“Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” (Lukas 12: 47-48)

 

***

 

Konsili Vatikan II. Dalam sambutan pembukaan konsili pada tanggal 11 Oktober 1962, Paus Yohanes membuat jelas apa yang dikehendakinya: bukan dogma-dogma baru, melainkan agar Gereja “membuka jendela ke dunia” dan melakukan suatu aggiornamento, suatu penyesuaian dengan tuntutan zaman. Curia, aparat Vatikan yang sangat konservatif, sebenarnya mempersiapkan teks-teks yang tinggal disetujui oleh uskup-uskup konsili itu, akan tetapi di hari-hari pertama teks-teks itu sudah ditolak oleh para uskup, dan Paus Yohanes mendukung. Mengikuti petunjuk Paus Yohanes, Konsili tidak mengutuk ajaran dan gerakan apa pun. Komunisme pun tidak dikutuk, bukan seakan-akan komunisme tidak bermasalah – Gereja tetap menolak ateisme dan komunisme, inti ajaran resmi Marxisme-Leninisme – melainkan untuk membuat jelas bahwa Gereja bersedia bicara dengan siapa pun.

 

Di sini hanya dapat diberi garis-garis paling besar. Yang paling mendasar: para bapa konsili mengubah visi tentang Gereja. Dari sebuah benteng yang melawan kesesatan-kesesatan zaman, gereja dipahami oleh Konsili sebagai umat Allah dalam peziarahan di dunia yang dipanggil memancarkan cahaya Ilahi kepada para bangsa (Lumen Gentium). Konsili menegaskan bahwa Gereja bukan pertama-tama Paus, para uskup, dan aparat lain, melainkan seluruh umat mereka yang dibaptis. Tripanggilan Gereja – menjadi guru, gembala, dan imam – adalah panggilan seluruh umat, sedangkan para uskup dan pembantu mereka, para imam, mengabdikan diri secara khusus pada pelayanan umat itu. Seluruh umat, dan bukan hanya para rohaniwan dan rohaniwati, dipanggil ke jalan kesempurnaan. Konsili menegaskan peran kaum awam dalam pengabdian Gereja.

 

Dobrakan paling terasa oleh umat adalah pembaruan liturgi ( = ibadat resmi Gereja). Tujuan pembaruan itu adalah agar seluruh umat terlibat dalam liturgi dan bukan hanya segelintir orang (mereka yang bisa bahasa Latin). Maka selain bahasa Latin, boleh juga dipakai bahasa setempat. Konsili mendesak agar bentuk-bentuk misa dan sakramen diwujudkan sedemikian rupa sehingga makna universal mereka dapat dihayati dalam budaya-budaya yang begitu berbeda di dunia. Misa kudus dalam bahasa Indonesia dan bukan lagi dalam bahasa Latin adalah hasil Konsili Vatikan II yang paling langsung terasa oleh umat Katolik Indonesia.

 

Konsili juga menyatakan sikap positif Katolik terhadap Gereja Ortodoks dan Gereja Protestan, dan dengan demikian mengakhiri ratusan tahun saling curiga dan bahkan saling memusuhi. Paus Paulus VI (1963-1978) dan Batrik Konstantinopolis Athenagoras (1886-1972) pada tahun 1965 bersama-sama mencabut ekskomunikasi dari tahun 1054. Melalui konstitusi Dei Verbum Konsili memberikan kembali tempat sentral kepada Kitab Suci dalam orientasi iman Gereja Katolik.

 

Pernyataan yang barangkali paling penting, yang belum pernah dinyatakan, namun yang sudah sejak beberapa abad semakin diyakini dalam Gereja Katolik, dimuat pasal 16 konstitusi Lumen Gentium. Di situ Gereja Katolik secara resmi menyatakan bahwa Allah menawarkan keselamatan bukan hanya kepada mereka yang dibaptis, melainkan kepada semua orang tanpa kecuali, termasuk mereka yang tanpa kesalahan pribadi sama sekali tidak percaya pada Allah, asal saja mereka berusaha untuk hidup menurut hati nurani mereka (LG 16). Dalam bahasa sederhana: Gereja menyatakan bahwa juga orang Islam, orang Buddha, dan bahkan orang ateis bisa masuk surga. Pepatah kuno extra ecclesiam nulla salus (“di luar Gereja tidak ada keselamatan”) tidak lagi berlaku.

 

Sikap Gereja terhadap dunia luar dipaparkan dalam konstitusi besar Gaudium et Spes. Konsili menyampaikan di dalamnya bahwa “kegembiraan dan harapan, kesedihan dan kekhawatiran” umat manusia dirasakan juga oleh gereja dan bahwa Gereja mau ikut menanggulanginya. Di dalamnya, Gereja menyatakan dukungannya pada cita-cita luhur manusia modern seperti perdamaian dan penolakan perang, keadilan sosial, hak-hak asasi manusia, pemerintahan yang demokratis, dan otonomi dunia yang wajar.

 

Ada dua dekrit Konsili yang tak kurang revolusioner: yang satu, Dignitatis Humanae, Gereja memberikan dukungan penuh kepada kebebasan beragama – suatu perubahan total terhadap sikap Gereja di abad ke-19 – dan dalam yang satunya, Nostra Aetate, Gereja mengajak umat Katolik untuk bersikap positif terhadap agama-agama lain serta menghargai segala apa yang “benar dan suci”, dengan menyatakan penghargaan khusus terhadap monoteisme Islam.

 

(Franz Magnis-Suseno, SJ; seorang Imam Yesuit, filsuf dan budayawan Katolik)

 

***

 

                puisi dua matahari

                oleh: Wiji Thukul

 

 

suatu hari aku bertamu ke rumah paman matahari

tidak disuguhi apa-apa malah dia bercerita:

banyak orang telah menjadi manusia

karena pernah kubakar budinya

dan kugosok-gosok hatinya dengan

hilkmahku

“aku juga ingin, paman”

paman matahari senyum-senyum dan lantas tinggalkan aku

dengan cemas aku memburunya

“pergi ke mana, paman?”

“katanya ingin jadi manusia ….”

lenyaplah kemudian paman maatahari

 

sejak itu aku belajar sendiri hampir putus asa

tapi tidak

 

suatu fajar pagi paman matahari muncul Kembali

“paman aku menemukan lagi satu matahari!”

“benar, nak. itu adalah dirimu sendiri”

sejak itu aku hidup dengan dua matahari:

matahari yang muncul di setiap pagi

dan matahari yang ada di dalam diriku sendiri.

 

 

 

Anak Seorang Perempuan

oleh: Joko Pinurbo

 

 

Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya.

 

Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah penyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, “Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?”

 

Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.

 

Kini Ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: “Anak seorang perempuan!”

 

 

 

               JARAK

     oleh: Sapardi Djoko Damono

 

 

dan Adam turun di hutan-hutan

mengabur dalam dongengan

dan kita tiba-tiba di sini

tengadah ke langit: kosong-sepi …..

 

 

 

 600 total views,  3 views today