mengikuti kemudian.” (Albert Nolan, 2009, h. 86-87)

Yesus menjungkirbalikkan dunia. “Kata-kata Yesus, terutama yang dikumpulkan dalam Khotbah di Bukit, bersifat subversif terhadap hampir semua hal yang oleh orang-orang sezaman-Nya diwarisi begitu saja. Dia bicara mengenai memberikan pipi yang lain sebagai ganti balas dendam, mengenai mencintai musuh daripada membenci mereka, mengenai melakukan kebaikan kepada mereka yang membenci, mengenai memberkati mereka yang mengutuk, dan mengenai mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali (Mat 5:38-43; Luk 6:27-37; Mat 18:22).” (Albert Nolan, 2009, h.87)

Albert Nolan mencatat: Itu saja sudah mengubah relasi-relasi sosial di antara para petani yang dikhotbahi-Nya, seperti juga relasi-relasi di antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang berbeda-beda, dan di antara agama-agama dan bangsa-bangsa. Tetapi, itu bukanlah akhir. Yang lebih revolusioner adalah apa yang harus Dia katakan mengenai orang kaya dan orang miskin.

Asumsinya, Allah memberkati orang kaya dengan kemakmuran, dan orang-orang kaya adalah orang-orang yang beruntung. Yesus berdiri dan mewartakan hal yang sebaliknya. “Diberkatilah kamu yang miskin” (Luk 6:20). Dengan kata lain, bukanlah yang kaya yang diberkati dan beruntung, melainkan yang miskin. Ini tidak berarti bahwa adalah baik menjadi papa dan melarat; bukan pula sebuah janji bahwa suatu hari orang miskin akan menjadi kaya. Itu berarti, “Kamu harus menghargai dirimu sendiri sebagai yang beruntung bahwa kamu tidak di antara orang-orang kaya dan orang-orang makmur.” Mereka yang kaya bukanlah mereka yang beruntung, “Celakalah kalian yang kaya” (Luk 6:24). Merekalah yang harus dikasihani karena merekalah yang akan mengalami kesulitan untuk memperoleh hidup di masa mendatang (yakni Kerajaan Allah) di mana segala sesuatu akan dibagikan. Orang-orang kaya akan kesulitan untuk berbagi. Mereka akan menjadi seperti unta-unta yang memasuki lubang jarum. Orang-orang miskin beruntung karena mereka akan mudah untuk berbagi.

Untuk mengerti akibat pembalikan semacam itu, kita dapat membayangkan seseorang yang pergi berkeliling hari ini memberitakan kepada orang-orang kaya dan mereka yang mempunyai standar hidup yang tinggi bahwa mereka tidak diberkati, bahwa sebenarnya mereka adalah yang paling tidak beruntung. Mengapa? Karena satu-satunya jalan di mana umat manusia dapat bertahan hidup adalah kalau orang-orang kaya menurunkan standar hidup mereka dan membagikan kekayaan mereka kepada yang lain. Orang-orang kaya akan mengalami kesulitan besar.

Dengan jalan yang sama, Yesus berkata bahwa jika orang membencimu, mengusirmu, mencaci-makimu, dan memfitnahmu, kamu harus bergembira karena dengan cara itulah mereka memperlakukan para nabi. Justru kalau mereka berbicara baik tentang kamu, kamu akan menemukan dirimu tidak beruntung (Luk 6:22,23,26). Dengan kata lain, lupakanlah reputrasimu. Ketika orang mengkritik dan mendiskreditkanmu, itu adalah blessing in disguise.

Yesus tidak tergoyahkan dalam keyakinan-Nya bahwa semua umat manusia sama dalam martabat dan keluhuran. Dia memperlakukan orang buta, orang lumpuh, dan orang pincang, mereka yang tersingkir dan para peminta-minta dengan hormat yang sama sebagaimana Dia menghormati mereka yang ada dalam level dan status tinggi. Dia menolak untuk menganggap wanita dan anak-anak sebagai mereka yang tidak penting dan lebih rendah. Sikap seperti ini menjungkirbalikkan sebuah masyarakat yang tersusun dalam status dan hormat – lebih lagi ketika Ia menganjurkan orang untuk menempati tempat lebih rendah, dan bukannya menggapai tempat yang paling tinggi. Dia mengajar para pengikut-Nya untuk menempati tempat terendah sehingga ketika mereka berpikir di antara mereka tentang siapa yang tertinggi, Dia memperlihatkan kepada mereka seorang anak kecil, seorang yang tidak mempunyai level dan status sama sekali di dalam masyarakat, dan memberi tahu mereka untuk berjuang menjadi seperti anak-anak (Mrk 9:33-37 par).

Di antara hal-hal yang lain, pendekatan ini menurunkan mereka dari takhta “yang terdidik dan mereka yang bijak”. Mereka tidak memiliki monopoli atas kebenaran. Pada kenyataannya, kebijaksanaan mereka dan keterdidikan mereka dapat membutakan mereka akan kebenaran. Cukup sering seorang anak kecil yang sederhana dan tidak terdidik justru lebih bijak daripada mereka yang terdidik. “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa karena Engkau menyatakan semua ini bukan kepada yang pandai dan bijak, melainkan kepada anak-anak” (Luk 10:21).

Di antara mereka yang dianggap seperti anak-anak dalam hal status dan pendidikan pada zaman Yesus, dan mereka yang menyambut pesan-pesan Yesus adalah para wanita. Salah satu cara bagaimana Yesus menjungkirbalikkan dunia-Nya adalah dengan memberi kaum wanita nilai dan martabat yang sama dengan kaum laki-laki. Dia berdiri di antara orang-orang sezaman-Nya sebagai satu-satunya guru yang menempatkan kaum wanita di antara teman-teman dan murid-murid-Nya. Kita mendengar mengenai Maria dari Betania yang diteguhkan-Nya untuk duduk di bawah kaki-Nya sebagai murid (Luk 10:38-42). Lebih kontroversial lagi adalah persahabatan erat-Nya dengan Maria Magdalena yang diajar-Nya, dan yang dengannya, tampaknya Yesus mendiskusikan banyak hal. Kedekatan-Nya dengan para wanita terutama mereka yang dikenal sebagai para pelacur sungguh-sungguh merupakan skandal (Luk 7:39; Mat 11:19). Satu hal yang tidak dipedulikan oleh Yesus adalah reputasi-Nya.

Apa yang dipedulikan-Nya ialah bagaimana para pelacur dan kaum wanita yang terjebak dalam pelacuran diperlakukan di dalam masyarakat. Mereka, dan bukan kaum laki-laki, dipersalahkan dan dihukum sebagai pendosa. Prostitusi dan perzinaan tidak mungkin terjadi tanpa pihak laki-laki yang meminta dan menyediakan uang. Mengapa kaum wanita yang selalu dipersalahkan? Posisi Yesus dilukiskan secara indah dalam kisah Yoh 8 ketika Dia membebaskan seorang wanita yang dituduh telah berzina dari kaum lelaki yang ingin melemparinya dengan batu (Yoh 8:1-11).

Perumpamaan-perumpamaan Yesus juga ditandai oleh kisah-kisah subversif. Dalam tulisannya mengenai teologi sejarah, John Dominic Crossan berpendapat bahwa sementara sebuah mitos merupakan sebuah kisah yang meneguhkan status quo dan mendamaikan kontradiksi-kontradiksi yang tampak, sebuah perumpamaan merupakan sebuah kisah yang mengikis status quo dan menampakkan kontradiksi-kontradiksi.

Pernyataan subversif seperti, “Mereka yang meninggikan diri akan direndahkan dan mereka yang merendahkan diri akan ditinggikan” (Luk 14:11; 18:14; Mat 23:12) dibawa kembali kepada kita di dalam perumpamaan mengenai orang Farisi dan penarik pajak yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa (Luk 18:9-14).

Pada masa Yesus, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi menduduki tempat terhormat. Bersama dengan imam-imam kepala dan para penatua, mereka merupakan pemimpin-pemimpin religius yang mengetahui apa yang berkenan kepada Allah dan apa yang tidak berkenan kepada-Nya. Sementara itu, para pemungut pajak pada umumnya dibenci dan diperlakukan sebagai orang yang berada di luar masyarakat. Sistem perpajakan sungguh-sungguh tidak adil. Orang-orang miskin dengan tanpa ampun dikenai tiga macam pajak: pajak Romawi, pajak Herodes, dan pajak Bait Allah. Tetapi, mereka yang bertugas untuk mengumpulkan pajaklah yang harus berhadapan dengan kemarahan dan penolakan dari rakyat. Mereka tentu saja sering memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan mereka sendiri. Tetapi, Yesus memiliki simpati dan memahami orang-orang yang dipersalahkan senantiasa seperti halnya para pelacur. Berlawanan dengan sikap setiap orang, Yesus memilih untuk tinggal di sebuah rumah Zakheus, seorang pemungut pajak yang terkenal di Yerikho (Luk 19:1-10).

Di dalam perumpamaan, semua pikiran dibalik. Orang-orang Farisi karena mereka berbangga diri dan sombong, tidak dibenarkan di mata Allah. “Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu bahwa aku tidak seperti orang-orang lain!” Sementara itu, sang pemungut pajak, karena merendahkan diri, dibenarkan di mata Allah.

Sementara setiap orang beranggapan bahwa para pemimpin religius seperti para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, para imam kepala dan para penatua akan menjadi yang pertama yang akan diterima dalam Kerajaan Allah, Yesus berani untuk berdiri dan berkata bahwa para pelacur dan para pemungut cukai akan memasuki dunia baru Allah lebih dahulu daripada para pemimpin religius (Mat 21:31). Ini tentu saja menghapuskan anggapan hampir semua orang, termasuk juga para pelacur dan para penarik pajak itu sendiri. “Yang pertama akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang pertama” (Mrk 10:31).

Kisah orang Samaria yang menolong seorang Yahudi yang dirampok dan terluka sementara seorang iman Yahudi dan seorang Lewi terus berjalan di seberang jalan (Luk 10:30-37) mengubah semua mitos mengenai orang-orang Yahudi dan orang-orang Samaria. Orang-orang Samaria dianggap (sebagai) para bidah setengah kafir. Yesus berkata kepada sesama Yahudi-Nya tidak hanya bahwa mereka harus memasukkan orang-orang Samaria yang mereka benci ke dalam cinta mereka akan sesama, melainkan juga bahwa mereka harus belajar sesuatu dari seorang Samaria mengenai mengasihi sesama.

Dalam perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur (Mat 20:1-16), Yesus menjungkirbalikkan pemahaman mengenai keadilan yang sudah diterima secara umum. Ketika seorang majikan membayar mereka yang telah bekerja di kebun anggur selama satu jam sama banyaknya dengan upah bagi mereka yang telah bekerja sepanjang hari, bukankah dia bersalah karena melakukan ketidakadilan? Yesus menjawab: Tidak! Majikan tersebut membayar orang-orang yang bekerja di bawah terik siang hari dengan upah yang telah disepakati. Satu dinar sebenarnya merupakan upah yang sangat murah hati untuk sehari kerja. Ketika para pekerja ini mengeluh, hal itu bukanlah karena ketidakadilan yang telah dilakukan terhadap mereka, melainkan karena sang majikan telah bertindak murah hati kepada pekerja-pekerja yang lain. Dengan kata lain, soalnya bukanlah soal keadilan, melainkan soal iri hati. Sang majikan telah memilih untuk membayar mereka yang bekerja dengan waktu singkat dengan bayaran yang sama karena kebutuhan-kebutuhan mereka dan keluarga mereka adalah sama.

Di dalam perumpamaan mengenai anak yang hilang (Luk 15:11-32), saudara yang lebih tua merasa bahwa ia telah diperlakukan secara tidak adil. Dia selalu telah melakukan apa yang benar, maka mengapa harus diadakan sebuah perayaan untuk saudaranya yang telah menghambur-hamburkan uang dan yang bejat itu sedang untuk dirinya tidak diadakan perayaan? Tetapi, seperti dilihat oleh Yesus, saudara tua ini tidaklah diperlakukan secara tidak adil; dia hanyalah cemburu. Dia ingin didahulukan. Dia ingin melihat saudaranya dihukum, dan tidak diampuni. (Albert Nolan, 2009, h. 87-94)

Yesus juga merelativir hukum yang berlaku pada zaman-Nya: Spiritualitas zaman Yesus didasarkan pada hukum, yakni Taurat. Yesus juga mengubah hal itu di pikiran-Nya –  tidak dengan menolak hukum, tetapi dengan merelativir hukum itu. “Hari Sabat dibuat untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat,” katanya (Mrk 2:27). Dengan kata lain, hukum Sabat dan implikasinya juga semua hukum Allah, dimaksudkan untuk melayani kita manusia. Kita tidak ada untuk melayani dan berbakti kepada hukum. Itu akan menjadi sebuah idolatria.

Yesus merasa sungguh-sungguh bebas untuk melanggar hukum setiap kali menaati hukum berarti membahayakan manusia karena melakukan apa yang buruk terhadap orang-orang tidak pernah menjadi maksud dari hukum. Tetapi tindakan-Nya itu dianggap sebagai skandal yang tidak tersembuhkan, terutama ketika Dia mengajar para pengikut-Nya untuk melakukan hal yang sama (Mat 12:1-5).

Dalam kultur religius pada zaman itu, hukum tidak hanya Sepuluh Perintah Allah, tetapi juga seluruh sistem ritus kesucian dan kebersihan yang kita kenal sebagai hukum kesucian. Segala sesuatu – waktu, tempat, orang, barang, dan makanan – disusun dan diatur menurut tingkat kesucian atau kemurnian.

Yesus melihat semua hukum kebersihan ritual sebagai tradisi-tradisi manusia yang mengaburkan maksud hukum Allah (Mat 15:1-10 par). “Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang” (Mat 15:11). Dia tidak hanya mengabaikan pembedaan antara makanan yang bersih dan yang tidak bersih serta ritual mencuci tangan sebelum makan, tetapi Dia, bahkan menyentuh mayat-mayat dan orang yang sakit kusta juga wanita-wanita yang sedang datang bulan – segala hal yang dianggap tabu dalam hukum kekudusan.

Apa yang penting bagi Yesus adalah orang dan kebutuhan-kebutuhannya. Segala sesuatu yang lain adalah relatif.

Penjungkirbalikan Kerajaan. Yesus hidup ketika masyarakat Yahudi ada dalam “siaga penuh” seraya menantikan kedatangan seorang Mesias yang akan memperbarui Kerajaan dan Pemerintahan Allah yang sudah lama dinantikan. Ia akan segera datang. Pengharapan-pengharapan mengenai apa, kapan, di mana, dan bagaimana hal itu akan terjadi sangatlah beragam. Spekulasi amatlah banyak. Akan adakah sebuah intervensi Ilahi yang luar biasa? Akankah bangsa Roma dikalahkan? Apakah raja Mesianik akan masuk dengan kejayaan ke Yerusalem dengan bala tentara? Atau adakah hal itu terjadi dengan cara lain?

Orang-orang Esseni telah pergi ke padang gurun untuk menyucikan diri mereka dalam persiapan menyambut peristiwa itu. Yohanes Pembaptis menantikan pengadilan Allah yang akan turun atas Israel sendiri. Orang-orang biasa dan sederhana menantikan dan berdoa bagi pembebasan Yerusalem dari kekuasaan Romawi (Luk 1:68,71,74; 2:25,38). Pada akhir Injil Lukas, dua murid dalam perjalanan ke Emaus mengatakan bahwa mereka berharap, Yesus akan menjadi orang yang membebaskan Israel (Luk 24:21).

Yesus menjungkirbalikkan pengharapan-pengharapan ini. Dia memiliki gagasan yang cukup berbeda mengenai apa artinya Kerajaan Allah di dunia, dan alasan fundamental bagi gagasan ini adalah bahwa Dia memandang Allah secara berbeda. Allah tidaklah sama dengan penguasa-penguasa besar, tidak seperti mereka yang menjadi tuan atas orang-orang dan menampakkan kuasa mereka (Mrk 10:42 par). Allah juga tidak seperti diktator yang baik hati. Yesus mengalami Allah sebagai Bapa yang mencintai, sebagai Abba-Nya. Konsekuensinya, Yesus melihat Pemerintahan Allah lebih sebagai “Pemerintahan” Bapa yang mencintai, yang dalam perumpamaan telah mengampuni anak durhakanya tanpa syarat apa pun, yang bergembira karena kepulangan anaknya yang hilang, yang tidak berpikir mengenai hukuman atau balasan, yang tidak ingin mendengar apa pun mengenai pesta pora dan penghambur-hamburan uang yang dilakukan anaknya. Apa yang ingin ia lakukan ialah mengadakan perayaan dengan keluarganya (Luk 15:11-32).

Komunitas atau masyarakat yang diharapkan oleh Yesus adalah lebih seperti sebuah keluarga saudara-saudari dengan Allah sebagai orang tua yang mengasihi. Gambaran-Nya mengenai Kerajaan Allah adalah sebuah keluarga yang bahagia, mencintai, dan bukan sebuah kerajaan yang menaklukkan dan menindas.

Pemerintahan Allah tidak akan datang dari atas. Pemerintahan Allah itu akan tumbuh dari bawah, dari kaum miskin, dari orang-orang kecil, dari para pendosa, dari orang-orang tersingkir, orang-orang hilang, orang-orang dari kampung-kampung di Galilea. Mereka akan menjadi seperti saudara-saudari yang memperhatikan satu sama lain, menyamakan dirinya dengan yang lain, saling melindungi, dan saling berbagi.

Hal ini tidaklah untuk menyatakan bahwa sikap Yesus terhadap keluarga selalu konvensional. Dia juga menjungkirbalikkannya. Apa yang bisa lebih menghentak daripada pernyataan-Nya, “Jikalau seorang datang kepada-Ku tanpa membenci bapaknya, ibu, istri, anak-anak, saudara-saudara, saudari-saudari, bahkan hidupnya sendiri, dia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:26). Tentu saja yang Dia maksud adalah “tanpa tidak mendahulukan”. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat menjadi anggota Kerajaan Allah yang seperti keluarga itu jika ia terus mendahulukan keluarganya sendiri.

Kita melihat Yesus juga mengerjakan hal yang persis sama, yaitu tidak mendahulukan keluarga-Nya sendiri. Ketika diberi tahu bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya mencari-Nya, Dia menjawab: “Jawab Yesus kepada mereka, ‘Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?’ Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata, ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’!” (Mrk 3:33-35)

Dia melihat ibu-Nya sendiri sebagai yang diberkati, bukan karena dia adalah ibu biologis-Nya, tetapi karena dia “mendengarkan sabda Allah dan menjaganya” (Luk 11:27-28). Yesus ingin bergerak mengatasi batasan-batasan hubungan darah atau keluarga orang-orang dekat ke keluarga yang lebih luas, yakni keluarga Kerajaan Allah. Cinta yang ekslusif bagi keluarga dekat seseorang akan menjadi sebuah bentuk egoisme kelompok.

Hal ini tidak berarti bahwa Yesus memandang Kerajaan seperti keluarga baru ini sebagai keseluruhan umat manusia. Kita harus mencintai semua manusia, bahkan musuh-musuh, dan memperlakukan mereka sebagai saudara-saudari, tetapi komunitas baru ini adalah keluarga yang dibangun oleh mereka-mereka yang saling mengasihi. Jika musuhmu terus membencimu dan mengutukimu, orang itu menyingkirkan dirinya sendiri dari keluarga baru Allah. Kenyataannya, anggota-anggota keluargamu sendiri berbalik melawan engkau dan menolakmu meskipun engkau mengasihi mereka. Inilah mengapa Yesus dapat menubuatkan bahwa pembentukan keluarga baru Allah akan memisahkan dan menyebabkan konflik di dalam keluarga-keluarga yang konvensional dan sempit (Luk 12:51-53 par).

Seperti semua keluarga, keluarga Allah akan bertemu di sekitar meja perjamuan. Di sinilah arti perjamuan di dalam hidup Yesus. Itulah “perjamuan persaudaraan” Yesus sebagaimana sering kita sebut. Apa yang mengikuti perjamuan persaudaraan itu adalah berbagi yang merupakan ciri hidup keluarga. Kita melihat hal ini dalam kebersamaan Yesus dan murid-murid-Nya, dan juga dalam komunitas pertama di Yerusalem (Kis 2:44-45; 4:32-37). Pemahaman akan Kerajaan sebagai keluarga inilah yang mengantar orang-orang Kristen pertama untuk menyapa satu sama lain sebagai saudara dan saudari, sesuatu yang tidak dilakukan oleh kelompok-kelompok religius lain pada masa itu. Lebih dari itu, orang-orang

Kristen pertama ini tampaknya memberi salam satu sama lain dengan ciuman di pipi yang pada waktu itu hanya dapat dilakukan oleh para anggota dari satu keluarga yang sama.

Dengan pemahaman mengenai maksud Pemerintahan Allah di dunia inilah, Yesus mulai bicara mengenai Pemerintahan itu bukan sebagai sebuah peristiwa masa depan yang ekslusif yang harus kita nanti-nantikan. Kerajaan Allah adalah sebuah kenyataan sekarang ini. Kerajaan itu sudah datang di antara kita. Kita tidak harus menunggu tanda-tanda dan isyarat-isyarat (Mat 12:38-39 par). Kita dapat mengenali tangan-tangan Allah dalam peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi (Luk 11:20). Komunitas atau keluarga Allah adalah seperti ragi yang sedang bekerja di dunia (Mat 13:33 par). Keluarga Allah itu adalah biji sesawi yang akan tumbuh menjadi pohon yang jauh lebih besar (Mrk 4:31-32 par).

Di sini, sekali lagi Yesus menjungkirbalikkan penantian-penantian orang-orang sezaman-Nya. Apa yang sedang kita nantikan sudah ada di sini. Itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti berharap akan sebuah dunia yang lebih baik. Tetapi, pentinglah menyadari bahwa benih atau embrio dunia yang akan datang itu sudah berada di tengah-tengah kita.

Yesus juga melakukan penjungkirbalikan paham tentang Mesias: Yesus sangat berhati-hati untuk membiarkan diri-Nya disebut Mesias. Dia melarang murid-murid-Nya mengatakan hal itu kepada orang-orang karena Dia bukanlah Mesias seperti dipahami oleh kebanyakan dari mereka (Mat 16:20 par). Dia tidak memiliki maksud untuk dilayani oleh orang-orang. Dia juga tidak ingin murid-murid-Nya menjadi penguasa-penguasa yang dilayani oleh orang-orang lain. Dia ingin menjadi pelayan (Mrk 10:42-45 par). Sulit untuk membayangkan bagaimana anehnya pembalikan hubungan antara majikan dan pelayan seperti ini di telinga orang-orang yang sezaman dengan-Nya. Yohanes penginjil menampilkan hal ini dengan sangat jelas dalam kisah mengenai Yesus yang membasuh kaki murid-murid-Nya (Yoh 13:4-16).

Yesus tidak berusaha menghindari peran-peran penting yang krusial yang memang harus dimainkan-Nya. Dia berkhotbah, mengajar, dan memperkenalkan Kerajaan Allah, tetapi Dia akan melakukan semua itu dengan penderitaan dan kematian-Nya. Gambaran-Nya mengenai Mesias yang sejati adalah seorang hamba yang menderita sebagaimana digambarkan dalam Kitab Yesaya (Yes 52:13-53,12).

Pembalikan ini merupakan pembalikan paling radikal. Yesus tidak menjadi seorang Mesias penakluk yang jaya yang akan menghajar dan membunuh para penindas Israel, Mesias yang mempermalukan mereka dan menjadikan mereka sebagai korban untuk membebaskan umat-Nya. Dia akan menjadi jaya dengan dikalahkan, dengan ditangkap, dengan dicambuk, dengan direndahkan, dan dipaku pada salib seperti budak pemberontak atau seperti penjahat pada umumnya – dengan kematian yang paling memalukan dan paling tidak bermartabat yang dapat dibayangkan pada zaman itu.

Dia bukanlah seorang victor (pemenang), tetapi Dia adalah korban. Ini akan menjadi kemenangan-Nya yang paling besar. Kebenaran dan keadilan ada di pihak korban. Dalam kenyataan-Nya, di sinilah Allah ditemukan, yakni di pihak korban-korban dunia. Inilah yang selalu dinyatakan oleh Yesus.

René Girard memandang pembalikan antara korban dan pemenang sebagai jawaban akhir atas problem kekerasan. Alih-alih mengorbankan seseorang atau yang lain sebagai kambing hitam untuk menyelamatkan umat, Yesus menanggung dalam diri-Nya sendiri peran kambing hitam atau anak domba yang dikurbankan.

Dari sudut pandang dunia di sekitar-Nya, Yesus adalah sebuah kegagalan. Mereka menangkap-Nya, mengadili-Nya, dan menghukum-Nya karena pengkhianatan. Tidak ada sesuatu pun yang lebih menjungkirbalikkan dunia pada zaman-Nya selain menganggap kegagalan semacam ini sebagai sebuah kesuksesan. Adalah kehendak-Nya untuk gagal; dan itu telah merevolusi spiritualitas zaman. Kematian-Nya adalah kemenangan-Nya.

Kesediaan Yesus untuk mati bagi yang lain berarti bahwa Dia hidup, dan bahwa para pembunuh-Nya mati. Paradoks salib ini merupakan bagian sangat penting dalam spiritualitas-Nya. Dia menyatakan hal ini sebagai sebuah gurauan atau paradoks mengenai hidup dan mati yang tampak dalam berbagai bentuk di semua Injil. Hal itu dapat diringkas sebagai berikut: “Setiap orang yang menyelamatkan nyawanya akan kehilangan nyawanya. Setiap orang yang kehilangan nyawanya akan menyelamatkannya.”

Tidak sesuatu pun menentang sikap konvensional dalam hal ego daripada sikap Yesus ini. Ketika kita tidak bersedia menyerahkan hidup kita bagi yang lain, kita sudah mati. Ketika kita bersedia mati dengan orang lain, kita sungguh-sungguh hidup. Atau ketika kita tidak bersedia membiarkan ego kita pergi, kita mati. Ketika kita bersedia membiarkannya pergi, kita mulai hidup dengan kepenuhan hidup. Inilah mengapa segera sesudah penyaliban, Maria Magdalena dan kemudian murid-murid yang lain mengalami Yesus yang sungguh-sungguh hidup – Yesus yang bangkit dari antara orang mati. (Albert Nolan, 2009, h.94-101

Dari semua itu, apakah yang dapat kita katakan mengenai apa sesungguhnya yang telah dikerjakan Yesus?

Dari berbagai uraian di atas, kita telah melihat bagaimana Albert Nolan telah menggambarkan kritik radikal Yesus sebagai titik balik penjungkirbalikan dunia. Sebuah cara yang lebih akurat untuk menggambarkan hal ini mungkin dengan mengatakan bahwa Yesus menata dunia dalam keteraturan. Apa yang diperjuangkan oleh Yesus adalah sebuah dunia tanpa distorsi dan ilusi ego: sombong, iri, cemburu, berpusat pada diri sendiri, kepentingan diri, tanpa cinta, dan tanpa keterpisahan dari orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Yesus berbicara mengenai keteraturan dunia ini sebagai dunia Allah, sebagai Kerajaan Allah yang sedang terjadi. Kenyataannya, apa yang ditunjukkan oleh Yesus adalah dunia yang sejati. Kebijaksanaan konvensional kita adalah cinta diri. Cinta diri tidaklah natural dan kepentingan dirilah yang menjaga kelangsungan ekonomi dan memotivasi orang untuk menyelesaikan hal-hal besar. Tetapi bagi Yesus, itu bukanlah dunia yang sejati. Itu adalah dunia jungkir balik yang perlu ditata kembali.

Dunia baru yang dibuka-Nya akan tampak bagi orang-orang sezaman-Nya sebagai sesuatu yang tidak praktis, bodoh, dan tidak mendapat persetujuan dari otoritas yang sah. Paulus menggambarkannya sebagai paradoks kebijaksanaan Allah. “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang bukan Yahudi suatu kebodohan. …..Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Kor 1:22-23,25).

Yesus memasuki panggung di Palestina pada zaman itu dengan sebuah kesadaran baru, sebuah kebijaksanaan yang oleh Kitab Suci disebut sebagai kebijaksanaan Allah. (Albert Nolan, 2009, h. 101-102)

 

  1. Epilog

 

Apa yang disampaikan dalam tulisan ini hanyalah sekedar contoh dari satu tindak semiosis (tindak pemaknaan) terhadap Yesus yang kita kasihi. Mungkin bukan contoh terbaik yang bisa diberikan. Tapi, setidaknya, itulah yang dapat kami kerjakan saat ini. Semoga dapat menginspirasi pembaca untuk mengadakan tindakan semiosisnya sendiri menurut minat, kapasitas potensi, bakat dan tingkat kecerdasannya masing-masing.

Setiap orang memiliki pengalaman, kebudayaan dan ideologinya masing-masing. Semua itu akan mempengaruhi corak penafsiran dan pemahamannya sendiri yang khas pula atas setiap teks yang dijadikan sasaran penafsirannya. Alangkah baik dan indahnya jika setiap kita tergerak untuk senantiasa melakukan aktus hermeneutis (kegiatan menafsirkan) –nya masing-masing.

Jika masing-masing orang bersemangat melakukan tindak semiosisnya sendiri maka, secara keseluruhan, kita nantinya pasti akan sangat diperkaya dalam hal makna dari iman yang kita gumuli saat ini. Pada gilirannya, semua itu tentu niscaya akan kian memperteguh serta menyemarakkan corak kehidupan keagamaan kita. Semoga pengharapan ini mendapatkan sambutan yang positif dari kita semua.

Selamat menafsirkan!!! Have a good and happy hunting……

 

 

Semplak, 20 April 2020

 

 

SUMBER RUJUKAN

 

  1. Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2003
  2. Miriam Therese Winter, Injil versi Maria: Perjalanan Hidup Yesus dari Perspektif Perempuan, Jakarta: Fidei Press, 2012
  3. Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (Ed), Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1992
  4. Y.M.Seto Marsunu, Pesan Tuhan dalam Perumpamaan, Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2015
  5. Albert Nolan, Jesus Today, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009

 

 

 

 

 

 

 1,684 total views,  3 views today