oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

0. Pengantar

 

Tahun 2009, Penerbit Kanisius mempublikasikan sebuah buku yang ditulis oleh Albert Nolan, OP yang berjudul “Jesus Today”. Pada pokoknya buku tersebut hendak menyampaikan gagasan, bahwa di sebuah dunia yang haus akan spiritualitas, kepada kita ditawarkan sebuah spiritualitas yang berdasar pada hidup Yesus, spiritualitas-Nya sendiri. Spiritualitas tersebut adalah pertama-tama spiritualitas kemerdekaan yang radikal. Di sana juga dipaparkan mengenai bagaimana kita dapat mentransformasi diri kita menuju keberadaan diri yang bersandar pada spiritualitas yang diwartakan oleh Yesus dari Nazaret.

Isi buku tersebut terdiri dari empat bagian, yang masing-masingnya kemudian diuraikan dalam sejumlah bab penalaran. Bagian pertama mengambil tema “Tanda-tanda Zaman Kita”. Bagian kedua, “Spiritualitas Yesus”. Bagian ketiga, “Transformasi Personal”. Dan, bagian keempat, mengambil tema “Yesus dan Pengalaman akan Ketunggalan.” Tulisan ini sendiri merupakan sebuah ringkasan dari empat bab pertama yang membentuk keutuhan dari bagian pertama buku tersebut.

Apa yang akan disampaikan berikut ini adalah sebuah kilasan yang mengungkapkan tentang tanda-tanda zaman kita yang sungguh kompleks dan selalu berubah. Ia berisi sebuah paparan tentang apa yang sedang terjadi hari ini sehingga memungkinkan kita melihat tanda-tanda zaman kita yang mengejutkan karena kita sekarang dapat melihat bahwa kita sedang hidup di pinggiran kekacauan, tetapi juga bahwa sebuah lompatan ke depan dalam sejarah dan evolusi kita tampaknya sedang menjadi sebuah kemungkinan nyata.

Ada 4 bidang pengalaman pokok masyarakat dunia yang ditunjuk Albert Nolan, OP sebagai yang telah menandai zaman kita sekarang ini: pertama, “haus akan spiritualitas”; kedua “krisis individualisme”; ketiga, “globalisasi dari bawah”; dan keempat, “ilmu pengetahuan setelah Einstein”. Pemahaman atas keempat hal pokok tersebut semoga akan membantu kita dalam membangun pengertian tentang apa yang kita maksud dengan “zaman ini”.

 

  1. Haus akan Spiritualitas

 

Dipublikasikan pada awal 2004, The Da Vinci Code karya Dan Brown menjadi novel yang terjual paling banyak di dalam sejarah. Dalam novel Dan Brown itu, rahasia besar – yang ditutup rapat selama dua ribu tahun, tetapi diturunkan di dalam kode yang diberitahukan hanya kepada sedikit orang – adalah bahwa Yesus menikahi Maria Magdalena dan mereka mempunyai anak bernama Sarah, dan bahwa garis keturunan rajawi ini terus berlangsung sampai hari ini. Kisah ini menuju pada jalan cerita penuh intrik, terutama dalam pandangan minat-minat studi aktual mengenai peran Maria Magdalena dalam Gereja perdana.

The Da Vinci Code merupakan sebuah novel historis. Tetapi, novel ini memuat kesalahan-kesalahan sejarah dan menampilkan ketidakmengertian ketika novel ini mengisahkan sejarah seni dan struktur-struktur Gereja Katolik. Novel ini telah memunculkan hujan kritik dari para akademisi, pejabat-pejabat Gereja, para teolog, dan terutama para sejarawan. Tetapi, semua ini tampak hanya semakin meningkatkan daya tariknya.

Namun demikian, arti penting The Da Vinci Code tidak harus ditemukan dalam keakuratan atau ketidakakuratan isinya, melainkan dalam keakuratan buku sebagai sebuah barometer mengenai di mana kita berada sekarang dan orang-orang seperti apakah yang tampak.

Popularitas novel tersebut agaknya menyingkapkan bahwa semakin banyak orang, terutama orang-orang muda, yang telah meninggalkan semua kepastian tentang masa lampau: kepastian-kepastian religius, kepastian-kepastian ilmiah, kepastian-kepastian kultural, kepastian-kepastian politik, dan kepastian-kepastian historis. Segalanya dipertanyakan. Mereka merasa bahwa orang tidak dapat lagi memercayai apa pun yang sedang dikatakan dan yang sudah dikatakan selama berabad-abad oleh berbagai macam otoritas. Zaman kita adalah zaman skeptisisme yang tidak ada sebelumnya. Sebuah opini adalah sama bagusnya dengan yang lain. Yang dapat dikatakan adalah, beberapa opini sudah usang dan membosankan, sedangkan yang lain menarik.

Para pembaca terpesona pada The Da Vinci Code karena novel ini memperlakukan dengan kasar kepastian-kepastian atau kepastian-kepastian yang diandaikan tentang masa lalu dan menawarkan sebuah cerita yang lebih membangkitkan minat. Penyingkapan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi pada masa lampau tidaklah menarik minat. Penyingkapan itu bisa benar dan bisa juga salah, tetapi minimal tidak diperbudak untuk mengikuti otoritas yang tidak bisa salah, baik religius maupun sekuler. The Da Vinci Code dialami sebagai sesuatu yang membebaskan imajinasi untuk memahami sekian banyak kemungkinan-kemungkinan lain. Novel ini membebaskan pikiran dan apa yang dianggap sebagai kekangan kepastian-kepastian dan dogma-dogma yang dipaksakan.

Para akademisi menyebut cara berpikir ini posmodernisme, dan popularitas the Da Vinci Code merupakan barometer atau ukuran mengenai betapa tersebarnya cara berpikir ini. Ini adalah sebuah tanda zaman kita.

 

Modernitas merupakan era pemikiran yang bermula dengan apa yang secara umum dikenal dengan enlightment (pencerahan). Ini terjadi kurang lebih bersamaan dengan era ilmiah yang dibangun oleh cara pandang mekanistis Newton. Pada mulanya zaman ini ditandai oleh berbagai optimisme: kepastian absolut bahwa kemajuan ilmu, teknologi, dan budi akan mengatasi semua problem manusia, dan bahwa kepercayaan-kepercayaan religius pramodern serta keyakinan akan hal-hal gaib akan berangsur-angsur menghilang. Tetapi apa yang kemudian terjadi?

Secara bertahap, selama paro pertama abad XX, bangunan rumah-rumah kartu modernitas mulai runtuh. Bahkan negara-negara industri yang paling maju, seperti Jerman di bawah Nazi dan negara-negara Fasis di seluruh dunia mulai bertindak tidak rasional dan tidak manusiawi. Kekerasan, kejahatan, dan metode-metode penyiksaan mereka tidak dapat dibingkai dengan cita-cita kemajuan manusiawi. Pada saat yang sama, blok negara-negara komunis, dengan bentuk modernitasnya sendiri dan dengan visinya sendiri mengenai kemajuan manusia, mulai mengungkapkan beberapa bentuk totalitarianisme dan penindasan. Menjelang akhir abad, rezim-rezim ini tumbang dan meninggalkan bagi kita sebuah kekuatan adikuasa yang sekarang tampak bersikeras berpegang pada perang untuk menghapus terorisme sementara ia mengabaikan kerusakan ekologis bumi ini. Singkat kata, semua struktur kekuasaan yang ada menjadi problematis dan hanya menyisakan ketakutan tentang nasib umat manusia yang berada di ujung kekacauan dan kemungkinan kepunahan global.

Tidak mengherankan bahwa kita sekarang memiliki sebuah generasi yang skeptik mengenai segala macam ideologi. Tidak ada sebuah grand narrative, kata mereka. Tidak ada skema untuk menyelamatkan dunia. Semua tidak berjalan.

Ideologi-ideologi religius juga sudah mengalami nasib serupa. Skandal-skandal telah mengguncang Gereja-gereja dan menghancurkan otoritas. Bagi banyak orang sekarang ini, semua otoritas religius tampak menjadi ekslusif, memecah, dan opresif (terutama terhadap wanita). Di lain pihak, rsionalisme ilmiah mengenai masa lampau yang menyingkirkan semua keajaiban juga sedang dipertanyakan. Ada sebuah ketertarikan pada drakula, mahluk asing, magi, klenik, atau dunia paranormal. Orang tidak perlu memercayai hal-hal ini. Mereka cukup dibuat terpesona saja. Dari situ, muncul interese fenomenal pada Harry Potter, penyihir kanak-kanak, dan tulisan-tulisan lain yang serupa.

Sesungguhnya, apa yang sedang dialami secara mendalam oleh sebagian besar orang pada zaman sekarang adalah rasa tidak aman. Apa yang muncul untuk kita dengar adalah kabar-kabar buruk: peperangan, pembunuhan, penyalahgunaan, kekerasan institusional, terorisme, dan juga perusakan lingkungan hidup, tidak untuk menyebut gempa bumi, tsunami, dan badai. Berhadapan dengan semua itu, rasa tidak aman dan kehabisan pengharapan tidak dapat dihindarkan. Sebagian besar manusia sekarang ini hidup dalam pengharapan yang tertekan seraya berusaha menemukan jalan-jalan untuk memisahkan diri mereka dari kenyataan-kenyataan berat zaman kita. Joanna Macy, seorang penulis spiritual, menulis: “Ketakutan akan apa yang sedang terjadi pada nasib kita terletak pada pinggiran kesadaran, begitu dalam untuk disebut dan begitu menakutkan untuk dihadapi.”

Pada masa lampau, sebagian besar orang memercayakan diri pada kepastian-kepastian dan praktik-praktik budaya mereka masing-masing. Sekarang, semua budaya tradisional secara pelahan-lahan sedang saling terpisah: budaya-budaya Barat, budaya-budaya Afrika, budaya-budaya Asia, dan budaya-budaya asli yang lebih kecil. Tidak ada sesuatu lagi bagi orang untuk bergantung. Kita pelahan-lahan sedang tenggelam.

Beberapa lari ke alkohol dan obat-obatan. Beberapa orang bunuh diri. Beberapa orang masih tetap menemukan keamanan dalam kemakmuran dan harta. Dan yang lain dengan cara yang dapat dimengerti menggunakan olahraga, pertunjukan, atau juga seks untuk mengalihkan perhatian dari kekhawatiran-kekahawatiran hidup.

Sebuah respon yang sangat kuat terhadap ketidakpastian-ketidakpastian hidup pada zaman posmodern kita ini adalah usaha untuk kembali ke masa lalu. Fundamentalisme dan neokonservatisme – baik itu yang bersifat religius maupun politis— adalah sebagian ciri yang menandai zaman ini.

Fundamentalisme merupakan sebuah usaha kuat, menarik dan sekaligus berbahaya untuk kembali ke dasar-dasar masa lampau, atau kepada apa yang tampaknya telah menjadi dasar-dasar masa lampau. Pada masa lampau ada kepastian, otoritas, dan kebenaran absolut. Semua ini muncul hampir di dalam semua dogma religius. Maka tidak mengherankan bahwa dalam situasi ketidakpastian dan ketidakamanan sekarang ini, kita menemukan orang-orang yang masuk ke dalam fundamentalisme religius: fundamentalisme Kristen, fundamentalisme Islam, fundamentalisme Hindu, dan fundamentalisme Yahudi. Masing-masing fundamentalisme berbeda dan sering berada dalam konflik terbuka dengan paling tidak beberapa fundamentalisme yang lain. Apa yang dimiliki bersama adalah kepercayaan pada otoritas yang menyediakan kebenaran-kebenaran absolut, yakni kebenaran-kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan dan tidak dapat diragukan. Inilah jenis keamanan yang mereka tawarkan bagi dunia yang sangat tidak pasti.

Neokonservatisme adalah sebuah tanggapan yang lain terhadap ketidakamanan zaman kita yang menakutkan. Ini juga kembali ke masa lalu, kembali ke prinsip-prinsip, praktik-praktik, kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan, dan kesadaran identitas yang membuat beberapa dari kita merasa begitu aman dan pasti di masa lampau. Sebuah contoh yang baik adalah usaha neokonservatisme di dalam Gereja Katolik yang mengikuti reformasi-reformasi Konsili Vatikan II setelah tahun 1965.

 

Tetapi, ada sebuah tanggapan yang lain terhadap posmodernisme, sebuah tanggapan yang memperoleh momentumnya setiap hari, yakni pencarian akan sebuah spiritualitas yang tepat. Pencarian baru akan spiritualitas, kehausan mendalam akan spiritualitas, merupakan satu dari tanda-tanda zaman ini.

Kebutuhan atau kehausan akan spiritualitas ini dialami dalam berbagai cara. Beberapa mengalaminya sebagai kebutuhan akan sesuatu yang memberi mereka kekuatan batin untuk menguasai hidup, atau kedamaian pikiran dan kemerdekaan dari perasaan-perasaan takut dan khawatir. Yang lain mengalami diri mereka runtuh dan membutuhkan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Ada juga rasa terluka, disakiti, hancur, dan butuh kesembuhan. Tampaknya, beberapa merasa terpotong dan terisolasi dari orang-orang lain dan dari alam. Mereka merindukan hubungan dan harmoni. Semakin banyak orang, terutama orang muda, merasa butuh untuk berkontak dengan misteri yang mengatasi apa yang dapat kita lihat, dengar, cium, rasakan, sentuh, atau pikirkan, di atas batasan-batasan materialisme mekanistik. Beberapa orang mengalami kehausan akan spiritualitas sebagai kerinduan akan Allah.

Satu dari perkembangan-perkembangan paling penting zaman kita adalah keterpisahan spiritualitas dari agama. Diarmuid O’Murchu, juga yang lain-lain, berpendapat bahwa sementara spiritualitas sudah ada bersama kita sedari awal, agama baru diperkenalkan lima ribu tahun yang lalu, dan agama secara perlahan akan menghilang karena spiritualitas sekarang ini sedang mekar di luar agama-agama besar dunia.

Sementara sesuatu yang sangat penting terjadi di sini, Albert Nolan sendiri tidak berpikir bahwa membangun sebuah dikotomi antara kata “spiritualitas” dan “agama” sebagai sesuatu hal yang berarti di dalam pencarian kita akan tanda-tanda zaman kita ini. Peneliti seperti Mircea Eliade menyebut apa yang telah terjadi sejak semula sebagai agama, dan para filsuf postmodern, seperti Jaques Derrida menulis tentang apa yang sedang terjadi sekarang di luar Gereja dan institusi apa pun sebagai agama atau pengalaman religius. Apa yang sedang kita kenal adalah institusi-institusi religius cenderung menjadi fosil, legalistik, dogmatis, dan otoritarian. Tetapi apa pun sebutan yang kita pilih, ada sebuah kehausan yang sangat kuat akan spiritualitas sekarang ini yang tidak didapatkan pemenuhannya di dalam gereja kita, di masjid, di sinagoga, atau di tempat-tempat ibadah.

Penelitian David Tacey tentang spiritualitas kaum muda Australia sekarang dapat membantu kita untuk mengerti apa yang sedang terjadi di antara kaum muda di seluruh dunia. Kaum muda zaman sekarang yang sudah tersekularisasi sedang berusaha mengatasi cara pandang ilmiah dan mekanistik dalam pencarian akan sebuah misteri besar yang menyokong semua itu. Kata mereka, ini adalah sesuatu yang tidak mereka alami di dalam Gereja-gereja tradisional mereka. Semua yang mereka temui di sana adalah pengajaran-pengajaran otoritarian, ritual-ritual yang hampa, dan dualisme. Dualisme badan-jiwa tidaklah berarti bagi kaum muda postmodern. Mereka menginginkan sebuah spiritualitas yang memasukkan juga badan dan seksualitasnya.

Pengalaman Albert Nolan akan kaum muda, baik hitam maupun putih, di sekolah dan universitas lebih dari tiga puluh tahun menunjukkan bahwa tidak seorang pun dari mereka, kecuali mereka yang fundamentalistis dan orang-orang beriman neokonservatif, yang masih tertarik pada doktrin dan dogma. Sukses fenomenal Taizé, biara ekumenis, dan pusat retret di Perancis, di mana sepanjang tahun ribuan kaum muda berkumpul selama seminggu, adalah karena kebebasan yang diberikan. Tidak ada doktrin dan dogma yang dipaksakan. Tidak ada khotbah dalam liturgi-liturgi yang panjang. Kaum muda berkumpul dalam kelompok-kelompok untuk mendiskusikan spiritualitas dan Kitab Suci atau apa pun yang mereka inginkan. Ada waktu panjang untuk hening, doa, serta lagu-lagu. Pelayanan-pelayanan kebaktian itu sederhana dan terus diulang. Apa pun yang kita rasakan tentang semua itu haruslah dikenali sebagai satu dari tanda-tanda zaman kita.

 

2. Krisis Individualisme

 

Cita-cita kultural dunia industri Barat adalah individu-individu self-made, cukup diri, otonom yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan siapa pun yang lain (kecuali untuk urusan seks), dan tidak terikat oleh siapa pun untuk urusan apa pun. Dia dapat berkonsultasi ke dokter atau terapis atau ahli hukum. Tetapi karena pelayanan-pelayanan ini dibeli, orang masih dapat memandang dirinya sendiri sebagai otonom. Memiliki uang sendiri merupakan sesuatu yang penting untuk menjaga otonomi semacam ini.

Inilah karier-isme dan kesibukan yang mewarnai gaya hidup otonom. Inilah cita-cita yang dihidupi dan diusahakan oleh orang-orang. Inilah tujuan hidup mereka, dan mereka akan mengorbankan apa pun untuk mencapainya. Itulah cara bagaimana Anda “memperoleh hidup untuk diri Anda sendiri”. Itulah cara bagaimana Anda menemukan identitas Anda. Seorang penulis menggambarkan “Dunia Barat berpandangan bahwa seorang individu memperoleh identitas aslinya hanya jika sungguh-sungguh terpisah dari yang lain dan dari dunia yang melingkupinya”. Kemerdekaan dan kebahagiaan disamakan dengan ketidaktergantungan dan kepenuhan diri.

Dari sudut pandang semua budaya yang lain di dunia, dahulu dan sekarang, hal ini sungguh tidak bisa dimengerti. Di dalam budaya-budaya lain, pribadi yang terpisah dan terisolasi dari komunitas akan dianggap sebagai sangat tidak beruntung. Kesalingtergantungan dan ikatan sosial merupakan nilai-nilai sangat dihargai. Di Afrika, kami berkata, “seseorang menjadi seseorang melalui orang-orang yang lain”. Dengan kata lain, identitas Anda bergantung pada keluarga, teman-teman, dan komunitas yang berhubungan dengan Anda dan dengan siapa Anda berelasi.

Ada begitu banyak orang di masa lalu dengan ego yang membara – raja-raja, para penakluk, dan diktator-diktator yang lain – tetapi di dunia Barat sekarang ini, penangkaran ego tampak sebagai cita-cita setiap orang. Individualisme memungkinkan kita melakukan hampir segala hal. Ini merupakan sebuah asumsi dasar. Ini seperti sebuah kultus. Kita memuja ego.

Individualisme Barat sedang menyebar ke seluruh dunia. Penyebaran itu merupakan bagian dari globalisasi neoliberal dan sedang menghancurkan budaya-budaya komuniter yang lain. Di Afrika, kita menyaksikan pertumbuhan tidak terhindarkan dari individualisme, terutama dalam hal-hal ekonomis. Ini bukanlah ungkapan menyalahkan atau mengutuk. Budaya Barat telah berkembang dengan cara ini dan kita butuh bertanya bagaimana hal ini terjadi. Menyalahkan seseorang tidaklah berguna.

Individualisme sendiri bukan sesuatu yang baru. Apa yang baru dan merupakan tanda-tanda zaman kita yang penting ialah kesadaran yang semakin tumbuh bahwa individualisme narsistik secara psikologis, sosial, politik, ekonomis, spiritual, dan ekologis bersifat destruktif.

Individualisme nyatanya memang sungguh merusak. Sebuah penelitian intensif mengenai efek-efek psikologis individualisme di Amerika Serikat menemukan fakta-fakta yang sangat mengejutkan: efek-efek itu meliputi keterasingan, kesepian, kekurangan cinta, ketidakbahagiaan, dan ketidakmampuan menjaga relasi.

Di dalam budaya individualistik ini, terapis dan konselor melihat tugas mereka sebagai tugas membantu individu untuk memperkembangkan egonya, untuk mewujudkan cita-cita Barat akan kepenuhan diri. Sekarang ini, para psikolog mulai menyadari bahwa hal ini hanya membawa kepada keberpusatan pada diri sendiri dan narsisisme, yang merupakan sebab bagi gangguan-gangguan mental, baik neurotik maupun psikotik. Para individualis yang berpusat pada diri sendiri kehilangan sentuhan dengan realitas.

Sekarang ini, disadari bahwa “generasi aku” sungguh-sungguh tidak sehat. Ini adalah generasi orang-orang Barat yang lahir selama baby boom setelah perang dunia kedua dan tumbuh di tengah-tengah protes kekuasaan pada tahun 1960-an. Tujuannya dalam kehidupan adalah kepenuhan diri. Sekarang, para penulis seperti Ken Wilber melihat kepenuhan diri semacam ini sebagai bentuk lemah dari keberpusatan pada diri sendiri. Dia menyebutnya “boomeristis”.

Di Eropa, Amerika Utara, dan Australia, bangku-bangku di gereja-gereja banyak yang kosong. Di lain pihak, di tempat-tempat lain di dunia dan terutama di Afrika, bangku-bangku sesak; baik kekristenan maupun Islam tumbuh secara cepat. Fenomena ini bukan sekedar merupakan kembali ke masa lampau, ke arah fundamentalisme. Dugaan Albert Nolan, hal ini merupakan sebuah pencarian akan sebuah spiritualitas  dan penyembuhan dalam solidaritas komunitas.

Di Afrika dan di antara orang-orang Afrika diaspora, orang berkumpul bersama dalam ibadah di gereja-gereja untuk saling mendukung dan untuk merasakan kesatuan lagu serta doa yang padu. Di gereja-gereja Barat, setiap orang duduk berjauhan. Tidak ada kumpul bersama.

Itulah perbedaan antara ubuntu (menjadi pribadi dalam dan melalui yang lain) dan individualisme Barat (menjadi seorang pribadi dengan cara menjadi bebas sebebas-bebasnya dari orang lain). Beberapa di antara kita percaya bahwa kita menemukan Tuhan bersama, sementara yang lain percaya bahwa kita harus mencari-Nya sendirian. Kelompok pertama di atas menginginkan untuk bersama dalam sebuah Gereja atau komunitas kebaktian yang lain. Kelompok kedua mencoba untuk memperkembangkan spiritualitas mereka dalam kesendirian. Tentang hal ini David Tacey mengingatkan kita tentang apa yang dia sebut sebagai “kesendirian mengerikan yang dapat dibawa oleh spiritualitas privat”.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, individualisme Barat telah menyebar ke seluruh pelosok dunia, membawa konsekuensi-konsekuensi paling destruktif dari individualisme. Ia telah memusnahkan jutaaan orang setiap hari. Ironi tragis dari individualisme Barat adalah bahwa individualisme itu sekarang mengancam kemerdekaan yang ingin dicapai oleh individualisme itu sendiri. Individualisme dan keterasingan telah membawa kita, dalam istilah Robert Bellah, “pada jurang bencana”. Sekarang, daya hancur individualisme mewujud secara lebih nyata, lebih membahayakan, dan lebih dramatis dalam kerusakan lingkungan hidup kita. Secara ekologis, individualisme Barat telah membawa kita ke pinggiran kekacaubalauan.

Pada tahun 1995, Richard Leakey dan Roger Lewin menulis sebuah buku berjudul The Sixth Extinction: Biodiversity and Its Survival. Mereka telah membuat sebuah studi mengenai kepunahan massal yang telah terjadi di bumi selama jutaan tahun termasuk yang paling terkenal di antara kepunahan-kepunahan itu, yakni kepunahan kelima, ketika dinosaurus lenyap. Kepunahan itu terjadi kurang lebih enam puluh lima juta tahun yang lalu. Kepunahan keenam merupakan sebuah kepunahan yang kita hadapi sekarang, hanya saja sekarang ini kepunahan itu sepertinya tidak disebabkan oleh hantaman asteroid ke bumi. Kepunahan kali ini merupakan akibat dari ketamakan manusia.

Kita mengenal kisah tentang kerusakan lingkungan hidup: polusi sungai dan laut, perusakan hutan, erosi lapisan tanah, bagian-bagian bumi yang dalam waktu singkat berubah menjadi gurun, efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar dari fosil, kerusakan spesies-spesies, penangkapan ikan yang melebihi batas di pantai-pantai kita, efek ledakan penduduk di negara-negara berkembang, bahaya limbah nuklir, dan efek-efek rekayasa genetik yang tidak dikenal atau tidak terpulihkan. Litani ancaman memang benar.

Penemuan ilmiah paling akhir bukanlah mengenai bencana masa depan. Penemuan itu adalah tentang bencana yang sedang terjadi, yakni pemanasan global. Pemanasan global ini merupakan satu dari tanda-tanda zaman kita yang menonjol.

Pembakaran bahan bakar dari fosil (minyak, batu bara, dan gas) mengeluarkan karbon dioksida ke atmosfer. Kita telah melakukan pembakaran ini sejak zaman Revolusi Industri (sekitar tahun 1700-an) dan dalam rata-tata penggunaan yang semakin meningkat. Saat ini, emisi-emisi semacam ini mengirim tujuh miliar ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun. Semua karbon dioksida ini berkumpul di sekitar bumi dan menjadi semacam selimut raksasa yang memiliki efek memanaskan bumi di atas temperatur normal. Ini disebut sebagai efek rumah kaca. Selalu saja ada selimut karbon dioksida yang tipis dan seimbang di atas bumi, tetapi sejak Revolusi Industri kita telah meningkatkan ketebalan selimut ini sebesar 30 %.

Bagi beberapa orang, pemanasan global sepertinya cukup sepele. Tapi para ilmuwan, terutama para meteorolog, memberi tahu kita bahwa pemanasan global ini akan menyebabkan – dan sungguh sedang menyebabkan – kondisi cuaca yang ekstrem: udara panas yang mematikan di beberapa daerah, banjir mematikan di tempat-tempat lain, kegagalan panen dan dengan demikian kekurangan pangan, dan yang paling destruktif bagi semua umat manusia adalah peningkatan permukaan air laut.

Permukaan air laut akan meninggi pertama-tama karena pemanasan lautan akan meningkatkan volume air. Tetapi yang lebih dramatis, melelehnya gunung es di kutub utara dan di Antartika akan meningkatkan permukaan air laut beberapa kaki lebih tinggi dari permukaan air laut sekarang ini. Itu berarti akhir bagi kota-kota pantai dari New York dan London sampai Lagos, semua pulau-pulau rendah di bumi, dan praktis seluruh negara-negara seperti Bangladesh.

Pada awalnya, dibayangkan bahwa akibat-akibat seperti itu masih jauh. Tetapi pada sebuah konferensi para ilmuwan pada tahun 2005, dinyatakan bahwa pemanasan global yang sedang terjadi jauh lebih cepat daripada yang sudah diantisipasi dan es Antartika Barat mungkin akan mulai meleleh lebih cepat dari yang dipikirkan. Hal itu saja akan menyebabkan laut-laut meningkat enam belas kaki (4,88 m) di mana-mana – sebuah tsunami raksasa yang permanen di seluruh muka bumi.

Ada satu lagi pernyataan ilmiah pada konferensi tahun 2005 di Inggris itu, yakni karbon dioksida yang berlebihan tidak hanya naik ke atmosfer, tetapi juga meresap ke dalam lautan dan membunuh plankton yang menjadi dasar rantai makanan di lautan. Akibatnya, semua ikan dan jenis-jenis biota laut yang lain akan terpengaruh. Tidak seorang pun sebelumnya telah menyadari bahwa ini merupakan satu dari akibat-akibat pemanasan global.

Jika ini adalah cara bagi umat manusia untuk punah, tidak seperti kepunahan dinosaurus pada kepunahan kelima, kita akan menghadapi kematian yang panjang dan menyiksa dengan berjuta-juta pengungsi yang harus berebut pangan dan air. Miliaran orang akan mati. Tingkat penderitaan manusia menjadi terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

Maka, apa yang harus dilakukan? Apa yang sedang dibuat oleh para pemimpin dunia kita?

Pemimpin-pemimpin dunia menghadapi sebuah kesulitan besar dalam mengambil kesepakatan mengenai protokol-protokol yang akan secara efektif menghentikan bencana ini. Bahkan ketika sudah ada kesepakatan, mereka tidak selalu menghormatinya. Hasil yang jelas adalah emisi terus meningkat. Agen Energi Internasional memperkirakan bahwa ledakan penduduk di negara-negara berkembang dan industrialisasi yang begitu cepat di kota-kota besar, seperti di Cina dan India, pada tahun 2040, menyebabkan emisi meningkat sampai 62%!

Semua negara di bumi butuh bekerja sama dalam hal ini. Jika sejumlah negara setuju untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan, sementara negara-negara yang lain seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang terus meningkat penduduknya, seperti Cina dan India tidak setuju, kita semua akan musnah.

Banyak komentator mengatakan, “Kita tahu apa yang harus dibuat, tetapi kita tidak punya kehendak untuk melakukannya.” Mengapa? Karena kita tampak tidak bisa mengatasi kepentingan-kepentingan diri kita yang picik dan juga egoisme kita.

Akar dari persoalan ini tampaknya memang adalah ego kita. Kita kekurangan political will untuk melakukan apa yang dibutuhkan karena sebagian besar orang tidak bisa mengatasi ego mereka secara memadai untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan generasi yang akan datang. Ego tidak ingin mengetahui. Maka, problemnya disangkal dan pengetahuan akan problem itu ditekan. Ini jelas-jelas merupakan bunuh diri bagi umat manusia.

Ini bukan soal menyalahkan semua orang yang egois di dunia atas segala kekacauan yang ada. Tidaklah pas untuk menuduh, mengutuk, memfitnah, atau juga mencari kambing hitam. Ini adalah tentang mengakui bahwa kita tidak dapat berjalan maju tanpa mengatasi persoalan ego yang tidak terberangus. Ini menuntut pandangan yang baik juga atas ego kita.

Ada banyak aktivis hebat yang tidak menyia-nyiakan apa pun untuk membangkitkan kesadaran dan untuk menggerakkan orang-orang demi menyelamatkan bumi; dan ada semakin banyak jumlah guru-guru spiritual yang bekerja keras untuk menggerakkan orang untuk mengatasi tirani ego. Joanna Macy tentu saja benar ketika mengatakan, “Sesuatu yang penting sedang terjadi di dunia kita yang tidak akan kamu baca di koran-koran. Saya menganggapnya sebagai perkembangan yang paling memikat dan paling menjanjikan dalam zaman kita, dan itulah salah satu alasan bahwa saya begitu gembira hidup hari ini. Itu berkaitan dengan apa yang sedang terjadi pada makna self (diri)! Para psikolog, filsuf, sosiolog, penulis spiritual, dan mistikus dari berbagai tradisi religius sedang menyaksikan konsekuensi-konsekuensi destruktif dari cinta diri, dan praktik-praktik – lama atau baru – yang memungkinkan kita untuk mengatasi narsisisme kita. Sebagian besar dari studi-studi ini berfokus pada ego.

Kata “ego” bisa dipergunakan dengan berbagai cara. Tetapi, penggunaan yang sekarang ini paling umum di antara para psikolog dan penulis-penulis spiritual, dan penggunaan oleh Albert Nolan sendiri, adalah dalam kaitan dengan diri yang berpusat pada diri sendiri, “AKU” yang membayangkan dirinya sebagai pusat dunia, yang mengadili segala sesuatu dengan bertanya bagaimana hal itu memengaruhi “aku” dan hanya “aku”. Ego adalah diri yang egois.

Ego ini bersifat posesif. Ego sering muncul sebagai sebuah keinginan tidak terpuaskan akan uang dan harta milik. Itulah obsesi dunia orang-orang Barat akan kemakmuran. Keseluruhan ekonomi kita didasarkan pada kekuatan besar cinta diri kita. Ego yang tidak terberangus ingin menguasai dunianya: masyarakat, peristiwa-peristiwa, dan alam. Maka, ini adalah sebuah obsesi dengan kekuatan dan kuasa.

Ego membandingkan diri dengan yang lain dan berkompetisi untuk memperoleh pujian, kemudahan, cinta, kekuatan, dan uang. Inilah yang membuat kita khawatir, iri, dan benci kepada orang lain. Inilah juga yang membuat kita menjadi munafik, berwajah ganda, dan tidak jujur.

Ego yang terpusat pada diri sendiri ini tidak memercayai siapa pun di luar dirinya (kecuali jika diri itu telah memproyeksikan keterpusatan kepada diri sendiri kepada orang yang lain). Ketidakpercayaan inilah yang membuat kita begitu tidak aman. Kita menjadi penuh ketakutan, kegelisahan, dan kekhawatiran. Ego kita atau individualisme egois kita membuat kita sepi dan takut.

Diri yang berpusat pada diri sendiri tidak mencintai siapa pun selain dirinya sendiri, seraya mencari kebutuhan-kebutuhannya dan kepuasan-kepuasan sendiri saja. Karena sepenuhnya kekurangan bela rasa dan empati, ego bisa sungguh kejam terjhadap yang lain. Apa yang mendorong kita sebagai manusia untk menyengsarakan orang lain adalah ego kita yang tanpa cinta: tinggi hati dan cinta diri.

Ego manusia dapat juga berbentuk egoisme kelompok dan struktur-struktur dominasi. Nafsu akan kekuasaan adalah usaha ego untuk mengontrol duinia jika perlu juga dengan senjata. Nafsu akan uang merupakan ungkapan hasrat untuk memiliki yang tidak terpuaskan. Institusi-institusi dan struktur-struktur yang lain dibangun untuk tujuan-tujuan itu. Patriarki adalah struktur sosial yang mewujudkan ego yang tidak baik.

Tetapi, ego juga bukanlah diriku yang sebenarnya. Ego itu bukan aku. Ego adalah gambaran salah mengenai diriku. Ego merupakan ilusi bahwa aku adalah individu yang terpisah, tidak tergantung, sendirian, dan otonom. Apa pun diriku yang kubayangkan, pada kenyataannya aku adalah bagian dari semesta di mana segala sesuatu saling bergantung dan terhubungkan secara mendalam. Kita merupakan produk dari evolusi, produk dari didikan sosial budaya kita, dan produk dari pengondisian psikologis kita. Kita tidak juga mulai menjadi bebas sampai kita mengenali hal ini. Ketika kita membayangkan bahwa sebagai umat manusia kita berdiri di suatu tempat di luar dan di atas semesta seraya memandang ke bawah kepadanya, kita tidaklah bebas dan merdeka, kita tertipu. Itu adalah sejenis kesadaran yang keliru.

Semua perpecahan, konflik, permusuhan di antara manusia serta antarmanusia dan alam muncul dari ilusi ego akan keterpisahan dan ketidaktergantungan.

Tampak bahwa dalam proses evolusi, spesies manusia memperkembangkan fenomena yang kita sebut ego. Kita memperkembangkan gambaran diri kita sebagai yang terpisah dari dunia. Kita menjadi terpusat pada diri sendiri. Maka, pada awal masa kanak-kanak, setiap orang dari kita memperkembangkan sesuatu dari ego. Proses ini dinamakan individuasi. Sementara kita tumbuh, kita mempergunakan ego, tetapi biasanya dalam sebuah cara yang terkontrol untuk mengakomodasi yang lain. Kontrol itu datang dari diri kita sendiri atau juga dari budaya, agama, atau hukum-hukum masyarakat.

Selama berabad-abad, ego manusia telah menjadi daya penggerak yang sangat kuat ke arah pencapaian-pencapaian manusia dalam segala bidang, terutama di dunia Barat sejak masa Renaisans, Pencerahan, dan awal-awal ilmu serta Revolusi Industri. Individualisme Barat berkembang dari semuanya ini.

Telah sering dikatakan bahwa cinta diri adalah alamiah, dan dalam arti tertentu adalah benar. Tetapi alam tidaklah statis. Alam berevolusi. Ego telah berkembang selama ribuan tahun. Sekarang, ego itu telah mencapai sebuah titik kritis. Ego sudah menjadi destruktif sehingga sangat wajar bagi kita mengambil sebuah lompatan ke depan, untuk mengatasi batasan-batasan ego, untuk memperkembangkan diri yang lebih besar, lebih universal, dan lebih terkembangkan – tidak dengan melawan apa pun di dalam diri kita yang alamiah, tetapi dengan memperkembangkan kerinduan besar yang lain, kerinduan alamiah akan kesatuan, komunitas, dan cinta.

 

3. Globalisasi dari Bawah

 

Tidak sesuatu pun yang memberi ciri terhadap pengalaman hidup kita secara lebih jujur dan menyeluruh daripada pengalaman penderitaan; penderitaan kita sendiri atau juga penderitaan sesama, bersama dengan kebiasaan kita untuk membuat orang lain menderita. Sejarah umat manusia, paling tidak dalam periode waktu yang sudah kita catat, telah menjadi sejarah penderitaan – sebagaimana digambarkan oleh teolog Johann Metz beberapa tahun yang lalu.

Tulisan-tulisan sejarah kita mengisahkan cerita yang lain. Tulisan-tulisan itu berkisah tentang kemenangan dan penaklukan militer, kebudayaan-kebudayaan besar, serta penemuan-penemuan yang mengagumkan. Apa yang mereka sembunyikan atau abaikan adalah penderitaan manusia yang menyertai semua itu. Penekanan pada penderitaan yang dialami oleh sekian juta orang dinilai tidak memiliki kepentingan historis. Tetapi sebagaimana ditunjukkan oleh Metz dan orang-orang lain pada zaman ini, apa yang sungguh menjadi masalah dalam sejarah kita adalah penderitaan manusia.

Sejarah dari peperangan kita adalah sejarah orang-orang yang terluka, menjadi cacat, hancur menjadi serpihan, dilumat, dibunuh, dianiaya, direndahkan, dan dibiarkan mati di parit-parit pertahanan. Orang berpikir terutama tentang para wanita, anak-anak, orang-orang tua, dan mereka yang hilang.

Piramida besar di Mesir dibangun di atas penderitaan ribuan budak-budak yang mati. Amerika dibangun di atas pembantaian, pemusnahan penduduk-penduduk asli Amerika, dan penghinaan serta kematian budak-budak Afrika yang dipaksa untuk mendayung sendiri kapal yang menjadi penjara mereka sendiri untuk menyeberangi samudra Atlantik serta membuang mereka yang mati seperti lalat di sepanjang jalan. Sejarah nyata Revolusi Industri adalah sejarah yang tidak ditulis tentang derita para pekerja di pabrik-pabrik dan pertambangan-pertambangan baru dan juga sejarah yang tidak ditulis mengenai keluarga-keluarga mereka. Sejarah Afrika Selatan sampai akhir-akhir ini merupakan sebuah sejarah penghinaan dan kekerasan rasial yang tidak tertanggungkan.

Ketika di beberapa tempat sekarang ini semakin sedikit terjadi penderitaan daripada di waktu lampau, di banyak tempat lain ada lebih banyak lagi penderitaan. Sebagai contoh, di beberapa komunitas sekarang ini terutama di Afrika bagian selatan, pandemic HIV/AIDS menyebabkan penderitaan yang tidak tertanggungkan, tidak hanya bagi mereka yang terjangkit penyakit itu, melainkan juga bagi jutaan anak-anak yatim piatu yang sungguh-sungguh menjadi trauma karena penyakit itu. Hal yang sekarang ini menjadi lebih buruk adalah jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan kenestapaan – miliaran lebih banyak dari masa yang lalu. Konsekuensi pertama yang jelas dari ledakan penduduk adalah penderitaan semakin banyak dan menimpa semakin banyak orang.

Tetapi, yang ingin Albert Nolan tampilkan sebagai satu dari tanda-tanda zaman kita adalah cara di mana, di tengah-tengah penderitaan yang tidak tertanggung itu, kita bergerak maju untuk mengatasi beberapa persoalan dan dengan penuh harap juga bisa mengatasi lebih banyak lagi persoalan di masa yang akan datang.

 

Di masa lalu, pengalaman penderitaan diperburuk oleh perasaan tanpa bantuan dan tanpa kekuatan yang sungguh mendalam. Tampaknya tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka yang menderita merasa: tidak ada jalan keluar. Tetapi sejarah terakhir mencatat, berbagai perubahan struktural nyatanya terjadi. Atau, lebih spesifik lagi, telah muncul kemungkinan nyata untuk mengubah struktur-struktur kekuasaan dan struktur-struktur dominasi yanhg menyebabkan begitu banyak penderitaan di dunia.

Pada masa lampau, perasaan tanpa kekuatan dan tanpa bantuan didasarkan pada asumsi bahwa struktur-struktur opresif masyarakat, budaya, dan agama tidak dapat diubah. Kemudian datanglah revolusi-revolusi besar: Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia, dan sejumlah revolusi melawan kolonialisme dan imperialisme. Revolusi-revolusi ini barangkali tidak terlalu sukses. Sering rezim-rezim baru berubah menjadi kejam dan opresif sebagaimana struktur-struktur yang mereka runtuhkan sebelumnya. Tetapi, revolusi-revolusi memampukan kita untuk mengerti bahwa struktur-struktur kekuasaan dapat diubah.

Di dunia masa lampau, satu-satunya perubahan yang dapat diharapkan oleh mereka yang menderita adalah perubahan dari seorang raja atau pengeran atau pemimpin yang kejam menjadi lebih perhatian, daripada seorang diktator yang zalim dan kemudian berubah menjadi penuh kebajikan. Apa yang sudah berkembang semenjak saat itu, secara agak meragukan dan tidak lepas dari permasalahan, adalah kemungkinan akan terbangunnya struktur-struktur demokratis dan keyakinan akan hak-hak asasi manusia. Hal ini telah membuka jalan bagi fenomena-fenomena besar yang baru yang kita sebut sebagai perjuangan demi keadilan sosial.

Perjuangan ini telah mencatat pencapaian-pencapaian yang signifikan selama dua ratus tahun terakhir ini. Satu dari pencapaian-pencapaian terbesar itu adalah penghapusan perbudakan. Hukum-hukum baru menyatakan bahwa jual beli manusia sebagai barang dagangan adalah ilegal. Pada masa-masa lampau, sebuah perubahan struktural semacam ini tidak akan diterima. Bahkan Paulus, yang jelas-jelas memandang praktik perbudakan sebagai berlawanan dengan semangat Yesus Kristus, tidak akan memandang perbudakan itu sebagai sebuah struktur duniawi yang mungkin untuk diubah di dalam hidup ini.

Dekolonialisasi juga didasarkan pada keyakinan bahwa struktur-struktur kekuasaan dapat diubah. Orang-orang jajahan memperjuangkan kemerdekaan dan pembebasan dari kuasa-kuasa penjajahan besar, seperti Spanyol, Portugis, dan Inggris.

Sejauh rasisme diperhitungkan, kita juga melihat tumbangnya Nazi di Jerman, keberhasilan gerakan-gerakan hak asasi manusia di Amerika Serikat, dan di atas semua itu penghapusan apartheid di Afrika Selatan. Perjuangan-perjuangan melawan rasisme masih berlanjut, tetapi struktur-struktur kekuasaan rasialis besar telah dihapuskan.

Satu lagi perubahan yang patut dicatat adalah tantangan terhadap patriarki. Kita telah menyaksikan perkembangan di seantero dunia dalam perjuangan-perjuangan kaum wanita untuk memperoleh hak-hak yang sederajat dan kesetaraan gender dalam setiap lingkup kehidupan. Perjuangan-perjuangan itu masih berlanjut, tetapi sudah ada pencapaian-pencapaian yang pantas dicatat sejak saat-saat dimana dipikirkan bahwa tidaklah mungkin mengubah struktur-struktur kekuasaan patriarkal.

 

Buah paling penting dari perjuangan-perjuangan semacam ini adalah munculnya suara-suara baru di panggung: suara kaum wanita, orang-orang kulit hitam, penduduk asli, buruh, petani, orang-orang miskin, orang-orang yang tidak tersentuh, bahkan juga anak-anak. Pada masa lalu, suara-suara ini sepenuhnya dibungkam. Penderitaan orang-orang ini hanya dapat didengar, itu pun jika dapat didengar, hanya dalam suara-suara mereka yang secara manusiawi bersimpati kepada mereka.

Suara-suara kemanusian telah memainkan peran penting tetapi terbatas dalam perjuangan melawan ketidakadilan. Suara-suara itu berasal kelompok-kelompok advokasi, organisasi-organisasi nonpemerintah (NGO), kelompok-kelompok masyarakat sipil, Gereja-gereja, dan kelompok-kelompok imani lain. Tetapi, organisasi yang telah menyumbang paling banyak pada pemulihan kemanusiaan, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan pemantaban perjanjian-perjanjian internasional tentu saja adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui berbagai kelompok (FAO, UNHCR, UNEP, UNICEF, UNESCO, UNAIDS, dll) dan program yang ada  di dalamnya, mereka telah menjadi suara dan pembela mereka yang tidak bersuara. Konferensi-konferensi internasional organisasi ini mengenai isu-isu tentang perempuan, rasisme, dan kerusakan lingkungan hidup telah menyediakan dasar bagi internasionalisasi perjuangan demi keadilan.

Tetapi sekarang, suara mereka yang tidak bersuara semakin kencang terdengar setiap hari di luar PBB. Suara itu masih merupakan suara yang belum terdengar. Suara itu baru sedikit saja memperoleh tempat, baik di koridor-koridor kekuasaan maupun di media massa. Tetapi, hasil-hasilnya sudah signifikan. Suara mereka yang tidak bersuara sekarang dapat didengar dalam gerakan-gerakan massa yang jumlahnya semakin meningkat, dalam publikasi-publikasi dan pertemuan-pertemuan internasional, serta dalam teologi-teologi pembebasan dengan berbagai jenisnya.

Sementara itu, struktur-struktur kekuasaan besar terus merestrukturisasi diri dari hari ke hari.

 

Ketidaksetaraan paling nyata sekarang ini adalah antara yang kaya dan yang miskin. Struktur-struktur kekuasaan yang mendominasi dunia manusia membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Miliaran orang dipinggirkan dan disisihkan karena tidak ada tempat bagi mereka dalam ekonomi. Mereka bukan produsen, tetapi bukan pula konsumen. Mereka bukan siapa-siapa.

Bentuk baru kolonialisme dan imperialisme ini sering disebut “globalisasi” – sebuah kata yang membingungkan dan ambigu yang perlu dibongkar. Secara harfiah globalisasi berarti “menyebarkan sesuatu ke seluruh dunia”. Penyebaran di seluruh dunia seperti ini bukanlah sebuah persoalan. Semuanya tergantung pada apa yang disebarkan atau diglobalisasikan. Globalisasi penyakit mematikan menjadi masalah yang serius, tetapi globalisasi vaksin yang efektif akan menjadi berita baik.

Globalisasi yang diprotes oleh banyak orang sekarang ini adalah globalisasi sebuah sistem ekonomi partikular, kapitalisme neoliberal, sebuah cara pandang yang sepenuhnya materialistis yang didasarkan pada prinsip kemenangan mereka yang paling kuat, sebuah budaya yang menghancurkan kebudayaan-kebudayaan lain, menghancurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan asli, menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Sementara tidak ada keraguan lagi mengenai kekuatan perusahaan-perusahaan besar multinasional dan transnasional dalam proses globalisasi opresif ini, kekuasaan mereka tetaplah terbatas. Kekuasaan mereka adalah kekuasaan uang. Ketika uang menguasai dunia sebagaimana telah terjadi selama ribuan tahun, kekuatan opresif paling nyata di dunia manusia ini adalah senjata. Anda tidak dapat mendominasi dunia dengan uang Anda jika Anda tidak mempunyai senjata-senjata untuk melindungi kesejahteraan Anda. Jepang adalah sebuah negara kaya, tetapi karena tidak memiliki tentara yang kuat dan senjata pemusnah massal, Jepang tidak dapat memaksakan kehendaknya terhadap Amerika Serikat.

Mereka yang menganalisis dan mempelajari struktur-struktur kekuasaan dunia sekarang ini tidak ragu lagi akan dominasi Imperium Amerika yang sangat kuat dengan senjata-senjata pemusnah massalnya. Tentara-tentaranya tersebar di seantero dunia (745 basis militer di 120 negara). Amerika mencoba mengontrol dan mendominasi setiap negara di dunia. Upaya-upaya arogannya untuk memaksakan kehendaknya atas seluruh dunia manusia juga terjadi melalui program-program angkasa luar di seantero semesta. Dalam analisis terakhir, globalisasi yang kita hadapi adalah globalisasi Imperium Amerika.

Ada orang-orang yang membayangkan bahwa Imperium Amerika akan berlangsung selamanya. Tidak sebuah imperium pun yang dapat melakukan hal itu meskipun saya menduga mereka semua berpikir bahwa mereka tidak terkalahkan. Terlepas dari banyaknya imperium yang tumbuh dan lenyap yang kita baca dalam Kitab Suci serta tumbuh dan lenyapnya Imperium Romawi, pada waktu terakhir ini, kita telah melihat tumbuh dan lenyapnya Imperium Spanyol, Imperium Portugis, Imperium Jepang, dan Imperium Inggris yang seolah tampak tidak terkalahkan, dan juga Imperium Soviet yang digdaya. Imperium Amerika yang seolah-olah penuh kuasa itu tidaklah terkecualikan. Kemerosotannya sudah mulai terjadi dan inilah satu dari tanda-tanda zaman kita.

 

Kadang-kadang, sebuah imperium jatuh karena ditaklukan oleh kekuasaan lain yang lebih kuat. Kadang, sebuah imperium jatuh karena kontradiksi internalnya sendiri. Kadang-kadang, kemerosotan dan kejatuhannya disebabkan oleh kombinasi dari kedua sebab di atas. Albert Nolan tidak dapat melihat kekuatan militer lain yang dapat mengalahkan Amerika Serikat. Tetapi, ada kontradiksi-kontradiksi internal yang semakin berkembang dan sekarang ada sebuah bentuk kekuatan yang sedang berkembang secara luar biasa cepat dan efektifnya: kekuatan damai, bela rasa, dan keadilan. Bagi Albert Nolan, tampak bahwa ada sebuah kemungkinan real bahwa imperium yang digdaya sekarang ini akan menjadi imperium besar yang terakhir, dan imperium itu akan segera lenyap – sebagaimana rezim apartheid di Afrika Selatan juga lenyap.

Imperium sudah sedemikian percaya diri, dan dengan sedemikian sombongnya yakin akan kebenarannya; sedemikian buta, sedemikian kaku, dan sedemikian sibuk dengan keunggulan-keunggulan yang tanpa disadari telah melahirkan penentangnya sendiri sehingga memastikan kematiannya sendiri – sebagaimana dialami oleh rezim apartheid pada tahun-tahun terakhir hidupnya. Tidak hanya Imperium Amerika yang menyebabkan munculnya bentuk-bentuk militanisme Islam, munculnya para pembom bunuh diri, dan bentuk-bentuk terorisme yang lain, tetapi juga peperangan di Irak, telah menciptakan gerakan damai antiperang yang paling kuat dan paling besar di dalam sejarah manusia. Gerakan perdamaian Anti-Perang Vietnam menjadi kecil dan tidak sebanding dengannya. Gerakan perdamaian baru menjadi universal dan menjadi tekanan yang kuat.

Sejajar dengan hal itu adalah globalisasi bela rasa terhadap para korban; terhadap semua korban. Sampai beberapa saat terakhir, masing-masing kelompok (nasional, kultural, kelas, etnik, agama) sungguh-sungguh merasakan penderitaan anggotanya sendiri, tetapi tidak mempunyai perasaan sama sekali terhadap musuh dan orang-orang luar. Hal ini mengikat masing-masing kelompok tersebut dan menyebabkan peperangan serta konflik kekerasan menjadi mungkin. Orang-orang menekan semua simpati terhadap para korban dan menyatukan diri di dalam tindak kekerasan melawan siapa pun yang ditampilkan sebagai kambing hitam.

Tetapi sekarang ini, sejumlah orang mulai mengalami perasaan-perasaan bela rasa bagi setiap korban, bagi semua korban di mana pun mereka berada. Apa yang harus kita catat dari pandemik HIV/AIDS bukanlah hanya kengerian hebat yang belum pernah ditanggung manusia, melainkan juga tumbuhnya bela rasa bagi para korban pandemik ini, bela rasa hebat yang belum pernah tumbuh sebelumnya. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai bencana Tsunami Desember 2004. Tanggapan orang-orang yang bersimpati di seluruh dunia sangatlah fenomenal. Apa yang paling impresif dari semua itu sehubungan dengan bela rasa adalah kampanye melawan kemiskinan yang menjadi gerakan besar pada pertengahan tahun 2005. Jumlah orang-orang yang melibatkan diri di dalam pawai-pawai, dalam gerakan-gerakan gerejawi, para penyanyi yang berpartisipasi dalam konser-konser populer di seluruh dunia, dan kekuatan tekanan terhadap negara-negara G8 untuk mengarahkan segenap perhatian pada masa depan para korban kemiskinan di seluruh dunia semakin meningkat.

Sama pentingnya dari semua itu adalah inisiatif-inisiatif damai kaum perempuan di daerah-daerah di seluruh dunia yang dirobek-robek oleh peperangan. Salah satu contohnya adalah pertemuan-pertemuan antara wanita-wanita Israel dan Palestina. Sebagai kaum ibu dan istri, di tengah-tengah kekerasan, mereka mempunyai banyak kesamaan. Apa yang kita kenali di sini ialah globalisasi bela rasa dan perdamaian. René Girard mengatakan, “Dunia kita tidak menemukan bela rasa, itu benar, tetapi dunia kita membuatnya mendunia”.

 

Yang juga kuat dan efektif adalah pengenalan dari semua pihak yang melibatkan diri dalam perjuangan-perjuangan demi keadilan di dunia sekarang ini, yakni bahwa mereka berjuang melawan struktur-struktur kekuasaan yang sama. Gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi yang berjuang bagi keadilan ekonomis, bagi hak-hak asasi manusia, bagi kaum minoritas yang ditindas, bagi hal-hak kaum perempuan, bagi hak-hak anak-anak, dan juga bagi lingkungan hidup, para aktivis religius, dan mereka-mereka yang lain bersatu di jalan-jalan untuk memprotes neoglobalisasi liberal.

Protes jalanan pertama yang menguasai headline suratkabar dilakukan di Seattle tahun 1999. Kurang lebih enam puluh ribu perwakilan dari berbagai organisasi berarak di Seattle di mana satu dari organ-organ globalisasi, yakni Organisasi Perdagangan Sedunia, mengadakan pertemuan tahun itu. Sayangnya, demonstrasi itu menjadi kekerasan. Tampaknya, beberapa pemrotes memprovokasi kekerasan ini untuk menarik perhatian media. Hal yang sama terjadi pada tahun-tahun berikutnya di Praha, Genova, Davos, Gleneagles, dan Hong Kong. Dari sana, tampak tidak adanya akhir dari mendunianya perlawanan terhadap neoglobalisasi liberal. Sementara itu, secara tiba-tiba dan tidak terduga, sebuah badan dunia muncul ke permukaan internasional, yakni Forum Sosial Dunia.

Forum Sosial Dunia ini merupakan sebuah inisiatif yang muncul dari PBB. Forum itu mencakup banyak gerakan dan organisasi yang telah berpawai di jalan-jalan. Tetapi yang lebih penting, forum ini menyatukan sejumlah besar gerakan-gerakan rakyat, gerakan-gerakan perempuan, gerakan-gerakan penduduk asli dan para petani, kamar-kamar dagang, gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemanasan global, dan organisasi-organisasi AIDS. Forum ini menjadi suara bagi mayoritas tanpa suara tersebut. Gerakan Dalit, sebagai contoh, menampilkan kepentingan 240 juta orang-orang India yang tidak pernah tersapa. Sejumlah besar wanita dalam Forum Sosial Dunia, para wanita yang menyatakan lebih daripada gerakan-gerakan wanita, dapat berbicara secara langsung bagi separo penduduk dunia.

Forum Sosial Dunia bukanlah sebuah organisasi internasional yang baru. Forum ini tidak memiliki ideologi atau teori politik yang menyatukan mereka. Forum ini adalah sebuah forum untuk menyegarkan pandangan dan pengalaman, dan untuk saling mendengarkan. Kesatuan Forum Sosial Dunia ini tidak dipaksakan, tetapi semua yang berdiri di dalamnya melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari perjuangan melawan globalisasi militer dan ekonomi yang dilakukan oleh Imperium. Apa yang sedang terdengar di dalam Forum Sosial Dunia adalah penolakan terhadap globalisasi yang dilakukan oleh Imperium itu. “Sebuah dunia yang lain adalah mungkin” menjadi motto yang mereka ambil pada tahun 2002.

Dalam membaca tanda-tanda politik dan ekonomi zaman kita, apa yang kita catat lebih dari yang lain adalah globalisasi dari bawah. Kita telah mencatat mendunianya gerakan anti-peperangan dan gerakan-gerakan perdamaian, serta mendunianya bela rasa bagi semua korban. Dalam Forum Sosial Dunia, kita melihat mendunianya perjuangan demi keadilan. Tidaklah mungkin untuk memperkirakan bagaimana dan kapan Imperium Amerika akan berakhir, tetapi mungkin tidak dalam jangka waktu panjang lagi penolakan-penolakan internasional atas nama perdamaian, bela rasa, dan keadilan akan mengalahkan dan melucuti struktur-struktur kekuasaan dan dominasi mereka.

 

4. Ilmu Pengetahuan Setelah Einstein

 

Selama kurang lebih empat ratus tahun terakhir, pemikiran Barat telah didominasi oleh ilmu pengetahuan modern. Bagi kebanyakan orang, hal ini telah menjadi problem utama bagi iman. Sekarang, hal ini berubah. Ada sebuah ilmu pengetahuan baru, sebuah mentalitas keilmuan yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi spiritualitas dan iman kepada Allah. Perubahan ini merupakan satu dari tanda-tanda besar zaman kita.

 

Arsitek-arsitek utama cara pandang ilmiah adalah Francis Bacon (1561-1626), René Descartes (1596-1650), dan Isaac Newton (1642-1727). Ada tokoh-tokoh lain, tetapi orang-orang inilah yang barangkali bisa disebut para bapak ilmu pengetahuan modern.

Ilmu pengetahuan bagi Bacon adalah penguasaan dan penjinakan alam oleh manusia. Kaum wanita dipandang sebagai bagian dari alam. Mereka tidak dapat dimasukkan dalam kelompok orang yang menjadi penakluk ilmiah alam semesta.

Bagi Descartes, tubuh manusia adalah sebuah mesin. Pikiran rasional sepenuhnya adalah sesuatu yang mengatasi dan superior, tuan dari mesin.

Newton melihat keseluruhan alam semesta sebagai sebuah mesin raksasa. Dia mengatakan alam semesta sebagai sebuah jam yang telah diciptakan oleh Allah, diputar, dan dibiarkan untuk terus berdetak.

Di dalam cara pandang ini, alam semesta merupakan sebuah kumpulan objek-objek, yang terkecil dari semuanya adalah atom. Mereka bekerja seperti bagian-bagian dari sebuah mesin, secara mekanis dan dapat diperhitungkan, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang ketat, hukum-hukum gravitasi dan gerakan, dan di dalam keselarasan dengan apa yang Allah berikan bagi setiap atom. Ini adalah sebuah cara pandang ilmiah dalam arti bahwa cara pandang ini didasarkan pada ukuran-ukuran, eksperimen-eksperimen yang terkontrol dan oleh bukti-bukti empiris, oleh “fakta-fakta” sebagaimana adanya sekarang ini.

Penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan terkenal dalam Revolusi Industri dimungkinkan oleh cara pandang mekanistik ini. Studi cermat Newton akan hukum gravitasi dan gerakan itu memungkinkan teknologi menciptakan mesin-mesin yang terus-menerus semakin rumit.

Cara pandang mekanistik abad XVII ini menjadi norma bagi semua usaha ilmiah. Para ilmuwan, psikolog, filsuf seperti John Locke, Freud, Marx dan Darwin berpikir dan bergerak dalam tataran kerangka kerja mekanis dan materialistis ini. Dunia pengobatan Barat juga menanggung pembatasan yang sama. Tubuh dipandang sebagai sejenis mesin yang rumit.

Dalam kenyataannya, jenis mentalitas ilmiah ini telah memengaruhi pemikiran sebagian besar dari kita, terutama mereka yang telah memiliki pendidikan keilmuan Barat. Tetapi, dalam konteks itu, ada dan selalu ada pengecualian: para mistikus, puitikus, seniman, beberapa orang beriman, mereka yang ada dalam budaya pramodern, dan – secara umum, di dalam setiap bagian dunia – kaum wanita. Dalam istilah-istilah cara pandang mekanistik, pemikiran kelompok-kelompok ini dianggap tidak ilmiah, takhayul, magis, atau malah sangat tidak berarti. Sebagaimana para ilmuwan memandangnya, cara-cara pikir irasional semacam itu tidak menyumbang apa-apa bagi kemajuan “umat manusia”.

Dalam penghayatan mekanis-materialistis, Allah telah hilang sepenuhnya dari dunia ini. Jika Allah ada juga, Ia ada dalam dunia spiritual atau supernatural yang lain. Inilah dua dunia schizophrenia di mana sebagian besar dari kita tumbuh; dualisme yang memisahkan dunia material dari dunia spiritual, badan dan jiwa, ciptaan dari Sang Pencipta.

Kemudian, datanglah Albert Einstein (1879-1955), pemilik kecerdasan luar biasa, genius tiada tandingnya.

Apa yang Einstein dan orang-orang pada abad terakhir tunjukkan ialah bahwa cara pandang mekanistik yang kita sebut sebagai ilmu pengetahuan adalah sungguh-sungguh tidak ilmiah. Juga apabila penemuan-penemuannya dan juga penemuan-penemuan orang-orang lain butuh waktu panjang untuk diakui, sekarang ini komunitas para ilmuwan di seluruh dunia, tentu juga dengan beberapa pengecualian, telah bergerak di luar pandangan mekanistik atas realitas.

Apa yang sesungguhnya berarti dalam perubahan paradigma yang menggoncang dunia ini adalah bahwa perubahan itu ilmiah. Cara pandang mekanistik telah dilucuti oleh eksperimen-eksperimen yang tidak terhitung, oleh pengukuran-pengukuran yang sangat cermat, serta oleh bukti-bukti empiris yang kuat. Hipotesis mekanistik tidak dapat lagi dianggap sebagai “fakta-fakta” sebagaimana dimengerti oleh para ilmuwan sekarang ini.

Meskipun sebagian besar orang belum mengerti hal ini, mentalitas ilmiah yang baru ada di sini. Inilah cara yang tidak lama lagi akan digunakan oleh hampir setiap orang. Mentalitas ilmiah baru itu akan mengubah kesadaran kita sebagai sesuatu yang tidak memberi apa-apa sebelumnya. Mentalitas ilmiah baru itu tampil sebagai sebuah tanda akan masa depan yang memikat.

 

Fisika Quantum merupakan bidang pergumulan yang ditekuni oleh Einstein. Hasil-hasil dari penelitian-penelitiannya di bidang tersebut, nyatanya, telah menghasilkan berbagai kilasan-kilasan pemahaman baru yang telah memporakporandakan kepastian-kepastian ilmiah modern sebelumnya.

Penemuan-penemuan besar Einstein mengenai energi, cahaya dan pergerakan alam semesta, misalnya,   begitu spektakuler dan potensial menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang belum dapat kita tangkap dan cerna sepenuhnya. Berlawanan dengan arogansi para ilmuwan modern dengan kepastian-kepastian mereka yang kini tampak sangatlah naïf, revolusi-revolusi pengetahuan yang dibawakan oleh Einstein mengembalikan kesadaran bahwa pikiran manusiawi kita itu terbatas. Bahwa alam semesta, hidup dan kehidupan itu lebih merupakan konstelasi misteri yang lebih patut kita kagumi dan hormati alih-alih kita tindas dan eksploitasi.

 

Apa yang berharga sejak Einstein adalah pemikiran mengenai masa depan, dan ini sudah memperbarui hubungan antara ilmu dan agama. Hal itu terus membuat perbedaan-perbedaan besar untuk setiap pencarian murni akan Allah sekarang dan esok. Tiba-tiba, dari yang semula adalah rintangan, ilmu pengetahuan sekarang menjadi bantuan, sejenis batu loncatan ke dalam spiritualitas dan mistik. Hal ini bukan karena ilmu pengetahuan dapat membuktikan sesuatu mengenai Allah atau iman, melainkan karena ilmu pengetahuan sekarang telah mengerti keterbatasan-keterbatasannya sendiri. Sekarang ini, para ilmuwanlah yang mengatakan, “Kita tidak tahu dan bagi sebagian besar dari kita tidak akan pernah tahu. Itu adalah sebuah misteri.”

Di lain pihak, agama, spiritualitas, dan mistik akan juga diubah oleh mentalitas ilmiah yang baru ini. Sebagai contoh, hanya ada satu dunia, satu semesta. Tidak lagi mungkin berpikir mengenai Allah, jiwa manusia, dan roh-roh lain sebagai penduduk dunia lain. Lebih dari itu, alam semesta adalah sebuah keseluruhan yang saling terhubungkan. Kita tidak terpisah dan bukan merupakan bagian-bagian yang berdiri sendiri. Ada spesies-spesies dan sistem-sistem yang tidak terbayangkan, tetapi mereka bersama-sama membangun satu keseluruhan. Dan, yang terpenting dari semua itu adalah bahwa kita manusia bukanlah pengontrol alam semesta.

 

5. Tanda-tanda: Rangkuman

 

Mencermati tanda-tanda secara bersama-sama dan sebagai sebuah keseluruhan, Albert Nolan teringat akan sebuah kutipan terkenal dari A Tale of Two Cities karangan Charles Dickens. “Inilah saat-saat terbaik, inilah saat-saat terburuk.” Tanda-tanda zaman kita sungguh-sungguh ambigu dan membingungkan. Kita sudah bergerak ke dalam sebuah zaman yang penuh dengan janji, tetapi sekaligus penuh dengan bahaya-bahaya yang tidak terbayangkan. Kita semua tidak ada dalam tempat yang sama. Beberapa sudah bergerak jauh ke depan, yang lain sedang bergerak mundur, dan yang lain lagi masih belum memiliki id eke amana mereka sedang melangkah – yang membuat sulit untuk merangkum jawaban atas pertanyaan mengenai di mana kita sekarang ini sebagai keluarga manusia berada di dalam evolusi kita. Sebuah metafor barangkali membantu.

Kita seperti sebuah kapal laut raksasa yang kehilangan tambatan dan sedang ditiup angin ke lautan. Bahaya-bahaya di depan tidaklah terhitung. APakah kita sedang dalam proses tenggelam atau menuju ke kepunahan? Beberapa ingin kembali ke pantai yang aman, tetapi itu tidak lagi mungkin. Yang lain begitu bingung sehingga mereka tidak lagi sadar akan kenyataan bahwa kita sedang ditiup angin. Yang lain lagi ingin meloncat dan berenang sendirian menuju pantai. Tetapi sekarang, kita sudah terlalu jauh dan tidak mungkin lagi menjalani semuanya ini sendirian. Kita semua da di kapal ini bersama-sama.

Di lain pihak, semakin banyak penumpang melihat tiupan angin ke lautan ini sebagai sebuah kesempatan yang tidak ada sebelumnya untuk bergerak menjauh dari perbudakan dan dari penderitaan masa lampau untuk menemukan tanah terjanji akan kemerdekaan dan kebahagiaan. Kemungkinan-kemungkinan baru terbuka setiap hari. Rasa haus akan sebuah spiritualitas yang baru sangatlah membantu. Kerinduan akan keadilan, damai, dan kerja sama sangatlah meneguhkan. Suara-suara baru dari bawah dan globalissi bela rasa bagi mereka yang membutuhkan sangatlah menjanjikan. Bahaya-bahaya individualisme sekarang dikenali. Dan, ilmu-ilmu baru memberi kita sebuah peta di manakah kita sekarang berada, dari mana kita datang, dank e mana kita akan pergi.

Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman tetaplah ada. Kapal ini sedang mengalami kebocoran, dan sementara beberapa orang berusaha untuk memperbaiki kebocoran itu, yang lain di dalam kebutaan cinta diri mereka malah menciptakan lubang-lubang baru dan mengabaikan gunung es yang ada di hadapan kita. Tidak ada badai di lautan. Alam tidaklah memusuhi kita. Badai itu justru ada di kapal, di antara para penumpang kapal itu sendiri. Masing-masing memburu rencana-rencananya sendiri.

Tetapi, siapakah yang mengemudikan kapal ini? Siapa yang mengontrolnya? Kekuatan-kekuatan pasar? Militer? Imperium Amerika yang begitu besar? Ataukah Tuhan?

Di dalam konteks ini, pada momen ini, di dalam evolusi alam semesta ini, kita diajak untuk mempertimbangkan kembali dan memegang secara sungguh kebijaksanaan spiritual Yesus dari Nazaret. []

 

 

**Albert Nolan, OP adalah seorang imam Katolik Roma Afrika Selatan dan anggota Ordo Dominikan. Ia juga menulis sebuah buku lain tentang Yesus yang berjudul “Jesus Before Christianity” (1976)

 

SUMBER RUJUKAN

 

  • Albert Nolan, Jesus Today, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009

 2,067 total views,  3 views today