“Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya. Ia sedang mengandung dan dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan. Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota. Dan ekornya menyeret sepertiga dari bintang-bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi.

 

Dan naga itu berdiri di hadapan perempuan yang hendak melahirkan itu, untuk menelan Anaknya, segera sesudah perempuan itu melahirkan-Nya.”

 

(Why 12: 1-4)

 

***

 

Pada zaman kita ini yang disebut zaman hancurnya simbol-simbol religius, ada suatu kebutuhan yang mendesak akan suatu simbol religius yang baru yang sanggup menerobos semua hambatan budaya. Simbol “Kerajaan Allah”, karena perjalanan imannya yang kaya, mungkin bisa menjawabi kebutuhan ini. John Brown mengatakan:

 

“Di antara konsep sentral dalam agama-agama besar, gagasan Kerajaan Allah mungkin yang paling bisa memenuhi harapan, karena sementara mengenali realita kematian dan ketidakadilan, ia mengokohkan bahwa suatu realita transenden yang adil dan hidup, masuk ke dalam sejarah dan mengubah sejarah.”

 

A Schweitzer mengemukakan gagasan di atas sebagai berikut: “Untuk umat manusia dewasa ini, realisasi Kerajaan Allah di sini di atas dunia ini sudah menjadi soal hidup atau mati.”

 

(John Fuellenbach, SVD)

 

***

 

          MEI YANG TAK MAU BERLALU

        (In Memoriam: Tragedi Mei ’98)

 

     oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

Dua belas ekor serigala yang buas

Merobek-robek tidurku setiap malam

Tahun-tahun berganti

Tapi hariku tetap tinggal satu

Pecahan beling di dalam selangkangku

 

Orang-orang meneriakkan nama Tuhan

Sambil bengis menista perempuan-perempuan tanpa daya

Tidak ada manusia

Hanya biadab

Hanya entah apa

 

Dua belas ekor serigala yang buas

Mencabik-cabik mimpiku setiap malam

Tahun-tahun lewat

Tapi malamku hanya satu

Penuh dendam tak terucap

 

(Agustus 2022)

 

 

 

            SEBUAH PERMENUNGAN KECIL

 

         oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

memandang negeri dari suatu jarak

tampak borok dan luka batin bangsa

kita ini mayat berjalan

menggenggam merah putih

tapi tak ada lagi ruh kemerdekaan

 

kejahatan politik, korupsi agama

dan hasrat cinta diri yang eksesif

mengacaukan rute perjalanan sejarah kita

para bapa bangsa jadi tampak terlampau raksasa

atau kita yang terlalu kerdil

bagi impian sebesar “Indonesia”?

 

tidak banyak waktu tersisa

kita segera bangkit bangun siuman

dari cengkeraman segala kuasa sihir dosa itu

atau niscaya remuk musnah terserak

dihajar bola besi sejarah yang buta

 

(Agustus 2022)

 

 

 

                    WISHFUL THINKING?

 

          oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

oh, negeriku

mampat dibekap budaya kematian

selalu inginnya saling menikam

hanya untuk segala hal ikhwal kedagingan

monyet-monyet berebut kerupuk

 

tidak sanggupkah kita

berdiri lebih tegak sedikit

memandang dunia dalam keluasannya

dalam keluhurannya yang sejati

 

tak dapatkah kita sedikit lebih mawas diri

agar tuhan tidak hanya jadi seperti jongos piaraan

yang hanya wajib memenuhi

perintah nafsu tuannya semata

 

(Agustus 2022)

 

 

 

            PENGLIHATAN

     oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

di bangku taman yang lengang

mengeja langit yang murung

mencoba mencari tanda

akan jadi seperti apa dunia di muka

 

mungkin aku salah membaca gejala

atau terkecoh yang lain dari yang ada

tapi, lihat, bukankah semakin pekat itu mendung

badai hebat seperti yang akan datang menjelang

 

(Agustus 2022)

 

 

 

                       KUINGIN MENGAJAKMU

 

                oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

kuingin mengajakmu

sejenak lepas dari nasib

deretan hari yang pengap kepedihan

 

kuingin mengajakmu

sesaat tamasya ke hamparan peluang

bebas dari tirani berbagai ancaman

 

dengan sedikit akrobat kata-kata

barangkali bisa kita saksikan utopia itu

kali ini mungkin hanya mimpi

tapi bukankan setiap kali kita butuh harapan

 

kuingin kau tahu

langit sore yang meneteskan gerimis

kesejukan yang menyisihkan terik siang hari

adalah tanda dunia tak pernah sepenuhnya tertutup

hanya oleh satu kepastian

 

kuingin mengajakmu

menginternalisasi seluruh kekayaan realitas eksternal

yang keberadaannya tak tunduk

pada kecupetan orde kesadaran kita yang serba terbatas

dan dari sana mengolah kecerdasan baru

 

kuingin mengajakmu

tentram melewatkan istirah malam ini

karena tahu, fajar esok hari

akan membawa-serta cerita baru

yang melegakan hatimu hatiku

 

(September 2022)

 

 

 

LEVIATHAN BARU

 

(In Memoriam: B. Herry Priyono, SJ)

 

oleh: Michael Dhadack Pambrastho

 

 

ada masa ketika kita melihat kuasa negara begitu raksasa dan mendominasi kehidupan masyarakat. berbagai ragam kejahatan publik diyakini sebagai yang dipicu dan menjadi tanggung jawab sepenuhnya pihak negara. di Republik Siluman seperti Indonesia, pemahaman tradisional biasa mulai dari pengandaian bahwa kolusi luas dalam relasi bisnis-pemerintah muncul terutama karena dominasi kekuasaan para pejabat negara atas sektor bisnis. kalau tidak, penyebab diletakkan pada tindakan semau gue mereka. pengandaian seperti itu bertebaran, misalnya, dalam berbagai dokumen Bank Dunia dan IMF tentang korupsi.

 

bukannya pola itu salah, tetapi ada kausalitas empiris sebaliknya yang rupanya lolos dari pisau bedah pemahaman tradisional itu.

 

sungai sejarah terus berubah menghadirkan berbagai realita baru. dalam sungai sejarah yang terus mengalir dan melahirkan masalah baru kekuasaan, cara pandang yang mendasari berbagai pemahaman juga semestinya diperbarui. pandangan yang melihat negara sebagai satu-satunya Leviathan adalah pandangan yang usang, kalau tidak bisa dikatakan sebagai yang semakin kehilangan daya penjelas.

 

Leviathan adalah sejenis buaya laut raksasa yang memangsa dan menakutkan. ia adalah metafor untuk melukiskan kekuasaan negara yang begitu besar, for better or worse. dewasa ini, mungkin tidak terlalu keliru mengatakan bahwa dalam proses menjinakkan Leviathan lama (negara), seekor Leviathan baru (modal) telah dilahirkan. kita sudah menciptakan kendali demokrasi bagi kekuasaan negara, tetapi gagap untuk mereka-reka kendali yang semacam bagi kekuasaan bisnis. padahal, keduanya sama-sama kekuasaan yang kinerjanya punya dampak mendalam pada hidup-mati suatu masyarakat.

 

kekuasaan bisnis adalah salah satu sumber dan bentuk kekuasaan atas suatu masyarakat yang sejatinya tidak tunggal melainkan jamak. kekuasaan finansial pemodal dan stafnya untuk melakukan atau tidak melakukan investasi, membeli keputusan pengadilan, atau mendesakkan penggusuran, sama konkretnya dengan kekuasaan presiden untuk mengundangkan peraturan. karena itu, amat menyesatkan menganggap kinerja kekuasaan sebagai sekadar soal otoritas legal-formal aparatur negara. kekuasaan atas  masyarakat tidak terbatas pada kontrol atas institusi negara, tidak juga pada jabatan pemerintahan.

 

kekuasaan bisnis berakar dari kapasitasnya untuk melakukan dan tidak melakukan investasi. semua pemerintah dibuat makin pusing oleh kekuasaan istimewa pemodal untuk melakukan dis-investasi sesuai selera mereka. pelarian modal (capital flight), boikot modal (capital strike), dan boikot peminjaman (strategic non-lending) adalah tiga contoh yang biasa meluluhlantakkan kehidupan ekonomi. demam deregulasi sejak Thatcher dan Reagan memang berkah bagi para pemburu laba, tetapi juga telah menjadi mekanisme penciptaan “raksasa-raksasa Frankenstein” yang kini memburu balik penciptanya. segera tampak, wacana kita tentang globalisasi dan mobilitas modal sama sekali tidak punya isi kecuali kita memahami ekspansi kekuasaan bisnis sebagai aksis ontologis dari kondisi historis kita.

 

kekuasaan bisnis juga terjelma dalam kekuatan finansialnya untuk merusak tata hukum dan pemerintahan, dengan membeli keberlakuan/ketidakberlakuan peraturan, membeli jajaran pengadilan kepolisian, penggusuran, dan sebagainya. melalui cara ini, keluasan korupsi-kolusi dalam hubungan bisnis-pemerintah terjadi. maka di Indonesia, misalnya, yang lebih sering kita dapati bukan enterpreneurs yang punya kompetensi dalam soal manajemen dan produksi, tetapi sekawanan orang berdasi dengan kartu nama “Presiden Direktur” yang lebih fasih bertemu para jenderal dan pejabat, membuat kredit macet, dan menambah koleksi mobil sport atau “daun muda”. lalu, jika menimbang fakta banyak pengusaha juga pejabat, dan banyak pejabat juga pengusaha, yang kita dapati adalah ekonomi politik bukan sebagai res publica (urusan bersama), melainkan sebagai kerajaan mafia.

 

mungkin tiga pokok di atas kedengaran biasa, tetapi rupanya kita belum sepenuhnya melihat implikasinya. kalau mesti dikatakan lugas, mungkin berbunyi seperti berikut: jika kinerja “kekuasaan” (power) banyak menjelaskan corak gejala dan masalah yang terjadi di masyarakat, maka kekuasaan besar bisnis juga tidak bisa dibebaskan dari statusnya sebagai penjelas (explanans). make no mistake, apa yang diajukan di sini bukan pertama-tama perkara moral, melainkan epistemologi (cara pandang). tapi, tentu kita paham, posisi etis terkait dengan garis epistemologis.

 

(Agustus 2022)

 

 771 total views,  3 views today