oleh: I. Bambang Sugiharto**

 

 

Di ambang millennium ketiga ini dunia manusia ditandai oleh berbagai paradoks yang menarik. Menarik oleh sebab segala hal serba bertentangan dan jungkir balik. Paradoks ini sudah terasa dalam berbagai istilah yang menggunakan awalan “post” (sesudah/berakhirnya) akhir-akhir ini seperti: post-industry, post-ideology, post-western, post-literacy, bahkan lebih gila lagi post-history, seolah sejarah telah berhenti. Istilah “postmodern” hanyalah semacam rangkuman dari segala gejala “post” itu. Tak mengherankan karenanya bila sebagai rangkuman atas berbagai gejala yang kompleks istilah “postmodern” memang menjadi amat tak jelas, terlalu luas dan ambigu.

Yang jelas adalah kenyataan bahwa agama dalam situasi macam itu tiba-tiba berada dalam suatu posisi yang sangat sulit. Sulit oleh sebab di sana antara keluhuran dan kebusukan kerap menjadi begitu kabur batasnya. Berbagai peristiwa di Indonesia, terutama pasca-Orde Baru akhir-akhir ini persis menunjukkan berbagai kekaburan yang membingungkan dan mengecoh itu.

 

 

Konteks Umum

 

Pada skala umum, untuk menyebut beberapa paradoks saja misalnya: pertama, standarisasi global cara makan-minum, cara berpakaian hingga cara pikir, alias penyeragaman cara dan gaya hidup (homologisasi) kini ditandingi selera kultur dan wacana lokal (paralogisasi) dan pengobatan klenik, Kentucky Fried Chicken ditandingi Mbok Berek dst. Kedua, kiblat umum proyek modern ke arah industrialisasi ditandingi kiblat baru ke arah bisnis jasa, informasi, dan pertanian (kiblat masyarakat post-industri, kata Daniel Bell). Ketiga, kecenderungan patriarki dalam budaya modern untuk menguasai, mengeksploitasi dan memanipulasi ditandingi dengan kecenderungan feminis untuk mendengarkan, mengakomodasi, menumbuhkan dan merawat. Bahkan kategori “pria-wanita” sendiri cenderung digugat dan diperkarakan. Keempat, dominasi Barat sebagai kiblat budaya dan pemikiran ditandingi munculnya negara-negara Asia yang berkembang menjadi pusat-pusat baru kultur dan pemikiran yang berwibawa juga. Pusat menjadi banyak. Situasi kultur menjadi polisentris, bahkan kategori “barat-timur” ataupun “utara-selatan” sebetulnya menjadi kabur juga.

 

 

Paradoks Bidang Keagamaan

 

Agama pun tak terhindar dari situasi paradoksal itu. Untuk menyebut dua paradoks utama misalnya: pertama, di satu pihak setelah hilangnya kolonialisme, selesainya perang ideologi dan krisis-krisis pembangunan, negara-negara berkembang berkecenderungan tampil ke depan lewat nasionalisme religius, di pihak lain interaksi dialogis antar-berbagai agama pada tingkat internasional telah membawa kesadaran baru pula tentang aspek universal agama-agama, yang pada gilirannya membawa kerja sama integratif antar-berbagai agama itu. Bila yang pertama berkecenderungan sektarian dan teokratis, artinya hendak menaklukkan  segala pihak yang berbeda atas nama kekuasaan Tuhan versinya sendiri, yang kedua berkecendrungan pluralis dan teosentris, artinya hendak mengakomodasi keragaman religius, yang dianggapnya sebagai keragaman manifestasi saja dari Tuhan yang satu dan sama.

Paradoks kedua, di satu pihak ada antusiasme religius yang menggelegak di mana-mana, sehingga Naisbit dan Huntington menganggap abad ini sebagai abad kebangkitan agama, di pihak lain abad ini adalah abad di mana moralitas ternyata justru kian parah terpuruk tanpa daya. Indonesia adalah contoh konkret paling jelas dalam hal ini: dekadensi dan degradasi moral demikian meluas dan parah di segala lapisan, persis pada saat antusiasme kebangkitan agama pun demikian berkobar-kobar. Aneh bin aneh, memang.

 

 

Berhala-Berhala Baru

 

Situasi postmodern yang penuh paradoks di atas adalah konteks hidup beragama saat ini. Bila agama memang hendak sungguh-sungguh bangkit dan bukannya bangkrut maka perlulah beberapa tantangan berikut dihadapi dengan kesungguhan.

 

Kekuasaan dan Keuntungan Material

 

Segala aktivitas modernisasi pada dasarnya terarah pada hasil/sukses yang teraba dan keuntungan yang terhitung nyata. Ekonomi dan politik adalah dua “jalan keselamatan” utama ke arah sukses semacam itu. Situasi pasca-kolonialisme, pasca-ideologi, krisis identitas akibat globalisasi, ditambah berbagai kesenjangan akibat proyek-proyek pembangunan umumnya menggoda negara-negara berkembang untuk menggunakan agama sebagai strategi politik dan ekonomi juga. Ledakan antusiasme kebangkitan agama dan naluri primordial agama mudah menjadi energi dahsyat yang mensponsorinya.

Dalam hal ini perlulah diwaspadai bahwa politik yang berfokus pada kekuasaan sering kali hanya berhasil bila ditunjang oleh mentalitas sektarianisme/parokialisme sempit yang melihat perbedaan sebagai ancaman, yang melihat pihak lain sebagai lawan. Itulah sebabnya politik macam itu memang gemar memupuk mentalitas sektarian. Di Indonesia mentalitas sektarian alias SARA memang tabu, demi kesehatan kehidupan kebangsaan yang satu. Tapi manakala “kesatuan” itu akhirnya menjadi kekerasan yang memberangus dan membabat segala aspirasi politik kreatif maka saluran politik normal menjadi macet. Akibatnya aspirasi politik pun terpaksa masuk ke jalur SARA: menggunakan isu agama.

Persoalannya adalah, bila agama dipergunakan sebagai senjata risikonya cukup berbahaya, yaitu: sakralisasi kekerasan dan demoralisasi agama, yang berarti justru pemerkosaan agama itu sendiri. Ironi ini kerap tidak mudah disadari oleh sebab ia muncul justru dalam idealisme-idealisme mulia seperti “Balance of power”, “Our religion is the ideal middle path”, “Cara paling efektif untuk menjaga martabat manusia sesuai firman Tuhan”, “Advokasi pada kaum lemah”, dst.

Akan halnya ekonomisasi, kendati memang perlu, mesti diwaspadai pula. Ekonomi berjalan efektif hanya dengan memupuk mentalitas untung-rugi yang amat pragmatis. Pada dasarnya ekonomi kurang memberi tempat untuk tindakan-tindakan moral yang gratis dan altruistis. Kesejahteraan ekonomis bahkan mudah sekali membius hati nurani moral. Apalagi bila segala upaya ekonomi itu dilegitimasikan oleh agama: segala kiprah serakah konglomerat/pejabat mudah disebut “misi suci”.

Demikian, kadang agama perlu mengambil jarak dari praksis politik dan ekonomi untuk mengingatkan kembali setiap kali bahwa kekuasaan dan keuntungan mudah menjadi berhala baru, justu karena keduanya memang nikmat dan perlu. Bila agama justru beraliansi ketat dengannya, maka memuncaklah ironi dan absurditas itu: kekerasan menjadi suci dan keserakahan bernilai luhur. Agama perlu mengingatkan setiap kali bahwa keberhasilan bukan terletak dalam kekuasaan dan keuntungan material, melainkan dalam peningkatan kualitas dan integritas moral.

 

 

Kenaifan dan Ketertutupan

 

Keluhuran dan universalitas agama barangkali tidak terletak pada isi dogmatisnya, bukan pula pada kekuatan pola kelembagaannya, melainkan tertama pada energi dan inspirasi moralnya: pada potensinya yang besar untuk konsisten berpihak pada martabat manusia dalam situasi tersulit sekalipun. Memang benar dalam sejarah peran moral agama-agama itu jatuh bangun, tak selalu mulus. Namun fakta bahwa hingga kini agama-agama besar masih bertahan, bahkan tetap mempesona, menunjukkan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang mendasar yang memang bisa dipenuhi oleh agama-agama itu. Dan itu kiranya adalah terutama kebutuhan akan moralitas. Dari sudut ini bahkan mungkin dapat dikatakan, bahwa benar/tidaknya dogma suatu agama minimal dapat dilihat dari produk moralnya. Agama yang benar sekurang-kurangnya selalu mampu mempertinggi moralitas dan bukan sebaliknya menghancurkan moralitas (seperti yang terjadi pada beberapa sekte satanik). Sekte-sekte yang merusakkan moralitas umumnya juga hilang sendiri ditelan sejarah. Meskupun demikian, memang tidak selalu mudah bagi agama untuk mewujudkan peran moral itu. Ganjalan ke arah sana hari-hari ini terutama adalah kenaifan dan ketertutupan.

Kenaifan maksudnya adalah kedangkalan pemahaman atas kehidupan manusia. Sementara rumusan-rumusan dogmatis vertikal umumnya demikian jelas hitam-putih, moralitas justru bergerak pada medan horizontal kehidupan antarmanusia yang umumnya justru demikian ambigu: bukan sekedar abu-abu, melainkan bisa merah atau kuning. Maka tindakan-tindakan moral agama baru efektif bila agama pun memiliki pemahaman mendalam atas kerumitan kemanusiaan. Pada titik inilah humanisme modern justru diperlukan. Kemodernan memang telah banyak dikritik, namun salah satu jasa tak tersangkal dari kemodernan adalah bahwa reflektivitas kritisnya berhasil menggali dan mengangkat ambiguitas kedalaman kemanusiaan. Ini terutama terasa dalam filsafat dan seni modern. Buru-buru menampik segala produk pemikiran modern dan menganggapnya sebagai rasionalisme atau sekularisme maksiat adalah kenaifan yang justru mengerdilkan agama. Boleh jadi situasi postmodern sekarang memang memberi peluang besar bagi kebangkitan agama dan karenanya agama sering terlalu cepat “besar kepala”, merasa sebagai penyelamat baru setelah ideologi sekuler dan rasionalisme modern “gagal”. Namun, perlu segera diwaspadai bahwa tanpa memanfaatkan dan mengelaborasi reflektivitas kritis modern sangat diragukan bahwa agama akan sungguh-sungguh mampu menjalankan misi barunya sebagai penyelamat manusia dan peradaban. Ketidakmampuan mengintegrasikan reflektivitas modern itu sungguh membuat agama bernasib sama dengan segala ideologi sekuler lainnya: menjadi totaliter dan represif, mungkin bahkan lebih mengerikan sebab ia bersandar pada kekuasaan Tuhan sendiri yang demikian mutlak.

 

Ketertutupan adalah ganjalan yang kedua. Moralitas selalu menuntut keterbukaan pada pihak-pihak “lain”, yang bukan “orang kita”. Moralitas yang autentik adalah pembelaan radikal terhadap martabat kemanusiaan umum tanpa peduli SARA. Karena itu di sini pula terletak universalitas dan keluhuran agama. Tindakan moral menuntut empati terhadap “yang lain” bahkan menuntut kepekaan terhadap kebutuhan-kebutuhan pihak “yang lain” itu. Sikap ketertutupan primordial jadinya justru hanya akan menghambat munculnya kesaktian moral agamanya sendiri, dan dengan itu justru menghambat kebangkitan agama tersebut. Maka semakin terbuka pada pihak lain justru semakin kuatlah kualitas moral agama tersebut, semakin mampu ia untuk bangkit. Sebaliknya, semakin tertutup semakin sulit untuk bangkit.

 

 

Konsep “Identitas”

 

Ketidakpastian tata nilai dan identitas akibat modernisasi dan globalisasi cenderung membuat orang menjadi sangat gamang: tak tahu lagi siapa dirinya dan tak punya kiblat yang jelas untuk kebermaknaan hidupnya. Ini membuat agama sering dipeluk sebagai obat instant: sebagai identitas dan kepastian arah hidup yang memberi ketenangan batin. Tentu saja ini bukan hal yang haram, tapi masalahnya perspektif kepastian identitas ini mudah menjadikan agama diam-diam hanya berfungsi sebagai kepanjangan sang ego saja. Maka lalu segala bentuk kritik penting bagi agamanya cenderung dilihat sebagai serangan terhadap dirinya, dan perbedaan agama pun cenderung dilihat sebagai ancaman berbahaya.

Alih-alih makin mendewasakan manusia, di situ agama malahan melestarikan sifat-sifat kekanak-kanakan manusia; dalam istilah Freud, agama melestarikan infantilisme. Tapi sulitnya adalah mentalitas macam inilah yang menguntungkan kehidupan politik, karenanya justru dikipas-kipas oleh politik. Mentalitas ini didukung pula oleh kecenderungan rasa benar diri (self-righteousness), rasa telah memiliki kebenaran sejati. Jadi, memang tak mudah untuk keluar dari pola “identitas” sempit itu.

Selama agama hanya berkutat dalam pola identitas dangkal macam itu sebetulnya sulitlah agama menyadari kekuatan konstruktifnya yang besar, sulit untuk mewujudkan kesaktiannya yang dahsyat bagi peradaban. Dan isu “kebangkitas agama” lalu hanyalah sekedar ilusi romantis yang naïf.

Sebetulnya pola pikir identitas masih bisa bermanfaat asalkan identitas itu tidak bertumpu pada sekedar rumusan dogmatis dan struktur institusi agama tetapi pada nilai-nilai dasar di balik rumusan dan institusi itu. Dalam Kristianitas nilai macam itu misalnya dalah “kasih”. Kristus adalah personifikasi kasih dan Gereja adalah lembaga yang merawat dan mengobarkan energi kasih itu. Maka orang menjadi sungguh-sungguh Kristiani bila ia semakin menjadi “manusia kasih” itu. Tentu ini contoh yang masih bisa diperdebatkan.

Pola identitas pun masih bisa bermanfaat bila identitas itu dilihat juga sebagai “proses”, berubah makin luas, makin kaya dan makin dalam lewat proses dialektis/dialogis dengan mereka yang beridentitas lain. Artinya, misalnya, saya semakin menjadi lebih Kristiani, sebab yang membuat saya menjadi seperti sekarang ini tiada lain adalah pergaulan saya dengan mereka semua yang “bukan saya” (orang tua, adik-kakak, teman, guru, dst.)

Demikianlah kalau saja agama kini menyadari berbagai berhala baru di atas tadi maka agama akan sungguh-sungguh memperkaya dan mendewasakan manusia dan peradaban. Dengan kata lain agama menjadi energi yang membebaskan, membebaskan manusia dari potensi destruktifnya dan dari kekerdilannya, menuju potensi kemanusiaannya yang memang transendental. [ ]

 

 

*Dipetik dari buku “I. Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W, Wajah Baru Etika & Agama, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000”.

 

** I. Bambang Sugiharto  

Lahir di Tasimalaya, 6 Maret 1956. Belajar filsafat dan teologi di Universitas Parahyangan, Bandung, Universitas Indonesia, Jakarta, dan Universitas Angelicum, Roma. Mendapat gelar doktor di bidang filsafat dari Universitas Angelicum, Roma. Pengarang buku Postmodernisme, 1996. Kini mengajar di Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan dan Pascasarjana Seni Rupa Institut Teknologi Bandung

 

 1,799 total views,  3 views today