Aku berkata kepadamu: “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat. 18:18).

 

***

 

Reformasi Gereja. Konsili Vatikan II sebenarnya mau mendorong reformasi struktur-struktur Gereja. Penegasan bahwa Gereja adalah umat Allah, bahwa pusat Gereja adalah Ekaristi, bahwa seluruh umat adalah Gereja dan bukan hanya para uskup dan imam, bahwa bukan hanya kaum rohaniwati dan rohaniwan dipanggil ke hidup kesempurnaan, melainkan segenap warga Gereja, ajaran tentang kolegialitas Gereja dan bahwa Paus melaksanakan kepemimpinannya dalam persatuan dengan para “kolega”, para uskup, penegasan tentang wewenang uskup sebagai pengganti para rasul, jadi bahwa uskup bukan sekedar karyawan Paus, melainkan memimpin keuskupannya atas kekuasaan yang diterima dalam tahbisannya, pembaruan liturgi yang a.l. menegaskan peran dan wewenang Gereja lokal: Itu semua bermaksud mereformasikan Gereja dari bentuk suatu monarki sentralistik menjadi umat Allah dalam Roh Kudus yang berziarah di dunia ini.

 

Reformasi itu gagal. Belum pernah dalam sejarahnya Gereja Katolik sedemikian sentralistik seperti sekarang. Segala hal yang penting ditentukan di Roma, bahkan apakah terjemahan liturgi dari bahasa Latin ke dalam bahasa Indonesia tepat atau tidak. Para uskup harus tunduk terhadap Curia Romana (Kuria Roma, nama bagi aparat pemerintahan Paus di Roma). Uskup bisa dipanggil ke Roma oleh Kuria.

 

Sentralisme itu tidak mempunyai dasar apa pun dalam Kitab Suci dan merupakan perkembangan keliru yang baru memuncak sejak dua abad yang lalu. Paus Fransiskus telah mengangkat komisi Kardinal untuk mereformasikan Kuria, tetapi rupa-rupanya kemajuannya sulit. Aparat – di mana pun  kalau sudah ada punya daya tahan luar biasa, seorang Paus pun bisa patah gigi.

 

Perlunya reformasi itu disadari luas di dalam Gereja. Selain reformasi Kuria, ada beberapa hal yang menunggu ditangani. Misalnya: Sekarang semua uskup di seluruh dunia diangkat oleh Paus, atas dasar masukan yang diberikan Nuntio (wakil diplomatik Paus dalam masing-masing negara). Padahal ratusan tahun lamanya uskup diangkat secara lokal, kadang-kadang oleh umat, kadang-kadang oleh raja. Pengangkatan oleh Paus tak perlu dihapus, tetapi mengapa bukan konferensi uskup di negara yang bersangkutan yang mengusulkan calon uskup baru ke Paus? Apa tidak baik kalau pendapat umat dalam keuskupan yang bersangkutan juga diperhatikan? Sudah disebutkan bahwa terjemahan teks-teks liturgi harus disetujui, dan sering masih diubah, di Roma. Tak ada alasan apa pun mengapa konferensi uskup yang bersangkutan tidak dapat memutuskannya, dan malah dengan lebih baik karena merekalah yang tahu bahasa yang dipakai. Kalau ada yang merasa keberatan, ia dapat diizinkan mengajukan aduan ke Vatikan apabila para uskup yang bersangkutan tidak mau mendengar.

 

Tetapi reformasi Gereja bukan hanya menyangkut struktur pemerintahannya. Ada yang lebih mendesak. Sulit disangkal bahwa Gereja Katolik jauh terlalu klerikal. Dorongan Konsili untuk melibatkan awam dalam kegiatan Gereja memang mempunyai hasil. Sudah banyak hal yang sekarang dilakukan oleh awam dalam paroki, dalam gereja, di waktu ibadat. Tetapi kenyataan dasar, bahwa segala keputusan dalam gereja masih terletak di tangan para uskup dan imam tertahbis, tidak berubah.

 

Yang masih memerlukan sebuah reformasi – Paus Fransiskus terus-menerus menunjuk arahnya – adalah legalisme dalam Gereja Katolik. Dalam seribu tahun terakhir Gereja Katolik menetapkan segala segi kehidupannya dalam bentuk hukum: struktur-strukturnya, dosa, keutamaan. Dan semua kasus – orang boleh menerima komuni atau tidak, seksualitas, hubungan dengan orang-orang di luar Gereja Katolik – diputuskan seperti dalam perkara pengadilan dari apakah sesuai dengan hukum Gereja. Kerahiman, perhatian pada situasi khusus seseorang atau sepasang orang, perubahan konteks, itu semua mudah tersingkir atas nama hukum yang berlaku. Dalam Injil tak ada hukum seperti itu. Dalam Injil ada kasih dan kerahiman.

 

Dalam hubungan ini salah satu unsur kunci adalah selibat, ketentuan Gereja Katolik Roma bahwa para imam tidak boleh kawin. Ketentuan itu tidak mutlak – imam-imam dalam Gereja Timur yang bersatu dengan Gereja Katolik boleh berkeluarga, dan di Gereja Katolik Roma ada lebih dari seratus mantan pendeta Protestan atau Anglikan yang kemudian ditahbiskan imam dalam Gereja Katolik dan tetap boleh hidup berkeluarga. Selibat itu hukum Gereja, bukan hukum yang diberikan Yesus, ditetapkan dalam Konsili Lateran II 1139, dan dapat ditarik kembali. Sekarang jumlah imam tidak hanya di dunia Barat menurun cepat. Semakin sulit Gereja menjamin bahwa setiap umat dapat merayakan Ekaristi pada hari Minggu. Paus Paulus VI pernah mempertimbangkan kemungkinan bahwa pria yang berkeluarga dapat ditahbiskan imam, tetapi kemudian tidak meneruskannya. Dapat misalnya dibayangkan bahwa Gereja tidak menghapus selibat, tetapi di samping imam selibater juga menahbiskan pria berkeluarga untuk menjadi imam dengan yurisdiksi (hak menjalankan jabatannya) terbatas: Ia dapat dan boleh memimpin perayaan Ekaristi, ia juga boleh memberikan sakramen-sakramen lain, tetapi hanya dalam paroki dimana ia ditugaskan. Imam dengan wewenang terbatas tidak perlu purna waktu dan tidak perlu studi filsafat maupun teologi penuh. Ia boleh memimpin perayaan sakramen pengampunan dosa umat bersama, tetapi tidak boleh menerima pengakuan dosa individual (karena pendidikannya tidak memadai untuk itu).

 

Lantas muncul pertanyaan yang semakin diajukan: Kapan Gereja Katolik menahbiskan imam wanita? Paus Yohanes Paulus II (dan tidak hanya beliau) menyatakan dengan tegas bahwa Gereja tidak berhak/mampu untuk menahbiskan imam wanita karena tidak diberi wewenang oleh Yesus. Tetapi semakin banyak teolog tidak yakin akan argumen ini. Betul, Yesus hanya memanggil laki-laki menjadi 12 rasulnya. Tetapi apa itu berarti bahwa kalau situasi berubah, perempuan tidak dapat dipanggil juga? Bukankah Yesus memberikan wewenang kepada para rasul: “Apa yang kamu ikat di dunia, akan diikat di surga, dan apa yang kamu lepaskan di dunia, akan dilepaskan di surga” (Mat. 18:18)? Apa dasar anggapan bahwa Gereja tidak dapat melepaskan ikatan imamat pada pria sehingga wanita pun dapat ditahbiskan? Pertanyaan ini di sini tidak dapat dijawab. Perlu diperhatikan bahwa andaikata Gereja Katolik menahbiskan wanita menjadi imam, perpisahan dengan Gereja Ortodoks akan menjadi sangat mendalam karena Gereja-gereja itu juga keras menolak penahbisan wanita.

 

***

 

       Homo Homini Lupus

        oleh: Eka Budianta

 

Seorang wanita

Yang semula

Membayangkan dirinya

Sebagai bulan purnama

Tiba-tiba merasa

Menjadi bulan-bulanan

Ketika perbukitan

Yang selalu ia rindukan

Ternyata hutan belukar

Yang penuh monyet-monyet lapar

Menjerit-jerit dan mencakar-cakar

 

 

          leuwigajah

       oleh: Wiji Thukul

 

leuwigajah berputar

dari pagi sampai pagi

jalan-jalan gemetar

debu-debu membubung

dari knalpot kendaraan pengangkut

 

mesin-mesin terus membangunkan

buruh-buruh tak berkamar mandi

tidur jejer-berjejer alas tikar

tanpa jendela, tanpa cahaya matahari

lantai-dinding dingin, lembap, pengap

 

lidah-lidah penghuni rumah kontrak

terus menyemburkan cerita buruk:

lembur paksa sampai pagi, upah rendah

jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan

kencing dilarang, sakit ongkos sendiri

mogok? pecat!

seperti nyabuti bulu ketiak

 

tubuh-tubuh muda

terus mengalir ke leuwigajah

seperti buah-buah disedot vitaminnya

 

mesin-mesin terus menggilas

memerah tenaga murah

satu kali dua puluh empat jam

masuk, absen, tombol ditekan

dan truk-truk pengangkut produksi

meluncur terus ke pasar

 

leuwigajah tak mau berhenti

dari pagi sampai pagi

cerobong asap terus mengotori langit

limbah mengental selokan berwarna

 

leuwigajah terus minta darah tenaga muda

leuwigajah makin panas

berputar dan terus menguras

tenaga-tenaga murah

 

(bandung-solo, 21 mei – 16 juni)

 

 

          Minggu Pagi di Sebuah Puisi

                    oleh: Joko Pinurbo

 

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami

kisah Paskah ketika hari masih remang dan hujan,

hujan yang gundah sepanjang malam,

menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi,

pergi berbasah-basah ke sebuah ziarah.

 

Bercak-bercak darah bercipratan

di rerumpun aksara di sepanjang via dolorosa.

Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.

Sepasang perempuan (: sepasang kehilangan)

berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.

 

“Ibu akan ke mana?” perempuan muda itu menyapa.

“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:

tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu

sambil menunjukkan potret anaknya.

“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:

surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.

 

Gadis itu Maria Magdalena, artinya:

yang terperkosa. Lalu katanya, “Ia telah

menciumku sebelum diseret ke ruang eksekusi.

Padahal Ia cuma bersaksi bahwa agama dan senjata

telah menjarah perempuan lemah ini. Sungguh Ia

telah menciumku dan mencelupkan jariNya

pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;

pada dinding gua yang pecah-pecah, yang lapuk;

pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”

 

Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami

kisah Paskah ketika hari mulai terang, kata-kata

telah pulang dari makam, iring-iringan demonstran

makin panjang, para serdadu berebutan

kain kafan, dan dua perempuan mengucap salam:

“Siapa masih berani menemani Tuhan?”

 

 

                                                             (1998)

 

 

 

 

 

 

 

 

 873 total views,  6 views today