oleh: Ign. Bambang Sugiharto**

 

 

Kebangkitan seni adalah salah satu gelagat mencolok yang mengawali jaman baru kita, millennium ketiga mendatang (Naisbitt- Aburdeen, Megatrend 2000). Meskipun demikian, sesungguhnya seni lebih dari sekedar gelagat mencolok. Dalam peradaban manusia, sebenarnya seni sudah selalu memiliki peran yang mendasar. Seperti Renesansi beserta gelombang dahsyat modernisasinya telah dipicu dan diinspirasikan pertama-tama oleh dunia seni, nampaknya kini sama halnya, suatu jaman baru, jaman reflektif post-modern yang mengakhiri kegilaan eksploratif rasionalistik modern yang diisyaratkan dan dirintis pertama-tama oleh dunia seni pula, terutama bidang arsitektur, sastra dan lukis.

Bukanlah serba kebetulan bila kenyataan menunjukkan bahwa seni setiap kali memiliki peranan sentral dalam mengakhiri dan mengawali suatu jaman. Sutradara besar Perancis, Frederic Rossif, bahkan menganggap seniman seperti seorang nabi, seseorang yang memiliki kenangan total tentang masa depan, sebab dia paham masa lampau (wawancara dalam majalah Riflessioni, no. 1-2, 1991). Dan, bertentangan dengan gambaran umum tentang kehidupan seniman yang seringkali seperti melayang tidak berpijak di bumi, Rossif mengatakan, bahwa justru senimanlah manusia yang paling realistik. Tak ada yang lebih realistik daripada seorang penyair, pemusik, pelukis, dan sebagainya.

Rupanya memang demikialah halnya. Maka pertanyaannya kemudian adalah: apakah sesungguhnya seni itu? Manakah perannya dalam eksistensi manusia?

Tulisan ini mencoba hendak merumuskan kembali hakikat seni dan peran seni terutama dalam kondisi post-modern saat ini.

Telah banyak, bahkan kelewat banyak sebetulnya, teori estetika yang mendefinisikan hakikat seni, dari sejak jaman Yunani antik hingga abad post-modern detik ini, dari sejak Plato hingga para Avant-gardist seperti G. Steiner, Rewnato Poggiolo atau para post-modernist, seperti Ihab Hassan, Umberto Eco, Lyotard, Charles Jenks, cs. Tulisan ini tidak akan melacaknya. Menelusuri puluhan atau ratusan teori yang saling bertabrakan itu hanya akan berakhir pada pertanyaan-pertanyaan metafisik yang rumit namun kosong.

Dalam tulisan ini, hakikat seni akan didekati secara tidak langsung. Artinya, sambil menghindar dari kecenderungan spekulasi metafisik, gejala seni akan dilihat dari tiga sudut pandang eksperiensial konkrit: 1. Diakronik, 2. Sinkronik, 3. Fungsional. Betul, istilah-istilah ganjil ini memang dipinjam dari Strukturalisme, namun sama sekali tak hendak menyatakan, bahwa kami mengacu banyak pada Strukturalisme. Istilah-istilah tersebut digunakan semata-mata hanya untuk menyingkat penjudulan. Itu saja.

 

 

  1. D i a k r o n i k

 

Diakronik di sini kami maksudkan, bahwa seni dilihat dari sudut perjalanan sejarahnya. Dan sejarah di sini maksudnya: karakteristik umum seni dalam tiap babakan waktu yang terus menerus berubah itu.

Secara umum masyarakat primitip selalu ditandai oleh kolektivitas dan religiositas. Karakteristik ini menyebabkan seni selalu cenderung bersifat populis. Maka tidaklah mengherankan pula bahwa dalam masyarakat primitip, figur seniman sebagai individu nyaris tidak mendapat tekanan penting. Seni adalah peristiwa-peristiwa sosial dan urusan hidup sehari-hari. Karenanya seni primitip serentak juga memvisualisasikan pola hubungan-hubungan konkrit dalam masyarakat. Meskipun demikian, unsur yang lebih besar yang menandai seni primitip adalah religiositas. Seni terkait erat dengan gambaran mereka tentang dewa-dewi beserta pemujaan terhadapnya. Dewa-dewi primitip umumnya adalah dewa alamiah, karenanya dunia alamiah inipun dilihat sebagai sakral, sedangkan pengalaman sehari-hari selalu dilihat sebagai hierophany, artinya, sebagai manifestasi hubungan dengan dewa-dewi. Seni, lalu, merupakan ungkapan hierofani serentak juga visualisasi dari Yang Sakral itu sendiri. Maka seni dan ritual religius menjadi identik. Sifatnya yang ritualistik ini menyebabkan seni primitip banyak menggunakan pola-pola dekoratip. Sementara sifatnya yang spiritual religius menyebabkan seni primitip tampil tidak dalam bentuk realisme, melainkan dalam pola-pola stylistik yang maunya menampilkan imaji spiritual dari objek-objek, bahkan kekuatan-kekuatan gaib misterius di balik objek-objek itu.

Dalam perkembangan berikutnya, terdapat perubahan berarti. Dewa yang natural alamiah berubah menjadi supernatural dan transenden. Perubahan ini cukup mendasar oleh sebab sejak itu dunia tidak lagi dianggap sakral. Jadi, ini adalah suatu proses desakralisasi. Dunia menjadi profan dan pengalaman sehari-hari pun tak lagi dianggap hierofani. Di sini, pengalaman religius menjadi sesuatu yang khusus dan unik, yang lantas disebut pengalaman mistik. Dalam lingkungan baru ini, seni pun berubah makna. Seni terbelah menjadi dua: seni religius dan seni profan. Namun, karena pada tahap-tahap awalnya situasi kehidupan masih cukup diwarnai oleh religiositas, maka seni religius masih menempati kedudukan lebih penting. Meskipun demikian, seni tidak lagi bersifat populis. Sebaliknya, seni manjadi elitist, menjadi sebagian dari dunia khusus para penguasa masyarakat. Tapi justru pada masa-masa inilah sepertinya seni mencapai semacam abad keemasannya. Seni menjadi semacam kulminasi dari bakat-bakat terbaik manusia, justru oleh sebab ia mesti memvisualisasikan sesuatu yang transenden supernatural, yang praktis berarti keindahan dan keagungan maksimal. Di sini, inspirasi dan motivasi religius dipadu dengan kecanggihan teknis, maka muncullah karya-karya yang fantastik dan nyaris ajaib. Sebutlah misalnya, Bassilica San Pietro, Cappela Sistina, atau karya-karya Bach, dan sebagainya, dan sebagainya.

 

 

 

Suatu perubahan mendasar timbul lagi ketika lahirnya pandangan ilmiah modern tentang alam semesta, yang memang diawali oleh Renesansi dalam budaya barat, namun menjadi matang terutama dalam periode Aufklarung abad 18. Ini bukan hanya suatu radikalisasi atas sekularisasi, melainkan lebih jauh lagi, awal suatu desakralisasi total. Sebabnya adalah karena dalam gambaran dunia modern, khususnya dalam pengandaian-pengandaian materialistiknya tak ada lagi tempat untuk konsep Tuhan. Alam dan dunia ini dilihat semata-mata sebagai mesin raksasa dan satu-satunya kenyataan yang real. Di luar itu tak ada apa-apa lagi. Maka, yang khas dalam budaya modern ini adalah, bahwa religiositas menurun dengan sangat drastik. Hierofani dan pengalaman mistik dianggap tahayul irrasional. Demikianlah dengan sendirinya perlahan-lahan karakter religius dalam seni pun memudar dan hilang. Maka seni menjadi sekedar kecanggihan teknis, atau paling banter menjadi suatu petualangan ke dalam interioritas manusia sendiri, pengembaraan menuju diri sendiri. Seni menjadi sesuatu yang introvert dan semakin elitist, hanya dipahami oleh kalangan dunia seniman sendiri. Namun, pada tahap ini ada sesuatu yang penting untuk dicatat. Dalam periode ini seni bergerak dari pola realisme perlahan menuju abstraksionisme; dari wilayah kesadaran ke wilayah ketaksadaran; dan dari penafsiran verbal rasional ke persepsi total atas imaji visual simultan.

Hal itu bisa kita lacak, misalnya dalam dunia seni lukis. Naturalisme dan Realisme Renesansi segera disusul oleh Impressionisme yang menekankan kesan-kesan pribadi si pelukis itu sendiri daripada objek lukisannya. Namun Impressionisme pun segera diikuti oleh Ekspressionisme yang lebih menekankan emosi si pelukis, bahkan hingga tahap di mana objek itu sendiri tak terlalu dipedulikan. Demikian, melalui Cubisme dan sebagainya, akhirnya sampai ke Abstraksionisme yang memberi tekanan pada bahan dan bentuk murni itu sendiri di atas segalanya. Di sini, warna biru, misalnya, cenderung digunakan untuk menampilkan hakikat kebiruan itu sendiri. Namun itu pun bukanlah tahap terakhir. Oleh sebab itu, akhirnya seni yang sedemikian rasionalistik dianggap tidak jujur, artifisial, tak mengungkapkan kenyataan terdalam yang sebetulnya justru irrasional. Jelas ini periode yang amat dipengaruhi oleh psikoanalisis. Maka, lalu seni mesti memvisualisasikan lapisan-lapisan bawah-sadar manusia yang umumnya justru liar, tak memuat koherensi logis, buas dan mengerikan, namun justru mengungkapkan kenyataan yang terdalam dan hakiki. Itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan Surrealisme atau sebagian bergema pula dalam Dadaisme yang suram, tragis dan depressif. Namun itu pun belum titik yang memuaskan, oleh sebab Surrealisme seringkali baru menjadi bermakna ketika dianalisis dan ditafsirkan secara diskursif rasional pula. Maka jadinya, Surrealisme pun masih rasionalistik. Perdebatan macam itulah yang akhirnya melahirkan perspektif seni post-modern yang berkeyakinan bahwa yang penting dalam karya seni adalah efek visual simultannya atas penonton. Efek ini adalah paduan total antara reaksi rasional sadar maupun reaksi affektif spontan yang muncul dari bawah-sadar beserta reaksi fisiknya sekalian. Keyakinan post-modern ini memang didukung pula oleh kecenderungan kuat yang kini berusaha untuk menggabungkan segala jenis cabang seni menjadi satu, seni multimedia: bunyi, kata, imaji visual dan gerakan dipadukan menjadi satu. Bersamaan dengan ini, post-modernisme juga meyakini bahwa seni harus dapat dinikmati masyarakat, populis dan karenanya ia menentang pula gelagat elitisme. Tidaklah mengherankan karenanya, bahwa seni post-modern cenderung tak mempedulikan lagi segala kaidah baku yang sebetulnya hanya bikinan para kritikus seni, yang merupakan semacam hakim mahakuasa. Maka seni post-modern lantas juga terasa eclectic dalam hal gaya, sebab mereka memang tak peduli pada gaya. Apapun bisa menjadi seni. Seni macam itulah kini yang sibuk tampil di pentas-pentas festival internasional. Simak, misalnya kelakuan kelompok-kelompok teater eksperimental dari Inggris seperti The Damned Lovely, Mayhew and Edmunds, Co, Bobby Baker, atau kelompok-kelompok punk post-industrial yang amat kreatif menciptakan segala peralatan dan tontonan dari sampah, atau dari Perancis karya-karya teateral Antonin Artaud yang kuat dipengaruhi teater total Bali. Sedang dalam dunia film, contoh-contoh film post-modern adalah misalnya Blue-Velvet dari David Lynch atau juga Diva dari Beneix, yang bukannya menciptakan jarak kritis pada penontonnya, melainkan menyedot penonton ke dalam realitas bikinan si sutradara, namun sesudahnya menyadarkan penonton kembali bahwa itu realitas artifisial. Para sutradara film tersebut dengan sadar menggunakan efek-efek visual non-verbal dan imajinasi-imajinasi absurd dalam rangka mencari efek total pada si penonton.

Jika itu tadi adalah evolusi di bidang seni lukis dan teater, maka gelagat yang sejajar terdapat pula dalam cabang seni yang lain. Dalam musik misalnya, kegilaan eksplorasi harmoni, melodi dan struktur pada musik klasik di kemudian hari diikuti justru oleh kecenderungan ke arah musik yang lebih sunyi dan kontemplatif dari jalur musik kaum minimalis (dari Phillip Glass, misalnya) atau musik yang justru tanpa struktur (John Cage, misalnya). Dan kini ada kecenderungan kuat bahwa musik meninggalkan itu semua lantas mengksplorasi bunyi itu sendiri, faktor paling elementer dari musik. Sama halnya dalam dunia seni tari, kegilaan mengeksplorasi dan mematut-matut kinestetik kini berakhir pada kontemplasi atas hakikat gerak dan ketubuhan itu sendiri.

Dari gerakan evolusi, seni itu dapat kita lihat bahwa ternyata seni bergerak dari wilayah bentuk ke wilayah essensi bahan dasarnya sendiri: dari Eksteriorisasi ke Interiorisasi; dari keindahan bentuk luar ke arah misteri dunia dalam, sesuatu yang lebih non-fisik, sesuatu yang lebih spiritual. Maka tidaklah mengherankan pula bahwa kini religi pun kembali menjadi gejala yang kuat di mana-mana. Seni dan religi sepertinya bangkit kembali dan menjadi populis (Megatrend 2000). Memang seni belum lagi menjadi ungkapan khas religi, namun tetap bisa dikatakan, bahwa seni pun kini kembali berurusan dengan hal yang sakral, dengan misteri terdalam kehidupan, seperti terlihat dalam uraian di atas. Sedang gejala multimedia-nya seperti mengisyaratkan, bahwa manusia post-modern kembali melihat kehidupan sebagai suatu totalitas seperti halnya masyarakat primitip, sambil meninggalkan kecenderungan fragmentarisasi yang begitu kuat dalam kultur modern ilmiah. Demikianlah, secara ringkas dapat kita katakan bahwa dalam kultur post-modern kini seni adalah gerakan kembalinya manusia ke dalam totalitas kosmos dan ke dalam misteri terdalam eksistensi, misteri di balik gerakan bunyi, bentuk, warna, metafora, dan sebagainya, dan sebagainya.

Dari pendadaran sekilas perjalanan seni dalam sejarah itu menjadi jelas bahwa ternyata seni senantiasa memiliki kaitan dengan misteri terdalam manusia dan alam, atau sekurang-kurangnya dengan nilai intrinsik kenyataan, interioritas objek. Seni – yang serius tentu – selalu diciptakan untuk menampilkan kebenaran eksistensial yang murni namun tersembunyi. Namun dengan cara yang agak paradoksal, seni melakukannya dengan menghadirkan tatanan bentuk yang artifisial, illusoris, dibuat-buat. Misalnya saja, sebuah kloset. Kloset adalah sesuatu yang intim dalam kehidupan kita, namun dalam situasi yang biasa kita jarang sungguh-sungguh menyadari nilainya, bentuk desainnya, keintimannya dalam hidup manusia, bahkan mungkin tak menyadari kehadirannya, meski kita selalu menggunakannya. Lalu, baru ketika seorang seniman Dadaist mengambil kloset dari kamar mandinya lantas diletakkannya di galleri sebagai karya seni, tiba-tiba kita menyadari nilai sebuah kloset, keunikan bentuknya, keintimannya dalam hidup manusia, dan sebagainya. Pendeknya, kita menjadi sadar atas kebenaran atau kenyataan sebenarnya dari sebuah kloset, hakikat terdalam sebuah kloset. Tetapi itu terjadi justru karena si seniman mengambil kloset tersebut dari kamar mandi dan meletakkannya di tempat yang tidak wajar, dibuat-buat. Demikianlah, maka dalam seni, dengan cara artifisial, seniman menghimbau kita untuk berkontemplasi atas kenyataan murni atau kebenaran hakiki di balik objek, peristiwa atau pengalaman manusia.

 

 

2. S i n k r o n i k

 

Sinkronik di sini maksudnya adalah bahwa seni dilihat dari struktur aktualnya itu sendiri, tanpa memasukkan unsur sejarahnya. Struktur artinya, jaringan koordinat-koordinat yang membentuk gejala yang disebut seni, atau konkritnya, interaksi antara unsur-unsur konstitutifnya, yaitu: seniman, karyaseni, kritikus seni, penonton dan konsep seni itu sendiri. Keempat unsur itu perlu dipertimbangkan kalau kita hendak merumuskan hakikat seni secara lebih realistik fenomenologik.

Dalam kenyataannya, suatu objek menjadi suatu karya seni tergantung pada penafsirannya. Namun ada tiga interpretator, yaitu seniman sendiri yang menciptakan karya, kritikus seni yang menilai bobot artistiknya, lalu penonton awam. Mereka tidak selalu sesuai satu sama lain dalam menafsirkan objek seni, sebab latar-belakangnya pun berbeda-beda yang menyebabkan konsep masing-masing tentang yang disebut seni pun berbeda.

Umumnya, si seniman memiliki konsep sendiri tentang apa itu seni baginya. Konsep ini lantas menjadi latar belakang karya-karyanya. Misalnya saja, konsep mistik paranoico-critica pada Salvador Dali, jelas-jelas merupakan latar belakang lukisan-lukisan post-surrealismenya. Sedangkan seorang kritikus seni memiliki pengetahuan luas dan apresiasi yang terlatih dalam menghadapi karya seni, sehingga ia dapat memberikan penilaian atas bobot artistik suatu karya. Tapi dia juga berfungsi sebagai medium antara seniman dan masyarakat awam. Dia adalah pihak yang dapat menjelaskan nilai suatu karya kepada awam dan dengan demikian juga membimbing atau meningkatkan apresiasi masyarakat. Sedangkan masyarakat awam sendiri umumnya kurang memahami teori-teori seni. Tapi sekurang-kurangnya mereka mempunyai gambaran tertentu, mungkin juga agak kabur, tentang apa itu keindahan, kata kunci seni paling sederhana dan tradisional.

Dari sudut itu menjadi jelas bahwa seni untuk sebagian memang dapat dikatakan subjektif. Di pihak lain, sejauh terdapat interaksi antara ketiga apresiator tadi, yang menghasilkan persetujuan tertentu atau kesamaan apresiasi tertentu, maka seni dapat dikatakan objektif juga. Maka, di sini objektivitas hanya berarti intersubjektivitas. Tak mungkin lebih tepat lagi bila dikatakan, bahwa seni tidak terletak semata-mata dalam kepala si seniman, tidak pula hanya dalam batin si apresiator, tidak dalam objek itu sendiri, tidak dalam kesesuaian antara mereka semua. Dilihat dalam struktur koordinat-koordinatnya, essensi seni terletak dalam proses interpretasi itu sendiri, dalam proses hermeneutiknya, yaitu dalam proses perpaduan antara horison si seniman yang termanifestasikan dalam karya seni dan horison si apresiator.

Maka dari sudut ini, seni bukanlah sesuatu yang secara objektif sudah ada begitu, melainkan sesuatu yang menjadi. Karya Picasso atau van Gogh bukanlah merupakan karya seni, oleh sebab sesuai dengan standard universal tentang keindahan, misalnya. Karya-karya itu menjadi karya seni sejauh mereka mempengaruhi horison apresiator. Jika tidak, karya-karya itu tetap sekedar objek tak bernilai. Mudah sekali membayangkan bahwa sebuah lukisan van Gogh atau Picasso digunakan oleh orang primitip sekedar sebagai pelindung dari hujan, semacam payung. Dalam hal ini lukisan van Gogh memang bukan karya seni. Kenyataan bahwa terdapat museum-museum dan karya-karya yang secara internasional diakui sebagai seni, seperti karya-karya Picasso, Dali, Paul Klee, dan sebagainya. Juga tidak lantas menunjukkan, bahwa terdapat suatu objektivitas – dalam arti ontologik – dalam dunia seni. Itu hanya menunjukkan, bahwa sampai batas tertentu terdapat persetujuan antara para kritikus seni dalam scope internasional atas nilai seni dari karya-karya seni itu, dan bahwa persetujuan itu kebetulan diterima juga oleh masyarakat awam, sekurang-kurangnya kalangan yang cukup terdidik atau kaum snob. Maka, kalaupun istilah objektif masih mau dipakai, itu hanyalah bisa dimengerti dalam arti pragmatisnya, yaitu sebagai persetujuan intersubjektif.

Memang lalu muncul pertanyaan: bagaimana mungkin persetujuan bisa muncul bila tak ada objektivitas ontologik? Jawabnya mudah saja. Di antara para kritikus, sebab mereka kurang lebih memiliki akses yang sama terhadap dunia seni, yaitu latar belakang yang kurang lebih sama, kategori penilaian yang sama dan sebagainya. Dan kesamaan itu adalah produk dari kesamaan standard kurikulum internasional dalam pendidikan yang mereka terima. Standard internasional muncul dari proses universalisasi tahap-tahap pembangunan atau kemajuan bangsa manusia. Universalisasi ini diinspirasikan oleh superioritas ilmu yang dianggap sebagai standard objektif dan universal kebenaran. Maka sebenarnya sama halnya, objektivitas ilmiah dalam arti ontologik pun perlu dipertanyakan. Memang tingkat persetujuan dalam ilmu ternyata jauh lebih luas. Akan tetapi tetaplah itu tidak lantas menunjukkan bahwa ada korespondensi objektif antara sains dan kenyataan yang really real. Orang umumnya memang setuju dengan sains, tetapi itu terlebih disebabkan karena ilmu-ilmu tersebut memang berguna. Tapi kenyataan bahwa ilmu itu berguna tidak lantas membawa kesimpulan bahwa ia persis sesuai dan mencerminkan realitas. Secara epistemologis, persoalannya adalah: bahwa tidak segala hal yang berguna itu benar dan tidak segala hal yang benar itu berguna.

Kembali ke seni, pertanyaan lebih lanjut adalah: mengapa persetujuan (pada taraf internasional) tentang karya seni tertentu tadi tidak hanya terjadi di kalangan kritikus saja melainkan juga di kalangan masyarakat awam? Jawabannya adalah secara umum ini disebabkan karena dunia modern adalah dunia yang terspesialisasi. Orang cenderung percaya saja pada apa yang dikatakan para ahli atau spesialis, mengerti ataupun tidak.

Kenyataan bahwa seni itu pada hakikatnya selalu interpretatif, meskipun demikian, tidaklah menunjukkan bahwa ia selalu subjektif, seperti telah diuraikan di atas. Objek itu sendiri telah mengusulkan interpretasi dan karenanya membatasi pula interpretasi dari subjek. Apalagi seorang interpretator atau apresiator yang baik haruslah belajar juga memahami struktur karya, latar belakangnya, konteksnya, biografi si artist, dan sebagainya. Bukan untuk menemukan makna objektif dari karya itu, melainkan untuk mampu masuk lebih dalam lagi ke dalam horizon si seniman sehingga perpaduan (fusion) horison yang terjadi lebih kaya. Dan dengan itu, suatu karya menjadi betul-betul karya seni baginya, artinya karya itu membuka wawasan dan tilikan (insight) baru tentang essensi hidup dalam horison si apresiator.

Perpaduan horison itu, di sisi lain, tidaklah terjadi semata-mata lewat proses interpretasi rasional diskursif, melainkan juga lewat proses affektif, sensasi-sensasi fisik dan bahkan lewat interaksi bawah-sadar. Itu terjadi tidak hanya lewat penafsiran verbal, melainkan juga lewat persepsi imaji visual; tidak hanya dengan men-decipher arti karya itu bagi kita, melainkan juga dengan merasakan apa yang dilakukan oleh karya itu kepada kita; tidak hanya dengan berjarak terhadap karya itu melainkan juga dengan meleburkan diri ke dalam karya itu. Pendeknya, itu terjadi lewat interaksi total.

 

 

3. F u n g s i

 

Meskipun sebetulnya sering diyakini bahwa seni adalah suatu sudut pandang yang non-fungsionalistik atau cara pandang yang disinterested, toh berdasarkan pengalaman yang biasa, kita bisa bicara juga tentang fungsi dari karya-karya yang non-fungsional itu. Maksudnya, bahwa, in concretto, toh suatu karya diapresiasi karena berguna juga dalam salah satu cara. Tentu fungsi ini beragam.

Pada tahap yang paling dangkal atau taraf permukaan, suatu karya seni diapresiasi semata-mata demi gengsi atau prestise belaka. Lalu tahap yang sedikit lebih dalam adalah bila karya seni diapresiasi karena memberi kesenangan atau kenikmatan tertentu. Ini tentu yang banyak dilakukan oleh masyarakat umum. Tahap masih lebih dalam lagi adalah bila karya seni diapresiasi karena keindahannya dalam artian yang lebih kontemplatif. Konsep keindahan inilah dalam segala artian yang juga merupakan konsep umum orang tentang hakikat seni. Mungkin itu sebabnya konsep tersebut masih saja bercokol dalam definisi-definisi tentang seni. Meskipun demikian, batapapun juga dunia seni telah sedemikian jauh berjalan dan teori demi teori estetika telah saling susul menyusul, saling menumbangkan satu sama lain, sehingga konsep keindahan tidak lagi memadai untuk mengartikulasikan gejala seni, bahkan juga bila artinya direntang-rentang secara filosofis seperti: keindahan adalah kesatuan utuh organik dengan keseimbangan optimal antar berbagai unit dan variasinya, dan sebagainya. Soalnya kini adalah bahwa sering kali juga seni muncul justru dalam sosok yang berantakan dan kasar, nyaris tanpa keutuhan organik sama sekali, sebab justru ia hendak mengartikulasikan kondisi eksistensial yang berantakan pula, fragmentaris, tanpa kepastian dan harmoni. Lihatlah film-film dari Jean-Luc Godard yang sepertinya sekedar menjejer-jejer gambar tanpa alur dengan angle-angle yang seringkali juga asal-asalan.

Andaikata kita menggunakan batasan tradisional tentang seni yang indah, maka sulit sekali bagi kita untuk meletakkan film-film Godard sebagai karya seni. Contoh lain lagi, misalnya karya-karya dari kaum Dadaist yang seringkali justru memuakkan atau menakutkan. Lihatlah sebuah blek bekas minyak yang karatan diisi penuh dengan bayi (boneka) hingga berjejal meluap dan bayi-bayi itu pun sebagian telah meleleh mengental menjadi satu. Menghadapi karya seperti itu sulit kita menerapkan kaidah indah. Bahkan pemandangan seketika yang menyergap kita justru adalah sesuatu yang buruk, sesuatu teror mental yang mengerikan dan menjijikkan. Tapi sudah barang tentu karya-karya seperti itu bukannya tanpa makna. Blek bayi itu barangkali hendak bicara tentang masa depan yang amat depressif akibat kenyataan bahwa peradaban teknokratis ternyata destruktif; mungkin pula ia menyindir problem ledakan penduduk, dan sebagainya, dan sebagainya. Demikian karya-karya seni kini, terutama yang avant-garde, memang semakin bersifat filosofis. Karya-karya itu, indah atau tidak indah, adalah imbauan untuk berefleksi.

Memang yang khas pada seni adalah olah bentuk, tapi tidak lantas bentuk itu musti indah, melainkan bermakna. Demikianlah, lewat karya-karya seni sebenarnya kita dapat melihat interioritas eksistensi manusia, visi-visi tentang hidup, nilai-nilai dan konflik-konflik tersembunyi dalam pengalaman kita sehari-hari. Tapi karya seni bisa pula menampilkan kritik, teror dan gugatan. Ia bisa pula mengantisipasi masa depan, dan sebagainya, dan sebagainya. Pendeknya, nilai suatu karya seni yang bermutu tidak terletak pertama-tama pada indah-nya melainkan pada potensinya untuk memberi insight baru terhadap pengalaman dan hidup, memberi semacam catharsis, kata Aristoteles.

Kekhasan seni adalah bahwa ia bekerja lewat sensibilitas, par excellence, tidak pertama-tama lewat otak atau fantasi atau lainnya lagi. Musik berkomunikasi dengan kita melalui cara mempertajam sensibilitas kita terhadap bunyi, suara, harmoni (dalam arti luas) tetapi juga terhadap emosi dan segala bentuk ritme kehidupan. Sementara itu seni lukis bekerja dengan cara mempertajam kepekaan kita terhadap bentuk, warna, cahaya, tekstur dan bahan. Dalam seni patung semua itu ditambah wawasan ruang. Novel dan puisi bekerja dengan cara mengaktifkan imajinasi, merangsang intuisi tapi juga analisis rasional. Tapi film dan teater beroperasi lewat olahan-olahan dramatik atas imaji-imaji, karakter dan alur cerita. Di sini praktis kekuatan seni lukis, musik dan susastra, juga seni gerak dipadu menjadi satu. Namun yang khas pada film adalah bahwa ia bekerja dengan cara menyedot penonton ke dalam realitas artifisialnya, merangsang suatu fusion dengan realitas imajiner. Dapat dikatakan bahwa ia bekerja lewat illusi, par excellence. Tapi, sekali lagi, bukan demi illusi itu sendiri, melainkan demi effektivitas warta yang hendak disampaikannya. Kekuatan film dan seni teater adalah effektivitasnya dalam menampilkan konflik-konflik mendasar dalam eksistensi manusia, antara putus asa dan harapan, cinta dan kebencian, kebahagiaan dan penderitaan, kaya – miskin, menang – kalah, suci – jahat penuh dosa, indah dan buruk, masyarakat dan individu, dan seterusnya, dan seterusnya. Dalam film dan teater, konflik-konflik itu menjadi jernih, eksplisit dan menggigit. Sedang cabang lain lagi adalah seni tari. Ia berkomunikasi dengan cara mempertajam sensibilitas kita terhadap hakikat ketubuhan, gerak, ritme dan profil emosi.

 

 

4. Kesimpulan

 

Dari uraian di atas, kini kita dapat menarik beberapa kesimpulan.

Dari sudut pandang umum dapat dikatakan bahwa seni adalah proses komunikasi reflektif, yang menggunakan media simbolik non-diskursif dan bentuk-bentuk sensible. Reflektif artinya, bahwa seni selalu merupakan upaya untuk mengartikulasikan misteri terdalam atau aporia di balik dunia yang tampak ini. Ia adalah komunikasi, sebab seni selalu merupakan proses dialog antara horison si seniman dan horison penontonnya. Ia bersifat non-diskursif oleh sebab yang khas padanya adalah bahwa ia hadir selalu sebagai simbol yang maknanya harus dikelupaskan, tidak langsung tampak.

Dari sudut seniman sendiri, seni adalah refleksi pribadi, personal, yang selalu diekspresikan dalam bentuk-bentuk simbolik dan sensible. Tidak seperti sains, namun mirip religi dan filsafat, refleksi itu adalah refleksi pribadi. Dan kepenuhan apresiasinya oleh apresiator pun hanya bisa terjadi secara pribadi pula.

Dari sudut apresiator, seni adalah imbauan (appeal) ke arah intensifikasi pengalaman dan disclosure atas interioritas eksistensi, melalui bentuk-bentuk simbolik dan sensible dari karya seniman. Intensifikasi dan disclosure itu dicapai dengan cara penajaman dan peningkatan sensibilitas, imajinasi, intuisi dan nalar.

Perkataan Rossif di depan tadi, bahwa seniman itu seperti seorang nabi tidaklah terlalu berlebihan. Seorang seniman sejati memang seringkali dianugerahi intuisi yang sangat tajam dan wawasan yang mendalam serta jauh tentang kondisi dan hakikat manusia. Maka orang-orang inilah yang sering mampu melihat essensi dan akar dari cacat, luka harapan dan penyesalan manusia masa lalu dan karenanya mampu pula mengantisipasi gelagat masa depan.

Adalah dunia seni yang telah menggugat dan mengkritik mitos modernisme yang telah berkuasa sedemikian kokohnya dan telah membius manusia dengan keyakinan pongah rasionalistiknya. Maka adalah seni pula kini yang agaknya paling mampu menggali kembali kekuatan-kekuatan dahsyat non-rasional yang tersembunyi namun amat penting dalam kodrat manusia, yaitu kekuatan fantasi, impian, imajinasi, rasa solidaritas kosmik terhadap sesama, binatang, tanaman dan seluruh semesta. Adalah seni pula yang paling mampu merumuskan kembali perasaan-perasaan terdalam, impian paling purba dan harapan atau kerinduan paling intim dari manusia yang kini sedang kebingungan terperangkap dalam jaring paradigma dan teknologi yang diciptakannya sendiri. [ ]

 

 

*Dipetik dari majalah “MELINTAS”, Majalah Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, edisi No. 27, Desember 1992

 

**Ign. Bambang Sugiharto adalah dosen tetap yang mengajar di Unpar. Saat tulisan ini pertama kali dipublikasikan beliau sedang melanjutkan Program Studi S-3 dalam bidang Filsafat di Roma

 

 1,798 total views,  9 views today